Witri hanya bisa
menangis sepanjang jalan untuk datang ke tempat pernikahan putrinya di antar
pak RT. Tapi sayangnya ketika sampai bertepatan dengan acara yang sudah
selesai. Dekorasi dan para tamu masih ada, tapi Naila dan Robi sudah tidak ada
di tempat. Witri tak bisa menyembunyikan kesedihannya. Apa lagi ia juga melihat
dengan jelas suaminya malah menggandeng istri barunya dan memamerkan serta
mengenalkannya pada para tamu dengan bangga.
“Mohon maaf Ibu,
bila bukan tamu undangan tidak boleh masuk,” ucap seorang petugas yang
menghampiri Witri.
Witri tampak
sedih dan linglung. Ia tak punya undangan tapi apakah ia masih perlu undangan
saat putrinya sendiri ya ng menikah?
“Ibu Witri! Ibu
dari mana saja...” sapa Reyhan yang datang terlambat bersama keluarganya.
Petugas yang
hendak mengusir Witri mengurungkan niatnya dan mempersilahkan Witri masuk.
Reyhan tersenyum senang bisa membantu Witri yang kebingungan.
“Ibu Witri tau
mau kemana kan? Aku mau ikut ayah dulu,” ucap Reyhan setelah membawa Witri
masuk sebelum berpisah dengannya.
Witri hanya
mengangguk dengan senyum yang begitu kikuk. Witri menanyakan soal Naila pada
semua petugas yang ada berharap bisa bertemu Naila di hari istimewanya.
Meskipun jelas hasilnya nihil.
“Permisi Ibu,”
sapa Ester dengan ramah pada Witri. “Tuan Muda dan Nona Naila baru saja pergi.
Tapi Tuan Muda meminta saya untuk menemani Ibu dan mengantar Ibu pulang setelah
menikmati acara,” ucap Ester sambil tersenyum lembut.
Witri terhuyung
lalu duduk meluruh di lantai. Ia begitu lemas, di hari yang begitu istimewa ini
ia tak bisa bertemu dengan putrinya sama sekali. Witri hanya ingin memastikan
putrinya yang ia besarkan tampak cantik di hari pernikahannya, Witri juga hanya
ingin bicara langsung dengan pria yang mempersunting putrinya untuk menjaga
Naila dengan baik. Tapi hal sesederhana itupun ia tak bisa.
Ester
benar-benar terus bersama Witri dan menjaganya sesuai perintah. Ia merasa Witri
dan Naila ada dalam barisan yang sama dengannya. Hanya saja dalam porsi yang
berbeda. Melihat Naila yang sedih dan Witri juga dalam kondisi tidak jauh
berbeda membuat Ester yakin bila Naila tak seburuk gosip yang beredar
tentangnya di antara para pelayan.
“Dek, bisa antar
saya pulang?” tanya Witri pada Ester yang menemaninya sambil menggenggam
tangannya.
●●●
"Kamu mau
sampe kapan nangisnya?" tanya Robi sambil mengambil ponselnya lagi.
"Aku sedih
ibuku ga di sini, ayah ternyata nikah lagi. Aku pengen ketemu ibuku,"
jawab Naila sambil menyeka air matanya.
Robi menghela
nafas lalu memandangi wajah bocah yang baru saja jadi istrinya itu. Make upnya
sudah tak karu-karuan. Belum lagi Naila yang masih belum bisa menghentikan air
matanya yang mengalir.
"Pak...
Kenapa bapak mau menikahi aku? " tanya Naila sambil menatap Robi.
"Dari semua
panggilan jangan panggil aku "Pak", aku cuma beda 10 taun dari kamu.
Selain itu aku ga mau hubungan kita jadi canggung. Aku bukan bosmu, aku
suamimu."
"Terus
panggil apa?"
"Mas,
sayang, apa lah jangan Pak."
Naila mengangguk
pelan dan kembali menatap Robi menunggu jawaban alasan menikahinya.
"Aku butuh
istri, aku butuh segera punya anak. Bapakmu, dia dateng butuh duit, terus jual
kamu. Yaudah bungkus. Simpel. Selain itu kamu masih perawan."
"Itu
saja?" tanya Naila tak puas.
"Ya, kamu
berharap apa?" Robi menaikkan sebelah alisnya.
Naila menggeleng
lalu tertawa kecil menertawakan khayalannya sendiri. Naila sudah jauh mengira
bila Robi jatuh cinta karena kecantikannya atau kelembutannya atau apapun itu
hingga ia berdandan ala princess
seperti sekarang. Tapi Naila juga tersadar seorang anak dari keluarga yang
bangkrut dan sekarang berantakan sepertinya tak mungkin punya kisah cinta
seperti seorang Cinderella.
"Kenapa
ketawa?" tanya Robi sedikit tersinggung tapi juga senang paling tidak
Naila tidak menangis lagi.
"Lalu apa
yang harus ku lakukan setelah jadi istrimu?" tanya Naila.
Baru Robi akan
membuka mulutnya untuk menjawab pertanyaan Naila, seorang pelayan dan petugas
kesehatan datang untuk memeriksa Naila. Robi mengurungkan niatnya untuk
menjawab pertanyaan Naila dan memilih untuk keluar agar Naila di urus yang lain
dulu. Masih banyak rangkaian acara yang harus di jalani dan ada kekacauan lain
yang harus Robi tenangkan.
Banyak
pertanyaan yang belum di jawab Robi dan bertambah banyak seiring berjalannya
rangkaian acara. Meskipun Robi sesekali mendatangi Naila yang di dandani dengan
pasrah, Robi juga tak ada waktu untuk menjawab apapun. Tiap acara Naila lalui
dengan berusaha sebisa mungkin tidak melirik sedikitpun ke arah Edo dan istri
barunya.
"Mas...
" panggil Naila yang merasa sudah dapat panggilan yang tepat pada Robi.
Robi menoleh ke
arah Naila yang belum ganti baju menghampirinya. "Besok masih pesta sekali
lagi, habis itu udah. Kamu istirahat aja, mandi, ganti baju."
Naila berkacak
pinggang sambil mengerutkan keningnya kesal dengan cara Robi menanggapinya yang
lebih mirip mengingatkan anak kecil yang susah tidur.
"Oke, ada
apa?" tanya Robi sambil menggiring Naila ke kamar bersamanya.
"Mas mau
aku gimana abis semua acara ini selesai?!" bentak Naila berusaha menolak
di ajak masuk ke kamar oleh Robi. "Kita mau ngapain?! " bentak Naila
makin keras.
Semua anggota
keluarga Robi dan pegawai yang mendengar ucapan Naila seketika diam, kaget
dengan ucapannya.
"Bulan
madu, kawin, bikin anak. Ngapain lagi?" jawan Robi santai sambil melirik
sekeliling yang sekarang menatap ke arahnya.
Naila ikut
menatap ke arah mata Robi menatap. Ia baru sadar tak tinggal sendirian di rumah
mewah itu. Wajah Naila langsung bersemu merah menahan malu dan hanya bisa masuk
ke kamar yang sudah di sediakan Robi untuknya.
"Kita tidak
melakukan negosiasi untuk saat ini. Jadilah anak baik, menurut, ikuti saja
acaranya. Berpura-puralah jadi istri yang baik setidaknya di depan orang
lain..." geram Robi sambil mencengkram pipi Naila hingga Naila kaget
dengan perubahan sikap Robi yang begitu mendadak. "Ingatlah, kamu tidak
lebih dari budak bagiku. Jadi jangan terlalu banyak bertingkah seperti tadi,"
sambung Robi lalu menghempaskan tubuh Naila ke tempat tidur.
Naila langsung
berkaca-kaca mendengar ucapan Robi, ia masih tak berani menatap Robi setelah
tubuhnya di hempaskan seperti tadi. Naila tak paham apa yang di inginkan Robi
dan kesepakatan apa yang sudah di lakukan ayahnya, serta apa yang harus ia
tanggung kedepannya. Naila tak dapat penjelasan dari manapun juga dari orang
yang sudah membelinya ini.
"Jalani
saja apa yang ku minta dengan baik, kamu juga boleh menikmati fasilitas mewah
dariku. Tidak usah banyak tanya, tidak usah mencoba membangkang... " ucap
Robo sambil menepuk-nepuk pipi Naila.
Naila mulai
menangis. "Aku mau pulang!!! " tangis Naila tanpa berani menatap
Robi.
Robi menggeram
pelan. Ia paling lemah mendengar permintaan wanita yang menangis. Tapi ada
keperluannya yang lebih penting dari pada menuruti Naila. Ia sudah di kejar
waktu, ia sudah berbuat sejauh ini. Tak mungkin mundur atau melepaskan Naila.
Apa sekarang
saja? Batin Robi sambil menatap Naila dan memaksanya untuk menatap mata Robi.
"Ibu!!! Aku
mau pulang!!! Aku mau sama ibu!!! " tangis Naila yang makin keras
terdengar sambil terus terisak-isak.
"Kamu yang memaksa ini di percepat, bukan aku... " lirih Robi lalu mengunci pintu kamarnya. [Next]
0 comments