Banyak yang
menunjukkan simpati dan rasa prihatinnya pada Naila. Orang-orang melayaninya
bukan hanya karena bekerja dan di bayar, tapi juga rasa ingin melindungi dan
menjaga Naila juga. Berhari-hari Naila hanya memandang ke luar setiap mengantar
Robi atau ibunya berangkat bekerja lalu menyambutnya saat pulang. Semua orang
tau Naila bosan di rumah.
Rumahnya besar
dan megah, tapi Naila sudah jadi tahanan rumah selama hampir tiga minggu. Robi
juga tak ada niatan sedikitpun mengajaknya pergi keluar apa lagi memberi ijin
cuma-cuma untuk keluar sebentar.
Naila mulai
menghabiskan waktunya dengn berkebun di taman dengan pot kecil. Kadang menangis
sendirian di kamar sambil memukul-mukul bantal milik Robi hingga lelah. Kadang
Naila mual, tapi di bantu Ester ia bisa pulih lebih cepat. Robi sendiri juga
sadar bila Naila bosan di rumah. Tapi ia juga belum ingin memberi ijin pada
Naila untuk keluar.
"Biarin aja
lah dia keluar, belanja, jajan, jalan-jalan sebentar. Deket-deket aja, kayak ke
mall," ucap Tina kekasih Bara pada
Robi yang tampak bingung harus bagaimana.
Robi menggeleng
tak setuju. Perasaannya begitu takut, khawatir dan langsung tidak tenang saat
Naila tidak ada di rumah. Robi takut Naila akan terpengaruh orang lain dan akan
meninggalkannya setelah punya anak. Atau bahkan sebelum punya anak. Rasa takut
dan khawatir itu yang melandasi larangan Robi.
"Aku ga
bisa bayangin liat Naila keluar rumah, terus di liatin orang, nanti ada yang
deketin terus tiba-tiba bungkus dia, " ucap Robi khawatir.
"Ya ampun,
bini lu cuma mau jajan bakso Robi. Bukan party. Jajan bakso doang, pesen nih
terus makan udah pulang. Ga ada ceritanya jajan bakso terus di bungkus orang.
Meja warung bakso ama table di klub beda, " ucap Tina sambil geleng-geleng
kepala mendengar curhatan sahabat pacarnya ini.
Bara ikut
mengangguk setuju. Bara juga merasa sahabatnya itu jadi sangat paranoid dan
posesif setelah menikah. Padahal Robi selalu bilang "menikah tidak akan
merubahnya sedikitpun!" tapi sekarang malah merubahnya secara drastis.
Bahkan kalau sekarang Robi tidak sedang butuh teman curhat ia juga akan
langsung pulang dan makan di rumah.
Tak cukup sampai
di situ Bara juga baru kali ini mendengar curhtan Robi yang takut kehilangan
pasangan pada alasan yang sangat tidak masuk akal. Bara yang mengenal dan tau
bagaimana cara Robi mendapatkan pasangannya sama sekali tak bisa menerima
segala ketakutan yang tak mendasar. Apa lagi Robi juga bisa menghalalkan segala
cara untuk mendapatkan apa yang ia mau. Harusnya tak ada kendala apapun di
sini.
●●●
Witri menghadiri
sidang perceraiannya di temani Dea ke pengadilan agama. Witri sangat sedih
suaminya datang di temani istri barunya dan tampak begitu mesra dan bahagia.
Belum lagi Edo terus menyebut-nyebut soal gono-gini dan enggan membagi dengan
Naila atau dirinya. Edo juga menuduhnya berfoya-foya dengan uang modal dan
banyak berhutang untuk senang-senang bersama kekasih gelapnya. Sementara Witri
saja datang naik motor dan tak dekat dengan siapapun.
Dea mati-matian
membela Witri atas segala tuduhan yang di berikan Edo padanya. Edo juga tak mau
kalah meskipun hanya bermodal ngeyel. Sidang pjuga tak selesai hari ini saja.
Masih harus sidang sidang lagi dua minggu setelahnya.
"Ibu
gapapa? " tanya Dea yang mendampingi Witri.
Witri mengangguk
lalu tersenyum. "Dah gapapa, ibu mau pulang ke rumah embahnya Naila dulu.
Ibu nanti pulang ke rumah kalo ga malem ya besok, " ucap Witri pamit pada
Dea.
Dea hanya
mengangguk lalu pulang untuk melapor pada Robi soal sidang perceraian mertuanya
itu. Dea berencana menemui Robi di rumah. Tapi saat ia datang Robi masih belum
pulang. Jadi ia menunggu terlebih dahulu. Tak selang lama Robi pulang. Naila
tak turun untuk menyambut. Jadi Dea lebih leluasa untuk melapor pada Robi.
"Yasudah
kalo gitu, besok pas sidang di temenin lagi aja, " ucap Robi lalu mencari
Naila ke kamarnya sementara Dea kembali ke kantor advokatnya.
Robi hanya diam
mendapati istrinya yang tampak murung duduk bersandar di tempat tidur. Seketika
Naila langsung meliriknya tajam dengan matanya yang sembab, Robi merinding dan
terpikir untuk mundur sambil memikirkan salahnya apa atau ada masalah apa di
rumah sebelum ia datang.
"A-aku
pulang, " ucap Robi kikuk.
Naila mengangguk
lalu cemberut dan berjalan ke arah Robi untuk memeluknya. Robi langsung
bernafas lega dan membalas pelukan Naila.
"Mas sudah
makan?" tanya Naila sambil mendongakkan kepalanya menatap Robi.
"S-su-sudah,"
jawab Robi pelan.
"Sudah?!
" tanya Naila kaget memastikan jawaban Robi.
"B-belum...belum.
Ini pulang mau makan, " jawab Robi takut pada Naila.
Naila mengangguk
lalu tersenyum. "Yaudah yuk makan, " ajak Naila sambil membuka pintu
dan berjalan keluar bersama Robi yang mengikutinya.
"Kamu
kenapa kok kamar berantakan?" tanya Robi sambil menggenggam tangan Naila
ke ruang makan.
"Moodku
jelek, aku sedih, " jawab Naila lalu duduk menunggu pelayan menyiapkan
makan untuknya dan Robi.
Robi mengangguk
lalu diam memandangi makananya sementara Naila mulai melahap makanan di
hadapannya. Pikiran Robi melayang mengingat saran dari Bara dan Tina. Mungkin
tak ada salahnya membiarkan Naila keluar sementara.
"Mas,
" ucap Naila memecah keheningan. Robi menatap Naila dan langsung memberi
perhatian untuk menyemak apa yang akan di ucapkan Naila. "Mas, kalo aku
bawa masuk orang jualan masuk boleh ga?" tanya Naila.
"Minta di
bikinin aja, kamu pengen apa?"
"Cilok,
" jawab Naila.
Seketika Robi
melambaikan tangan memanggil pelayannya. "Bikinin cilok," perintah
Robi. "Sama apa lagi?" tanya Robi.
"Ga jadi
aku dah gak mood, " ucap Naila lalu menyudahi makannya dan berjalan ke
kamar ibunya.
Robi menghela nafas. Istrinya masih marah. Robi mengibaskan tangannya menyuruh pelayannya pergi lalu menyudahi makannya dan berjalan ke ruang kerjanya tanpa berniat membujuk Naila lagi. [Next]
0 comments