Bab 49
"Bapak, nanapa aku terus di marahin? "
tanya Alif yang sudah rapi dan selesai sarapan sambil menemani pak Janto
menjahit.
"Siapa yang marahin? " tanya pak
Janto menanggapi.
"Ustadz, mama, orang-orang... Nanapa tidak sayang aku? Padahal aku
baik, aku bisa baca pelan-pelan... " ucap Alif sedih lalu berdiri di
samping pak Janto dan memeluknya.
Pak Janto hanya menghela nafas, bingung
menjelaskan bagaimana pada Alif yang sebenarnya tidak ada salah apapun ini.
Mungkin Alif memang tidak di inginkan, tapi Nana sendiri yang memutuskan waktu
itu. Nana juga masih begitu muda sebenarnya untuk sebuah tanggung jawab besar.
Terlalu muda juga untuk memutuskan menikah.
"Bapak tidak tau kenapa orang-orang
marahin adek, tapi kan bapak tidak. Bapak sayang adek... " jawab pak Janto
lalu memangku Alif.
"Om aneh itu juga gitu sayang aku, sebenarnya
dia baik. Tapi mama tidak suka... " ucap Alif yang di pangku dengan sedih.
"Nanapa mama tidak suka? "
tanya Alif.
"Soalnya om aneh itu pernah bikin
salah sama mama, salah yang besar sekali... Sama bapak juga... Sama ayah sama
ibu (om Bram dan tante Yuni) juga...
" jelas pak Janto sehalus mungkin.
"Kan bisa minta maaf... " ucap
Alif. "Kata mama kalo salah harus minta maaf, kata ustadz juga kita tidak
boleh marah lama-lama nanti Allah tidak suka... Kalo tidak suka kita doa tidak
di dengerin... " sambung Alif.
"Alif... Alif... Ayo main... "
panggil Doni sambil membawa mobil-mobilan dari kayu yang baru dibelikan ibunya.
"Wah mainanmu baru ya? Nanti aku
pinjam ya... " ucap Alif senang lalu turun dari pangkuan pak Janto.
"Iya! Ayo main dirumahku! " ajak
Doni semangat.
Alif langsung berlari masuk ke dapur
mencari mamanya. "Mama aku main ke rumah Doni... " ucap Alif lalu
berlari ke depan dan pergi bersama Doni dengan semangat.
Pak Janto hanya tersenyum melihat Alif yang
ceria dan punya teman baik seperti Doni. Kali ini pak Janto merasa sedikit malu
dengan Alif yang ternyata mendengarkan semua nasehat baik, sampai bisa
membantah dengan dalil kata ustadz bagini. Memang seharusnya ia tak menghalangi
Aji untuk kembali bertanggung jawab atas Nana dan Alif. Tapi mengingat
kesalahan Aji dulu dan keinginan Nana untuk menikahi Arif apa boleh buat.
●●●
"Kamu mau kemana Mas? " tanya
Alice yang melihat Aji sudah bersiap pergi dari kontrakannya.
"Aku mau ketemu Alif lah... Biasanya
kan dia main... " jawab Aji.
"Gak kerja? Gak cek gudang gitu?
" tanya Alice lagi.
"Enggak males ngecek terus gunanya
bayar orang buat apa... Dah aku mau pergi dulu... " jawab Aji lalu
buru-buru pergi.
Aji langsung tancap gas menuju masjid
tempatnya biasa menunggu Alif lewat. Kali ini ia sengaja membeli beberapa
cemilan dan ayam goreng tepung. Siapa tau Alif mau makan dengannya.
Aji duduk diemperan masjid menunggu Alif
lewat, kali ini terasa lebih lama dari biasanya. Sampai akhirnya Alif
benar-benar lewat. Tak seperti kemarin saat Alif nyungsep digot. Kali ini Alif
tampak lebih ceria.
"Hai om... " sapa Alif sambil
melambaikan tangan lalu terus berjalan pulang.
Aji hanya melongo melihat kali pertama Alif
menyapanya dengan santai. Ha?! Alif nyapa aku?! Batin Aji tak percaya.
Alif terus melangkahkan kaki kecilnya
pulang ke rumah. Tanpa menghiraukan Aji lagi. Sementara Aji rasanya sudah
kehilangan momen baiknya.
Aji begitu senang bisa disapa Alif. Rasanya
benar-benar seperti mimpi, akhirnya Alif mau menyapanya dengan baik-baik
meskipun tetap saja memanggilnya om. Tak hanya itu Alif juga tidak menyerangnya
atau menagis ketakutan lagi saat bertemu. Benar-benar membuat Aji merasa
senang.
Setelah memberanikan diri dan menyiapkan
mental untuk di usir atau di permalukan keluarga Nana, Aji memutuskan untuk
datang menghampiri Alif ke rumahnya. Aji berharap bisa menemani Alif makan atau
sekedar duduk beberapa menit sambil memandangi Alif yang tak pernah bertemu
dengannya sejak lahir.
"Alif... Alif... " panggil Aji dari
luar.
Pak Janto sama sekali tak bergeming dan tak
menghiraukannya sama sekali. Padahal jelas Aji tau kalau pak Janto melihatnya.
"Adek Alif... " panggil Aji lagi
sambil meninggikan suaranya.
"Apa? " saut Alif sambil membawa
dotnya yang berisi air putih.
"Om bawa ayam tepung sama jajan, mau
ga? " tanya Aji sambil menyodorkan bawaannya pada Alif.
Alif hanya mengangguk menerima pemberian
Aji. "Trimakasih ya... " jawab Alif sambil tersenyum senang.
"Ma, dikasih om aneh... " ucap Alif menunjukkan apa yang ia terima
dari Aji.
"Iya... " jawab Nana lalu keluar
sambil membawa totebag berisi gepokan uang. "Jangan transfer lagi, aku
sudah mau menikah... Aku bisa hidup tanpa bantuanmu... " ucap Nana pada
Aji sambil mengerahkan totebagnya.
"Itu buat Alif, kalo kamu ga mau
semuanya punya Alif... Biar dia bisa makan enak, pakek baju bagus, beli mainan,
beli sepeda, sekolah... " ucap Aji yang jelas tak mau menerima
pengembalian uangnya dari Nana.
"Aku mampu hidupin anakku, ga usah
dikasihani begini... " Nana tetap kekeh tak mau menerima.
"Mampu gimana? Apa yang dipakai Alif
kelihatan layak? Apa makannya cukup? Apa dia punya mainan seperti
teman-temannya? Apa itu yang kamu anggap layak dan mampu? " cerca Aji yang
membuat Nana diam membisu. "Na, kamu keras kepala sekali sekarang...
" Aji menghela nafas.
Jujur
Aji sangat merindukan waktu-waktu berdebat dengan Nana, mempermasalahkan
hal-hal kecil, membahas pilihan-pilihan ringan. Menatap Nana yang marah dengan
segala cara mempertahankan harga dirinya. Gadis kecil polos yang ia rusak itu
sudah banyak berproses dan sedikit banyak perubahan. Mungkin masih Nananya dulu
atau mungkin Nana yang baru.
"Na... Biarkan aku bertanggungjawab,
aku tidak bisa mengembalikanmu menjadi wanita suci yang masih perawan lagi.
Tapi biarkan aku setidaknya ada untuk bertanggungjawab atas anak kita....
" Aji mulai memohon. "Tidak apa-apa dia terus memanggilku om Aneh,
sekarang atau sampai nanti ia dewasa ingin memanggilku begitu aku tidak
masalah... Tapi biarkan aku untuk memenuhi kewajibanku atas Alif... "
sambung Aji dengan sedih sambil menatap Alif yang mulai makan tepung dari
ayamnya dengan nasi sendiri.
Flashback
~
"Mas ga habisin semua? " tanya
Siwi sambil menggendong Alice yang masih bayi dan tengah rewel-rewelnya.
"Tidak, buat adek... " jawab Aji.
"Adek kan belum boleh makan ayam...
Mas habisin biar cepat besar ya nak... " ucap Siwi sambil duduk disamping
Aji lalu menyusul Alice.
"Yaudah adek ngicipin ayamnya dari
Mama aja... " putus Aji lalu menyuirkan ayamnya untuk Siwi yang dari tadi
sibuk mengurus bayi juga rumah yang tak kunjung kelar.
Siwi membuka mulut menerima suapan dari
Aji. "Mas makan yang banyak biar kuat belajar... Badannya sampai kurus
gini... " ucap Siwi.
"Mama juga kurus, ngurusin adek sama
rumah juga... Mama makannya juga dikit... " bantah Aji lalu kembali
menyuapi mamanya.
"Mas Aji kalo dah selesai makan tidur
siang Mas, nanti sore masih aktivitas kan? " ucap eyang dengan nada suara
melengking melihat Aji yang malah menyuapi Siwi. "Anak lagi fokus belajar
bukannya di support malah manja-manjaan kamu ini... Ga bisa ngerti keadaan ya
kamu? Beban emang ya! Benalu! " maki eyang sambil menatap Siwi yang sampai
tak enak hati menelan nasi dan ayam yang sudah di mulutnya.
"Mama makanku ga habis... Aku mau ke
kamar... " ucap Aji yang sengaja meninggalkan piringnya dengan nasi dan
sisa potongan ayamnya sengaja agar mamanya ikut makan.
Eyang langsung menyingkirkan piring sisa
makanan Aji, membuang sisa makanannya lalu menaruh piringnya di wastafel.
Sementara Siwi hanya bisa memandanginya nasi dan ayam yang dibuang mertuanya barusan dengan
pandangan miris.
"Ibu sudah makan belum? Mau
diambilkan? Apa mau dibuatkan lauk lain? " ucap Siwi menawari mertuanya.
"Dah ga usah cari muka, sebel saya
liat kamu... Bisa-bisanya Broto suka... " sinis eyang lalu melenggang
kembali ke ruangannya.
Flashback
off~
"Mama mau tidak? " tawar Alif
pada Nana yang masih tegang dengan Aji. Dibawakannya ayam yang sudah ia makan
habis tepung dan kulitnya untuk dibagi dengan Nana.
"Adek ga suka dagingnya? " tanya
Aji.
"Aku suka makannya di makan terakhir.
Mama mau tidak? " jawab Alif sambil kembali lagi menawari Nana.
"Buat adek aja, dihabisin... "
ucap Nana sambil mengibaskan tangannya dan tak sengaja menjatuhkan ayam dan
nasi dalam box kardus yang disodorkan Alif padanya.
Potongan paha yang sudah mulus itu
menggelinding masuk ke saluran air kecil di depan rumah setelah sempat sejenak
tertahan di tanah. Alif berjongkok mengejar potongan ayamnya yang gagal diambil
itu dengan sedih.
"Gapapa, nanti Om beliin lagi yang
banyak biar adek bisa makan dagingnya, mama sama bapak juga di kasih ya...
Tunggu ya... " hibur Aji pada Alif yang masih berjongkok dengan sedih
memandangi ayamnya yang kotor tersiram aliran di saluran air kecil itu.
"Sudah Mas, kamu ga usah sok baik sama
Alif... Dulu kamu kan ga pernah mau sama Alif... " kesal Nana lalu menarik
Alif masuk rumah di iringi bantingan pintu yang cukup keras pada Aji.
Aji langsung pergi setelah Nana membanting
pintu dihadapannya karena tak ingin berkonflik.
"Na, Aji ada benarnya juga... "
ucap pak Janto sambil memeluk Alif yang ketakutan.
"Bapak dulu marah-marah juga ke mas
Aji kenapa sekarang bapak belain? Bapak ga punya pendirian... " ucap Nana
dengan nada bicara yang sengit lalu masuk ke kamarnya.
Alif masih diam sambil mengeratkan
pelukannya pada pak Janto. Nana benar-benar jadi makin galak dan galak, sinis
dan kasar setelah mengambil keputusan untuk menikah. Alif bahkan ikut berimbas
meskipun sudah berusaha nurut dan mengerti kondisi mamanya.
"Mama jadi suka marah... Aku tidak
suka... " bisik Alif sedih. Sebenarnya Alif sangat ingin menangis, sudah
ayamnya jatuh masih mendengar mamanya mengomel. Tapi Alif menahan perasaannya
yang ingin menangis, Alif tak mau mamanya marah seperti semalam lagi. Alif
tidak mau dibentak. "Dua...empat...enam...delapan...
Gerbong angkat muatan... Thomas dan teman... " Alif mulai menyanyi
seingatnya lagu pembuka kartun kereta Thomas sambil memandangi keluar jendela.
Pak Janto hanya bisa diam, ingin menegur
Nana atau memarahinya jelas sudah tidak mempan lagi. Omongan pelan-pelan
baik-baik saja tanggapannya seburuk itu bagaimana kalo nanti dengan cara keras.
Ya Allah, semoga pilihan Nana sudah yang
terbaik... Semoga ustadz Arif bisa menjaga kehormatan Nana dan keluarga
kecilnya nanti, bisa menasehati Nana, mengarahkan Nana... Batin pak Janto lalu
mengukur tubuh Alif.
"Bapak bikinin celana ya... "
ucap pak Janto menghibur Alif.
Alif hanya mengangguk lalu diam untuk di
ukur. "Mama marah-marah pasti pusing kebanyakan belajar... " tebak
Alif yang berusaha memaklumi kemarahan mamanya.
"Iya... " jawab pak Janto lalu
tersenyum antara miris dan bangga cucunya bisa memaklumi situasi dan kondisi
sekitarnya.
●●●
Zulia yang masih sulit menerima kenyataan
pahit bahwa Arif memilih menikahi Nana itu dengan berbesar hati ikut membantu
Jamilah menyiapkan seserahan untuk Nana nanti. Zulia menghabiskan begitu banyak
waktu bersama bagaikan sudah menjadi keluarga.
"Terimakasih dah bantuin persiapan ya
Ning... " ucap Jamilah sambil menunggu bakso pesanannya datang.
"Iya tante ga masalah... Aku suka
kok... " jawab Zulia ceria, berusaha menyembunyikan kesedihannya.
"Kamu dah kayak kakak adik sama si
Arif... Sayang ya... Ketemunya telat... Tapi ya mau gimana lagi jodohnya sama
Nana... " ucap Jamilah menceritakan kondisinya.
Zulia tersipu malu mendengar pujian dari
Jamilah, meskipun Zulia berperinsip pantang menyakiti sesama wanita. Tapi tak
dipungkiri ia juga merasa lebih unggul dari pada Nana saat ini.
"Halo assalamualaikum Na... "
ucap Arif yang menelfon Nana.
Zulia hanya diam, menyemak Arif yang
terdengar begitu hangat dan tengah kasmaran pada Nana didepannya. Arif dan
ibunya tampak sangat asik dan akrab dengan Nana. Tentu saja suasana ini sangat
tidak mengenakkan bagi Zulia. Rasanya ia hanya dijadikan penonton, ah bukan
hanya kacung. Setelah Arif berhasil membuatnya jatuh hati tapi juga mematahkan
hatinya.
"Insyaallah besok ibu ke sana...
" ucap Jamilah mengabari dengan ceria pada Nana sambil menatap Zulia yang
terdiam. "Calon mantu... " bisik Jamila senang sambil mencolek bahu
Zulia.
Zulia hanya bisa meringis menahan
perasaannya yang campur aduk tapi juga tetap harus terlihat baik.
"Makasih ya, dah mau di repotin....
Aku bisanya cuma ngerepotin doang... Maaf ya belum bisa balas apa-apa... "
ucap Arif setelah menutup telepon pada Zulia.
Zulia terdiam sejenak, ingin rasanya
menangis saat itu juga. Ingin memaki Arif, ingin mpermalukannya, ingin argh
semua kekesalan ingin ia curahkan. Minimal balas dendam agar Arif tau apa yang
ia rasakan. Tapi apa mau dikata, Zulia tak sampai hati melakukan apapun balasan buruk yang
sudah di rencanakannya pada Arif.
"Iya ibu juga makasih banget dah mau
direpotin kamunya... " ucap Jamilah.
"I-iya... Gapapa... " jawab Zulia
tergagap.
"Besok bisa ikut ibu ke rumah Nana ga?
" ajak Jamilah. "Ibu pengen kasih liat calon mantunya ibu, siapa tau bisa jadi sahabat... " sambung
Jamilah.
"A-aku besok ada kencan... " dusta Zulia yang tak mau makin nyesek lagi. Ia tan mau membiarkan orang lain menari diatas patah hatinya. Bagi Zulia cukup ia menemani hari ini, menemani pria tak tau diri yang menciumnya dan mengobrak-abrik hatinya. Tidak, tidak lagi! [Next]