Bab 07 - Telfon
Naila makan
dengan lahap. Robi hanya memperhatikannya sambil menggenggam tangan mungil
Naila yang beberapa kali mengusap tangannya dengan lembut.
"Enak?"
tanya Robi sambil berbisik pada Naila.
Naila tersipu
malu mendengar pertanyaan Robi yang seketika mengingatkannya saat di ranjang.
"Mas mau coba?" tanya Naila sambil menatap Robi.
"Suapin,”
pinta Robi lalu mendekat ke arah Naila.
Naila
menyendokkan nasi dengan cumi saus asam pedasnya ke arah Robi. Robi mengangguk
menikmati makanan yang di suapkan Naila padanya.
Ajaib, rasa dari
masakannya jauh lebih enak dan dapat Robi nikmati daripada sebelumnya.
"Supnya
juga enak, coba ya,” ucap Naila setelah Robi menelan makanannya.
Robi mengerutkan
keningnya tak suka tapi Naila sudah menyuapkannya jadi ia tak bisa menolak.
Benar saja rasanya enak. Tidak seperti saat ia coba sendiri tadi. Aneh kenapa
bisa begini? Robi bertanya-tanya.
"Dumpling,”
pinta Robi, Naila kembali menyuapinya.
Enak rasanya
normal semua. Robi heran kenapa bisa begini. Rasa mual dan mati rasa di
lidahnya hilang begitu saja.
Salman
melambaikan tangannya, memberi isyarat untuk memanggil pelayan. "Ambilin
alat makan lagi, Tuan Muda pengen makan itu,” ucap Salman menyindir Robi.
Robi hanya diam
sambil mengerutkan keningnya. Ia kembali mengambil sup dan memulai menyeruput
kuahnya. Hambar berbeda dengan yang tadi ia coba saat di suapi Naila.
"Nanti kita
ke dokter ya,” ucap Naila yang khawatir pada Robi lalu bangkit dari duduknya.
"Kemana?
" tanya Robi panik.
"Toilet,
mau cuci tangan sama pipis,” jawab Naila sedikit berbisik.
"Ikut,”
pinta Robi yang langsung di pelototi Naila meskipun akhirnya pasrah ke toilet
sambil di kawal suaminya begini.
"Kak Robi
aneh,” gumam Bella.
"Namanya
juga pengantin baru,” saut Katrina.
●●●
Robi tak peduli
ia masuk ke toilet perempuan. Ia hanya ingin bersama Naila. Beruntung toilet
juga sedang sepi dan Naila cukup cepat menyelesaikan buang airnya.
"Kamar lagi
aja yuk,” pinta Robi sambil memeluk Naila dadi belakang.
Naila mengangguk
lalu menyelesaikan cuci tangannya. "Mas sakit?" tanya Naila
memastikan.
"Mungkin,”
jawab Robi lalu menggenggam tangan Naila yang lembab kembali ke kamar tanpa
meneruskan makan malam bersama keluarganya.
Sesampainya di
kamar Robi hanya diam tiduran di tempat tidur dengan lemas. Naila mengganti
pakaiannya dengan kaos oblong milik robi sebelum menemani Robi tiduran.
"Obat magh
mau?" tawar Naila.
Robi mengangguk
lemas. Naila langsung mengambilkan obat magh dan air mineral botolan untuk
Robi. Robi menatap Naila sejenak sebelum meminum obatnya. Robi tak pernah
berharap Naila akan melayaninya atau peduli pada kesehatannya. Robi hanya
memperalat Naila bahkan menikahinya saja seperti membeli budak. Robi tidak
menaruh banyak rasa pada Naila, hanya sebatas Naila adalah calon ibu dari anak-anaknya.
Tidak lebih.
"Naila,
kalo kamu hamil pengen hadiah apa dari aku?" tanya Robi sambil meletakkan
minumannya di atas laci.
Naila diam
sejenak, ia ingin menjawab pulang pasti di tolak Robi. "Aku ingin punya
kamar sendiri di rumahmu. Aku butuh menenangkan diri," ucap Naila.
Robi mengangguk.
"Itu saja?" tanya Robi sambil menatap Naila.
"Aku ingin
sering bertemu ibuku," jawab Naila.
Robi kembali
mengangguk mengizinkan. Toh saat ia tidak di rumah atau bersenang-senang dengan
wanita lain Naila setidaknya ada yang menemani di rumah. Apa lagi katanya saat
hamil wanita kurang baik bila terlalu sering berhubungan intim. Robi juga sibuk
kerja, tanpa Naila di kamarnya atau berseliweran di sekitarnya pasti lebih
nyaman. Toh Naila masih di rumah, banyak yang mengawasinya.
"Aku ingin
mencoba memasak," ucap Naila lalu tiduran sambil menatap langit-langit
kamarnya di samping Robi.
"Boleh,
kamu boleh pakek dapur di rumah," jawab Robi yang masih menatap Naila.
Naila mengambil
ponselnya. "Ini," Naila menunjukkan gambar cookies yang di jual
temannya. "Temanku jualan cookies, aku juga pengen,” lanjut Naila.
"Ku
belikan,” ucap Robi enteng.
"Bukan! Aku
juga mau bikin sendiri,” jawab Naila.
Robi mengangguk
lalu memeluk Naila sambil memejamkan matanya. Naila meletakkan ponselnya lalu
membalas pelukan Robi sambil mengelus punggungnya lembut. Robi merasa begitu
nyaman dan tenang bersama Naila. Robi sedikit bingung kenapa ia merasa seperti
kasih sayang dan kekosongan dalam hatinya karena kematian ibunya sedikit terisi.
Tapi ia buru-buru menyimpulkan kalau perasaannya itu karena Naila menemaninya
saja saat sakit. Tidak lebih.
●●●
Ponsel Naila
berdering pelan, tapi itu sudah cukup membangunkan Robi tengah malam. Panggilan
dari teman sekelas Naila dulu, Robi ingin mengangkatnya tapi ia lebih memilih
untuk mengabaikannya. Robi menatap Naila yang masih memeluknya tertidur dengan
tenang. Robi ingin mengecup kening Naila tapi ia urungkan dan lebih memilih
untuk bangun dan melihat pesan masuk di ponselnya.
"Halo,”
jawab Robi sambil berjalan menjauh dari Naila yang tidur.
"Gimana bro dah jadi bikin anak?" tanya
Bara teman kuliah Robi di ujung sana.
"Jadi dong,
udah bikin. Ini istriku tidur,” jawab Robi lalu menyentuh bibirnya sendiri
setelah mengucapkan istriku dengan entengnya.
"Cie
sekarang manggilnya istri, Dah ga bisa ikut main lagi dong?"
"Bisa lah,
gampang kalo itu."
Robi melongok ke
arah Naila memastikan ia masih tidur, tapi seketika Robi tersadar ia tak perlu
melakukannya toh menikah bukan karena cinta dan ia punya kendali penuh dalam
hubungannya. Kenapa ada rasa takut di hatinya pada Naila.
"Mungkin
beberapa bulan ini aku fokus bikin anak dulu. Perusahaan itu sangat penting,”
ucap Robi.
"Setuju
sih, nanti kalo istrimu dah hamil kita rayain. Ada klub baru katanya ceweknya
masih baru-baru, cantik-cantik,” ucap Bara yang selalu suka berpesta dan
gonta-ganti pasangan.
"Gampang," jawab Robi lalu mematikan telfonnya sambil menghela nafas. Sejenak ia merasa bersalah pada Naila, tapi ia merasa tak perlu terlalu menggunakan perasaan juga pada Naila. Robi bingung sendiri pada perasaannya.