Extra Part
Bab 43 – Nenen
Jalu begitu
sebal mengetahui fakta nenennya sudah terkontaminasi dengan air liur Papanya.
Jalu begitu sebal sampai ia hanya menangis sambil mengelap nenen kesukaannya
dengan tisu basah. Tapi begitu ia ingin nenen setelah susah payah ia bersihkan,
aroma Wangi tisu basah yang menempel di kulit bundanya membuatnya jijik juga.
Jalu begitu sebal dengan masalah kecil yang terasa begitu besar baginya ini.
"Tuh kan!
Aku jadi minum susu teyus! " omel Jalu pada Robi yang baru selesai mandi
sambil menunjuknya dengan dot berisi susu. "Gara-gara Papa! "
"Ya gimana,
kamu kan Papa juga yang bikin. Ya otomatis semuanya yang ada di Mama punya Papa
duluan lah, " ucap Robi tetap tak mau mengalah dan tampak begitu puas bisa
membuat putranya emosi.
"Aduh!!!
Cukup! Papa diam! " Jalu menutup telinganya tak mau mendengar fakta-fakta
mengerikan lainnya lagi.
Naila
menepuk-nepuk putranya yang sudah bertengkar memperdebatkannya. "Tapi kan
anak Mama yang pertama adek. Jadi adek yang nenen nomer satu," ucap Naila
menenangkan pertengkaran itu.
Jalu mulai
bicara sambil menangis dengan tidak jelas pada Naila dan tampak sangat sedih.
Naila berusaha memahami ucapan putranya itu sambil memeluk dan mengelusnya
dengan lembut agar tenang. Tapi Jalu tetap marah dan menangis sambil terus
menolak perhatian Naila. Tapi karena hal itu juga sukses membuat Jalu berhenti
nenen.
●●●
"Sayang,
aku mau daftarin Jalu ke kelas bermain, " ucap Robi begitu Naila masuk ke
ruang kerjanya.
"Hah?! Buat
apa? Dia masih kecil banget. Enggak usah, biar main di rumah aja sama aku,
" ucap Naila kaget dengan usulan suaminya.
"Buat
kegiatan dia aja, biar dia ada aktivitas. Jadi malem cepet tidur, " ucap
Robi.
"Ya kan
kelompok bermain pagi. Dia siang juga tidur siang. Malem tetep kayak biasanya.
Udah lah Mas ga usah, " ucap Naila lalu duduk di hadapan Robi. "Eh
iya Mas, tadi aku liat ada bayi anak temen ibu, "
"Lalu?"
Robi mengangkat sebelah alisnya.
"Pengen
punya bayi lagi Mas, " jawab Naila terus terang.
"Hah?!
" Robi benar-benar kaget. "Anakmu loh baru aja berhenti nenen.
Nanti-nanti lah, " ucap Robi yang sebenarnya tidak tega kalau Naila harus
melahirkan secara caesar lagi.
Naila cemberut.
"Kan Jalu udah gede. Kamu dah mau masukin dia ke kelompok bermain. Udah
lah Mas, bikinin adek aja sekalian, " bujuk Naila.
Robi mengusap
wajahnya lalu menghela nafas. "Sayang, kalo pengen minta jatah, tiap hari,
tiap kamu pengen aku kasih. Mau belanja tiap hari ku izinin. Tapi kalo mau
punya anak lagi. Sabar dulu ya, " ucap Robi lalu menggenggam tangan Naila.
"Ih kok Mas
suruh aku sabar. Mas dah ga pengen punya anak dari aku ya?! " tanya Naila.
"Bukan
gitu, anakmu kan masih kecil."
"Makannya
itu, mumpung aku masih muda juga Mas. Lagian kan yang hamil aku bukan
Mas," Naila berkeras.
Robi menghela
nafas sambil geleng-geleng kepala. "Yaudah gini aja, punya anak cewek
terus udah ya. Gak nambah lagi, " ucap Robi yang akhirnya mengalah.
Naila langsung
mengangguk setuju dan keluar dari ruang kerja suaminya untuk memberitahu
putranya karena akan punya adik.
●●●
"Aku
pengennya punya adik cowok aja bial ada teman, " ucap Jalu sepanjang
perjalanan ke dokter.
"Papa
pinginnya anak cewek biar pas cowok cewek jadi Mamamu ga hamil terus, "
ucap Robi menanggapi putranya.
Jalu langsung
melemparkan mobil-mobilannya pada Robi dengan sekuat tenaga sebagai bentuk
ketidak setujuannya pada keinginan Papanya.
"Kan bisa
beli aja dede bayinya, " ucap Jalu yang tak suka Mamanya hamil lagi.
"Ga ada
yang jual bayi, adek, " saut Naila sambil menurunkan tangan putranya yang
selalu sengit dengan Papanya sendiri.
"Nanti Mama
kalo ada adek sayang aku apa adek?" tanya Jalu pada Naila dengan cemberut.
"Ya sayang
dua-duanya lah, sayang kakak sama adek. Kan anak Mama semua, " jawab Naila
lembut.
Jalu senang
dengan jawaban Naila, meskipun sebenarnya ia juga tak mau membagi kasih sayang Mamanya.
Tapi Jalu berfikir kalo ia punya adik Papanya tidak akan mengganggunya dan akan
lebih banyak bermain dengan adiknya tanpa mengganggu Mamanya.
Begitu sampai
dan giliran orang tuanya di periksa Jalu memaksa ikut. Melihat Mamanya di USG
dan serangkaian pemeriksaan. Tak lama giliran Papanya. Jalu harus menunggu di
luar sementara Mamanya menemani. Jalu menunggu di luar bersama suster juga
supirnya. Setelah semuanya selesai Naila keluar bersama Robi lalu lanjut
kembali pulang.
Sesampai di
rumah Robi sudah berencana untuk menidurkan putranya lebih awal. Tapi baik Robi
dan Naila malah mendapat kabar kurang baik. Nenek Naila meninggal. Jadi
keduanya harus pergi ke rumah Nenek Naila bersama Witri juga. Naila begitu
sedih apa lagi ia tak sempat ikut merawat. Robi dan Jalu berusaha menguatkan
dan menghiburnya.
"Sudah Mama
jangan sedih, " ucap Jalu sambil memeluk Naila. "Ibu Uti juga jangan
sedih, " Jalu beralih untuk memeluk neneknya yang ia panggil ibu uti.
Bab 44 – Pemakaman
Semalaman Naila
menemani ibunya sembari membaca yasin tahlil untuk mengantar kepergian
neneknya. Jalu duduk di pangkuannya kadang pindah ke Robi atau susternya
sebelum akhirnya ketiduran dan di pindahkan untuk tidur di mobil bersama suster
dan supirnya. Robi juga tak beralih dari sisi istrinya meskipun Robi sama
sekali tak nyaman dengan banyaknya orang-orang kampung yang mengerubunginya.
"Hubby, kita di sini dulu ya sampe besok
nguburin," ucap Naila lembut lalu memeluk suaminya sambil menutupi
wajahnya yang sedih.
Robi mengangguk
lalu mengecup kening Naila dan membalas pelukannya.
Ada begitu
banyak penyesalan pada hati Naila dan Witri karena tak bisa menemani Neneknya
yang sakit-sakitan. Tapi apa mau di kata umurnya juga sudah 90 tahun. Badannya
juga sudah terlalu tua dan rentan. Memang sudah waktunya.
Satu persatu
pelayat mulai pulang dan hanya menyisakan keluarga saja yang berkumpul saling
menguatkan. Robi teringat pada mendiang ibunya yang bahkan tak punya keluarga
sebanyak nenek Naila ini. Keluarganya tak sehangat keluarga Naila.
"Ini,
" ucap bibi Naila yang datang membawakan guling dan selimut untuk Naila.
Naila tersenyum
menerimanya lalu rebahan di samping ibunya yang tiduran di atas tikar. "Hubby, " panggil Naila sambil
menepuk sebelah gulingnya yang di jadikan bantal.
Robi mendekat
lalu ikut tiduran sambil memeluk Naila dan menggunakan selimut tipis untuk
menutupi kakinya saja. "Pengen di bawain kasur lipat gak?" tanya Robi
sambil berbisik.
Naila menggeleng
lalu merapatkan pelukannya pada Robi. "Keras ya?" tanya Naila sambil
berbisik juga.
Robi menggeleng
lalu mendekap Naila. Robi merasakan kenyamanan dan kehangatan dalam keluarga
istrinya ini meskipun selama ada di sana ia hanya bicara dengan istri dan
mertuanya saja.
●●●
Robi hanya tidur
sebentar, Naila juga begitu. Tak lama keduanya pindah ke mobil. Di mobilpun tak
bisa tidur dan hanya menunggu subuh untuk solat lalu mandi. Airnya begitu
dingin hingga Robi menggigil. Naila tampak biasa saja dan santai setelah mandi
karena memang biasa mandi tanpa pemanas air. Jalu juga kaget mandi dengan air
dingin dan menggigil bersama Papanya.
"Mama bikin
mi kuah nih, Papa sama adek makan dulu, " ucap Naila.
Robi tampak
ingin protes karena sarapan anaknya dengan menu yang sangat tidak sehat. Tapi
mengingat ia kedinginan dan hanya itu makanan yang ada akhirnya Robi menikmati
apa yang ada.
"Sedap ya,
" ucap Jalu memuji mi instan buatan Mamanya. "Adek mau lagi, "
sambung Jalu yang baru menghabiskan separuh tapi sudah minta lagi.
"Itu di
habisin dulu Nak, nanti baru tambah, " ucap Naila yang baru akan menikmati
mi instan miliknya.
"Mas mau di
bikinin teh? Kopi?" tawar Naila pada Robi.
"Teh aja,
" jawab Robi yang langsung di layani Naila.
Tapi tak lama
dan belum sempat sarapan. Naila sudah harus menyambut beberapa ibu-ibu
tetetangganya yang sudah datang melayat kembali. Begitu terus hingga tak sempat
makan dan hanya memastikan suami dan anaknya sudah makan. Hingga acara usai
Naila sama sekali belum sempat makan.
"Yuk pulang,
" ucap Witri pada Naila dan Robi lalu masuk ke mobil bersama-sama sebelum
akhirnya pulang.
Suasana
berkabung masih terasa, Naila dan Witri masih banyak diam. Jalu juga diam
karena sudah masuk jam tidur siangnya.
●●●
Salman menunggu
Robi dan keluarga kecilnya datang. Salman juga sudah membawa hadiah untuk Jalu,
cucunya. Tapi Robi tak terlalu senang dengan kehadiran Papanya itu, Jalu juga
masih terlelap saat di gendong ke kamar.
"Papa
mampir doang habis liat mainan keinget Jalu jadi beliin sekalian, " ucap
Salman pada Robi dan Naila.
"Makasih
banyak Pa, nanti Jalu liat pasti seneng banget, " ucap Naila lalu berjalan
ke kamarnya sementara Robi dan Salman mengobrol.
"Pa istriku
pengen punya anak lagi, " ucap Robi lalu menghempaskan tubuhnya di sofa.
Salman menatap
Robi tak percaya. "Beneran Naila apa kamu yang minta?"
"Ya Allah,
beneran Naila. Tanya aja kalo ga percaya. Dia liat bayi pengen punya bayi lagi,
" jawab Robi yang membuat Salman terbahak-bahak.
"Naila
gampang pengen ya, " ucap Salman di sela tawanya. "Terus
gimana?"
"Yaudah aku
cek kesehatan, cek kesuburan. Dokter bilang bagusnya tunggu anakku umur 3, tapi
Naila dah minta yaudah aku ga maksa tapi ga program khusus juga, " ucap
Robi sambil menghela nafas.
"Papa,
" panggil Jalu yang bangun begitu di tidurkan dan langsung berlari ke arah
Papanya.
"Aku mau
masukin ni bocah ke kelompok bermain juga, " ucap Robi lalu memangku
putranya.
"Eh cucu
opa udah bangun, " ucap Salman lalu menggendong Jalu. "Opa beliin
hadiah, " sambung Salman yang jadi teralihkan pada cucunya.
"Hadiah!!!
" seru Jalu senang dan semangat lalu turun dari gendongan opanya dan
melompat-lompat sambil berjingkat senang. "Hadiah! Hadiah! Aku suka
hadiah! "
Salman
menunjukkan mobil-mobilan listrik yang ia belikan. Jalu langsung naik dan
menunggu mobilnya dinyalakan opanya.
"Eh, Jalu
emang mau punya adik ya?" tanya Salman.
"Iya mau!
Nananti kan kalo ada adek, aku sama Mama telus, Papa main sama adek telus, jadi
tidak ada yang ganggu Mamaku lagi, " jawab Jalu polos.
Salman dan Robi
hanya bisa menepuk jidat mendengar ucapan Jalu yang begitu polos.
Bab 45 – Anak Kedua
Hampir tiap hari
Naila dan Robi menyempatkan diri untuk bercinta. Robi senang-senang saja
istrinya rajin minta jatah karena program hamil yang ia inginkan. Meskipun
Naila harus sembunyi-sembunyi dan mencuri waktu dari putranya yang begitu
posesif padanya. Benar-benar sebelas dua belas dengan Robi. Bahkan kadang lebih
posesif lagi dari pada Robi.
"Mama,
" ucap Jalu yang berusaha memisahkan orang tuanya yang masih terlelap dan
saling memeluk. "Mama aku susudah bangun, " ucap Jalu lalu mendorong Papanya
agar tidak menghalanginya memeluk Mamanya.
"Emh, Adek
udah bangun, " ucap Naila yang masih mengantuk sambil mengelus pipi Jalu
dan mengajaknya tidur di sampingnya.
"Sayang,
" rengek Robi yang ingin di manja pagi-pagi.
"Iya Hubby," jawab Naila dengan suara
serak lalu mencium suaminya terlebih dahulu sebelum kembali mendekap putranya
yang ingin minum susu sambil di puk-puk pantatnya juga.
"Ish!!
" Jalu memukul Robi dengan dotnya lalu memeluk Mamanya dan memaksa tidur
di tengah.
"Adek ga
boleh pukul-pukul Papa! " ucap Naila melerai.
Robi dan Jalu
hanya saling tatap dengan sengit.
"Adek
maksudnya sayang Papa tadi, " ucap Jalu agar bisa kembali di sayang Mamanya
lagi tapi tetap mendorong Papanya untuk menjauh dari Mamanya.
"Enggak,
Jalu ga pernah sayang Papa, " ucap Robi tak terima dengan ucapan putranya
tapi akhirnya menggeser posisinya agar Jalu bisa tidur di tengah.
"Papa juga
ga pernah sayangin Mamaku, " ucap Jalu tak terima.
"Dih sok
tau, Papa sayang sama Mama. Kalo gak sayang kamu ga ada, " ucap Robi
membela diri.
"Tatapi Mamaku
jadi sakit kalo sama Papa. Jadi melah-melah, " omel Jalu lalu duduk dan
menunjukkan kissmark yang ada pada Mamanya.
Robi tak mau
kalah dan langsung menurunkan selimutnya. "Nih Papa juga ada! " seru
Robi memberikan pembelaan.
"Oh yaudah,
kalo Mamaku ga boleh, Kalo Papa gaPapa," ucap Jalu yang benar-benar pilih
kasih.
Naila hanya bisa
geleng-geleng kepala sambil menahan tawanya mendengar hampir tiap hari Jalu dan
Robi bertengkar. Sementara Robi di buat tak bisa berkata-kata karena putranya
yang terus membuatnya merasa jadi orang paling tidak di sukai. Meskipun kalau Robi
tidak ada di rumah cukup lama Jalu tetap mencarinya dan akan kembaku beradu
argumen lagi tak lama setelahnya.
●●●
Tak selang lama
Naila hamil anak keduanya. Kehamilan yang tidak hanya di jaga suaminya tapi
juga putranya yang selalu berada di sisinya. Robi banyak intropeksi diri pada
anak pertamanya.
Mungkin karena
ia dan Naila dulu tidak akur dan sering marah-marah maka menghasilkan anak yang
tidak menyayanginya. Maka pada anaknya yang ke dua ini Robi akan super
memanjakan Naila. Agar ia punya anak yang menyayanginya juga. Jalu juga sayang
pada Robi tapi dari pada berbuat manis Jalu memang lebih sering berbuat buruk
pada Robi.
"Hubby, " sambut Naila begitu Robi
pulang kerja dan langsung memeluknya.
Robi memeluk
Naila lalu mencium bibir dan keningnga lalu berjongkok agar bisa mencium perut
istrinya itu. "Buat kamu, " ucap Robi sambil memberikan sebuket bunga
pada istrinya.
Naila tersenyum
senang menerima pemberian suaminya lalu menemaninya di kamar untuk mandi dan
sedikit bercumbu. Entah kenapa sejak hamil rasanya Naila ingin lebih banyak
dapat sentuhan dari suaminya dan Robi sama sekali tak keberatan dengan
permintaan Naila itu. Toh Robi juga punya keinginan untuk punya anak yang akan
sangat menyayanginya seperti Jalu pada Naila.
"Sayang
pokoknya anakku yang ini harus sayang aku, capek aku berantem mulu sama Jalu,
" ucap Robi sambil melepaskan jam tangan dan atasannya.
Naila hanya
tertawa mendengar ucapan suaminya. Baru kali ini setelah lama menikah dan
mengetahui fakta baru kalau suaminya ingin di sayang anaknya juga. Robi sendiri
juga baru tau bagaimana rasanya ingin di sayangi anak-anak setelah ia punya
anak sendiri.
"Mama,
" ucap Jalu yang datang sambil membawa bunga yang ia petik di taman.
"Ini buat Mama," ucap Jalu lalu memeluk Mamanya.
"Wah
terimakasih Kakak, " sambut Naila lalu memeluk Jalu dan membantunya naik
ke tempat tidur.
Tak ada hal yang
paling membahagiakan bagi Naila dan Robi selain saat membesarkan anak-anaknya.
Menjalani tiap hari sebagai keluarga kecil yang penuh kehangatan dan keceriaan
menjadi hal terbaik yang pernah Robi rasakan. Bahkan keluarga kecilnya ini juga
sudah sangat melebihi ekspektasinya terhadap Naila. Terlebih karena Naila
memberikan begitu banyak dedikasi pada keluarga kecilnya.
Bila kebanyakan
perempuan akan kesal dan lelah karena menjadi ibu dan harus mengurus keluarga.
Naila sama sekali tak menunjukkan hal tersebut. Bahkan uang belanja dari
suaminya terus menumpuk di rekeningnya karena Naila lebih banyak menghabiskan
waktu di rumah dan di dapur dari pada keluar belanja. Kalau saja suaminya tak
memaksa atau membelikannya sudah pasti Naila tak membeli barang-barang mewah
yang sekarang ia kenakan.
"Sayang,
" panggil Robi setelah Naila menidurkan putranya.
Naila melangkah
keluar dari kamar anaknya lalu mengikuti langkah suaminya untuk menikmati waktu
berduanya.
"Aku beli
wine," ucap Robi memamerkan botol winenya.
"Aku ga
minum wine Hubby, " saut Naila
lalu duduk di ayunan samping suaminya.
Robi mengangguk
lalu menunjuk gelas berisi coklat hangat untuk Naila. "Aku aja yang minum,
kamu temenin aja," jawab Robi lalu menuang winenya ke dalam gelas dan
duduk di samping istrinya. "Kamu bentar lagi lairan, pinggangmu kecil ga
bisa normal harus operasi lagi," Robi menghela nafas lalu menenggak
winenya.
Naila tersenyum
lalu bersandar di bahu suaminya. "GaPapa, kan bisa sampe tiga kali
kan?"
"Akunya
yang ga tega. Stress berat aku ngebayangin kamu lairan lagi. Enggak tega,"
Robi kembali menenggak winenya.
Naila menurunkan
gelas wine milik suaminya lalu meletakkannnya di meja taman beserta botol
winenya. "Hubby kan kaya,
duitnya banyak, aku bisa di tangani dokter mana aja, " ucap Naila lalu
menggenggam tangan suaminya. "Yang penting Hubby suport aku terus. Temenin aku nanti waktu lahiran. Udah ga
usah mikir aneh-aneh, " sambung Naila lalu mengecup bibir suaminya dan
kembali bersandar di bahunya.
Robi menghela
nafasnya lalu mengeratkan genggaman tangannya pada istrinya yang lembut dan
hangat juga selalu ia rindukan itu. "Aku takut kamu ga bangun lagi. Aku ga
mau pisah sama kamu," ucap Robi menyampaikan kekhawatirannya.
"Astaghfirullah
Mas, mikirnya jangan gitu dong. Aku di doain biar lancar, selamat, sehat, gitu.
Eh kata Ibu doa suami manjur loh kalo doain istri sama anak-anak, " ucap
Naila sambil mengelus tangan Robi dan sedikit memijatnya.
Robi tersipu
mendengar ucapan Naila lalu memeluknya.
"Masuk yuk,
di kamar aja. Nanti di sini kena nyamuk, " ucap Naila lalu bangun dan
menggandeng tangan suaminya untuk masuk bersama.
Bab 46 - Zara
Robi duduk
menanti kelahiran anak keduanya sambil berdoa untuk keselamatan Naila yang
sedang melakukan operasi caesar. Jalu yang biasa banyak gerak dan bicara juga
diam duduk di samping Papanya kadang juga duduk di pangkuannya dengan
harap-harap cemas khawatir pada kelancaran proses kelahiran adiknya.
Hampir dua jam
menanti akhirnya bayi perempuan yang berhasil lahir keluar lebih awal dan
seperti biasa baru Naila yang selesai dengan operasinya dengan selamat. Tapi
Robi tetap baru bisa menemani bayinya setelah melihat istrinya dan memastikan
kalau istrinya benar-benar dalam kondisi baik.
"Alo, Anak Papa,
princess kecil Papa," sapa Robi lalu mencium
jemari putrinya yang menggenggam erat jari yang ia sodorkan.
"Namanya
siapa?" tanya Salman yang memandangi cucu keduanya.
"Zara
Suandakni," jawab Robi.
"Kenapa
Zala?" tanya Jalu.
"Namanya
feminin aja gitu, kayak princess ,
" jawab Robi lalu kembali mencium tangan anaknya yang baru saja lahir
dengan lembut.
●●●
Pesta yang di
adakan Robi dengan nuansa pink dan putih tak semewah saat merayakan kelahiran
anak pertamanya. Bukan karena pelit atau karena tak semangat atas kelahiran
anak keduanya. Tapi Robi tak mau ada kejadian buruk saat istrinya di serang
ayah mertuanya lagi.
Undangan
benar-benar ketat dan Naila sama sekali tak muncul di publik. Hanya Robi dan
Jalu saja yang muncul di publik itupun Jalu hanya sebentar karena ingin
menemani Mamanya yang mengurus adiknya. Karena Jalu khawatir Mamanya akan lupa
padanya bila ia tak menemani.
"Kakak
ambilin selimutnya adek dong," pinta Naila sambil mengelus pipi Jalu
lembut.
Jalu langsung
pergi mengambilkan selimut untuk adiknya.
"Pinternya Kakak,"
puji Naila lalu menyelimuti bayinya. "Kakak awasin adek ya, Mama mau makan
dulu sebentar ya, " ucap Naila.
Jalu kembali
mengangguk lalu menarik kursi untuk duduk di samping tempat tidur, menjaga
adiknya. Meskipun tak lama neneknya datang menemaninya juga. Jalu tampak murung
tapi ia tetap memaksakan diri untuk menjaga adiknya.
"Kakak sini
Nak, " panggil Naila yang menyadari putranya tidak ceria seperti biasanya.
"Mau makan juga gak? Mama suapin, " ucap Naila setelah makan.
Jalu langsung
tersenyum ceria dan mengangguk dengan senang. "Mama sayang aku
tidak?" tanya Jalu sambil menunggu Mamanya mengambilkan makanan untuknya.
"Sayang
sekali dong! " jawab Naila lalu meletakkan piringnya untuk memeluk dan
mencium putranya. "Anak Mama, anak ganteng, anak soleh," ucap Naila
sambil menciumi Jalu dengan gemas.
●●●
"Aku ini
bapaknya Naila, istrinya pak Robi bosmu itu! Kurang ajar banget aku ga di
bolehin masuk! " Edo mengomel dan terus mengamuk ketika petugas keamanan
memperketat penjagaan dan menghalanginya untuk masuk.
"Tidak ada
undangan tidak boleh masuk Pak, mohon maaf aturan dari Tuan seperti itu. Kami
hanya mengikuti SOP saja, " ucap staf keamanan berusaha sopan dalam
menghalangi Edo yang terus memaksa masuk.
Seluruh staf
keamanan terus berusaha bersabar menghadapi Edo. Tapi Edo terus mengucapkan
segala sumpah serapah dan makian karena emosi tidak boleh masuk. Hingga
akhirnya keluarga mantan istrinya datang menaiki bus dari perusahaan Robi dan
langsung di persilahkan masuk bahkan di sambut dengan ramah oleh staf yang
berjaga di depan pintu.
Edo menatap
keluarga Witri dengan tatapan penuh amarah, emosi, cemburu, dan kesal karena
dapat pembedaan perlakuan dari Robi. Edo sudah langsung menuduh bila Witri
adalah dalang dari segala hal yang menyebabkan ia di usir seperti ini. Apa lagi
istri barunya juga ikut mengompori.
Edo merasa
terhina karena ia yang berkelas dan ayah kandung dari Naila malah di usir,
sementara keluarga mantan istrinya yang kampungan dan katrok malah di sambut
baik di rumah Robi. Tak ada orang lain lagi yang bisa Edo tuduh selain Witri.
Apa lagi Edo tau bila Witri mengambil pensiun dini dan tinggal bersama Naila.
Meskipun Witri beralasan bekerja di FS Group sebagai baby sitter ia tetap
merasa bila Witri berusaha mengeruk segala kekayaan Robi dan menyembunyikan
semua darinya.
Edo merasa di
tipu dan di dzolimi mantan istrinya. Padahal ia yang sudah menjual Naila dan
menikahkannya dengan Robi. Edo merasa dirinya yang seharusnya mendapat banyak
keuntungan atas Naila bukan Witri. Akhirnya dengan perasaan kesal dan
berkecamuk emosi Edo pergi dengan dendam di hati.
●●●
"Nah ini
nih sayang Papanya," ucap Robi tiap kali bisa menidurkan bayinya meskipun
sebelumnya memang anaknya sudah mengantuk dan kenyang karena sudah menyusu tak
lupa sudah pup juga jadi Robi benar-benar hanya tinggal menepuk-nepuk punggung
Zara dengan lembut saja.
Naila tersenyum
melihat suaminya yang begitu percaya diri bayinya menyayanginya hanya karena
mudah tidur saja. Naila mengecup pipi Zara dengan gemas lalu duduk bersandar
sambil mengusap rambut putrinya dengan lembut.
"Mama,
" rengek Jalu yang ingin tidur sambil di temani Mamanya. "Mama!!
" Jalu langsung menangis melihat kedua orang tuanya yang lebih asik dengan
adiknya dan mengabaikannya.
"Eh Kakak,
cup,sayang,ga usah nangis, " ucap Naila lalu menggandeng Jalu kembali ke
kamarnya.
Jalu berjalan ke
kamarnya sambil menangis menggenggam tangan Mamanya. Jalu ingin di gendong tapi
ia tau Mamanya masih dalam pemulihan jadi tak bisa menggendongnya. Jalu ingin
menghentikan tangisnya tapi melihat Mama Papanya mengijinkan adiknya untuk
tidur di kamar yang sama dan dia harus tidur di kamarnya sendiri membuatnya
begitu cemburu hingga tak bisa menghentikan tangisnya.
"Kakak
sedih ya?" tanya Naila sambil membantu Jalu naik ke tempat tidur.
Jalu mengangguk
lalu memeluk Mamanya sambil memangis. "Aku mau jadi adek saja! Aku tidak
mau jadi Kakak! " teriak Jalu sambil menangis dan memukul tempat tidurnya
dengan kesal sambil menendang-nendang.
Naila tak paham
dengan perasaan Jalu yang bisa berkata seperti itu. Naila anak tunggal dan ia
sangat ingin punya adik. Suaminya juga anak tunggal dan tak pernah terpikir
soal kecemburuan ini sebelumnya.
"Kakak kok
bilang gitu, " ucap Naila lembut saat Jalu mulai tenang.
"Dulu Mama
sayangin aku, sekarang sayangin Zala doang. Aku tidak di sayang lagi. Mama lupa
sama aku! " jawab Jalu menyampaikan perasaannya.
Naila menghela
nafas panjang lalu mendekap putranya. "Mama tidak lupa sama Jalu, Mama
selalu sayang sama Jalu. Zara kan masih bayi, masih kecil sekali. Belum bisa
apa-apa, belum bisa ngomong kayak Kakak, belum bisa jalan, belum bisa makan
juga. Jadi Mama sama Papa jagain adek dulu,"
"Tapi aku
jadi tidak boleh tidur sama Mama! " potong Jalu tak terima.
Naila tersenyum
lalu mengelus rambut dan punggung putranya. "Nanti kalo dedeknya udah gede
kayak Kakak juga tidur sendiri. Kan Papa juga udah bikinin kamar buat adek Zara,
" ucap Naila berusaha memberi pengertian.
Jalu masih tak
terima tapi apa yang di sampaikan Mamanya sangat masuk akal dan ia bisa
menerima alasan itu. Jalu hanya diam dan enggan berargumen dengan Mamanya.
"Kakak yang
sabar ya, Mama bangga sekali setiap Kakak mau jagain adek, mau bantuin Mama. Mama
ga tau Kakak sedih, besok kalo Kakak mau tidur Mama berusaha temenin Kakak
terus ya, kalo waktu adek Zara tidak rewel," ucap Naila berusaha
memberikan penawaran terbaiknya.
Jalu mengangguk
lalu membaca doa mau tidur lalu memejamkan matanya sambil memeluk Mamanya.
Bab 47 – Ulang Tahun
"Pap...
Papa..." ucap Zara sambil merangkak ke arah Jalu.
"Salah! Aku
bukan papa! " ucap Jalu lalu menyingkir dari Zara.
Zara terus
mengejar kakaknya dan Jalu terus menghindari adiknya itu. Hingga Zara terguling
Jalu hanya diam dan memanggil suster saja lalu pergi mencari mamanya tanpa ada
niatan menemani Zara atau mengawasinya. Meskipun Zara kembali bangun sendiri
lalu merangkak mengejar Jalu lagi dengan ceria.
"Kakak mau
pakek jas kayak papa apa kostum kayak adek?" tanya Naila begitu Jalu
menemuinya yang sedang menyiapkan pesta ulang tahun putrinya yang pertama.
Jalu cemberut.
Ia tidak mau keduanya. Jalu tidak mau di samakan dengan papanya apa lagi
adiknya. Jalu merasa tidak istimewa lagi, ia merasa di tinggalkan. Jalu merasa
sudah tidak di sayang lagi.
"Kenapa sih
harus sama sama adek?" tanya Jalu kesal.
"Mama suka
kalo liat kakak sama adek bajunya sama, kan jadi lucu, gemas, " jawab
Naila sambil mengelus punggung Jalu.
Jalu masih
mengerutkan keningnya tak suka dengan jawaban mamanya. Jalu hanya ingin dirinya
yang jadi pusat perhatian. Bukan adiknya yang merangkak dan suka tiba-tiba
mengigit atau memeluknya itu.
Karena Jalu tak
segera mengambil pilihan Naila yang memutuskan untuknya. Karena putranya tak
mau di samakan dengan adiknya ia memutuskan untuk menyamakannya dengan jas
milik suaminya. Naila ingin pesta kali ini berjalan dengan kompak dan ceria.
Apa lagi putri kecilnya juga ceria dan penyayang.
●●●
Pesta untuk Zara
tidak semeriah pesta ulang tahun pertama Jalu yang begitu mewah dan megah
hingga di datangi begitu banyak artis juga sebagai tamunya. Naila ingin lebih
bisa mengenal tamunya dengan baik dan membiarkan anaknya bersosialisasi.
Meskipun tamunya berkurang banyak, rasanya tamu kali ini pun tetap banyak bagi
Naila. Apa lagi hampir tak ada yang Naila kenal.
"Tiup
lilinnya, tiup lilinnya sekarang juga," semua orang bertepuk tangan sambil
menyanyi dengan ceria. Robi, Naila dan Zara mendekat ke kue untuk tiup lilin.
Hanya Jalu yang cemberut dan tak ikut mendekat.
Robi dan Naila
memberi waktu untuk Zara meniup lilin tapi karena nafasnya tak sampai akhirnya
Robi dan Naila yang meniup lilinnya bersama-sama lalu mengecup pipi Zara
bersamaan. Jalu menatapnya dengan kesal. Sepanjang sesi foto Jalu cemberut
kesal. Bagi Jalu, Zara adalah pencuri perhatian yang harusnya jadi miliknya dan
yang lebih membuat kesal lagi, Naila dan Robi juga tak begitu mempedulikannya
hampir di sepanjang acara.
●●●
Lagi-lagi Edo
datang dan di usir, ia lagi-lagi melihat rombongan keluarga mantan istrinya
yang datang dengan bus dari FS Group di sambut masuk ke dalam gedung. Edo tak
marah-marah seperti sebelumnya. Ia diam mengamati di kejauhan memperhatikan
hingga acara selesai di kejauhan. Memperhatikan rombongan yang pulang, hingga
mobil yang di tunggangi keluarga kecil Robi pulang. Edo terus mengawasi dan
mengikuti. Entah apa yang ia rencanakan tapi ia mulai rajin mengintai sejak
hari itu.
"Mam...
Mama... Yayang..." ucap Zara sambil merangkak dengan mata berkaca-kaca
menahan tangis minta di perhatikan oleh mamanya yang sedang makan.
"Sini
sayang anak mama. Anak cantik," sambut Naila yang langsung mengambil
selendang untuk menggendong putrinya dan bersiap memberi asi sambil lanjut
makan.
Zara menyusu
dengan tenang meskipun ia tetap mengeluarkan suara seperti sedang menangis
sambil terus menyusu. Jalu menatap adiknya sekilas. Ia masih saja kesal dan tak
bisa menerima kehadiran adiknya. Apa lagi ini jauh dari ekspektasinya.
"Kakak ada
pr gak tadi di TK?" tanya Naila yang melihat Jalu datang menemuinya.
"Tidak ada,
aku cuma main saja tadi sama mewarnai," jawab Jalu lalu duduk di samping
Naila.
Naila
melanjutkan makannya sambil memperhatikan cerita Jalu. Tak lama Ester datang
membawa surat pengunduran dirinya pada Naila.
"Ester
kenapa?" tanya Naila kaget melihat surat yang di berikan Ester padanya.
"Kenapa keluar? Gajinya kurang? " tanya Naila khawatir.
Ester tersenyum
lalu menggeleng pelan. Jalu pergi ke kamarnya begitu tau mamanya sedang bicara
serius dengan asistennya. Naila juga menyerahkan Zara pada susternya agar ia
bisa bicara empat mata dengan Ester yang sudah lama jadi asistennya.
"Kenapa?
Apa ada masalah? Tidak usah keluar, disini saja," ucap Naila lembut
setelah Ester duduk di hadapannya.
Ester
menundukkan kepalanya begitu sulit rasanya mengatakan alasan yang sudah ia
rancang matang-matang bersama kakaknya begitu ia berhadapan dengan Naila.
"S-saya mau k-ku-kuliah lagi, " jawab Ester dengan susah payah.
Naila menghela
nafas. "Yaudah gapapa kamu kuliah tapi sambil kerja di sini," paksa
Naila.
Ester menggeleng
pelan, airmata mulai menggenang di matanya. "Maaf tidak bisa... "
jawab Ester dengan suara bergetar.
Naila kembali
menghela nafas. Ia tak mau Ester berhenti bekerja untuknya, tapi ia juga tak
mau mengekang Ester. "Kamu udah aku anggap bagian keluarga disini. Aku
lupa kamu cuma kerja, yasudah nanti aku bilang Mas Robi," jawab Naila lalu
pergi ke kamarnya untuk menghubungi suaminya.
Ester hanya bisa
menangis dalam diam. Ia tak mau meninggalkan pekerjaannya. Tapi ada hal yang
lebih penting dari itu semua dan ia tak boleh terlena terlalu lama.
●●●
"Papa!!!
Yayang Papa!!! " seru Zara yang begitu semangat menyambut kedatangan
papanya.
"Adududuh
anak Papa, anak cantiknya papa, " ucap Robi lalu menggendong Zara dan
menciuminya dengan gemas.
"Nini
apa?" tanya Zara yang melihat papanya membawa barang lain selain tas
kerjanya.
"Ini barang
titipannya Mama," jawab Robi lalu duduk di sofa sambil memangku putrinya.
"Aku?"
tanya Zara yang juga ingin dapat sesuatu.
"Adek
pengen juga?" tanya Robi yang di angguki Zara. "Papa lupa tidak
beliin buat adek, maaf ya. Besok adek mau di bawain apa?" tanya Robi
sambil memeluk Zara.
Zara bicara
banyak hal tapi Robi tidak paham. "Kakak! " ucap Zara setelah lama
bicara dan Robi tetap tidak paham.
"Di bawain
kakak?" tanya Robi.
"Papa!
" ucap Zara lagi.
"Apa sih
anak papa pengen apa sih?" ucap Robi lalu menggelitiki Zara lalu
menggendongnya membawanya berkeliling rumah agar Zara bisa menyentuh atau
mengambil apa saja yang membuatnya penasaran.
"Papapa
yayang aku?" tanya Zara.
Robi mengangguk
lalu mencium kening Zara. "Papa sayang adek... " jawab Robi lalu
membiarkan putrinya memetik salah satu bunga di taman dan membawanya masuk ke
rumah.
Jalu menatap
Robi dan Zara yang ada di taman dari lantai dua dengan perasaan cemburu. Ia di
gantikan tidak hanya di hati mamanya tapi juga papanya.
"Kakak!!
" panggil Zara. "Kakak!! " panggil Robi setelahnya.
Jalu turun
dengan wajah di tekuk lalu mendekat ke arah papanya.
"Nini...
" ucap Zara ceria dan tulus memberikan bunganya pada Jalu.
Jalu memdengus
kesal namun tetap menerima pemberian Zara dan membawanya ke kamar. Senyum ceria
Zara sedikit memudar. Robi juga tak suka dengan sikap Jalu yang selalu memusuhi
adiknya itu.
"Kita cari
lagi ya, kasih ke mama... " ucap Robi berusaha menghibur Zara.
"Kakak
nanapa tidak yayang aku?" tanya Zara dengan mata yang berkaca-kaca.
"Sayang
kok, kakak sayang adek. Kakak lagi sibuk belajar jadi gitu. Adek jangan sedih
ya... " hibur Robi yang sudah tak tahan ingin memarahi Jalu yang membuat
Zara bersedih.
Zara mengangguk
lalu memeluk papanya. Ester hanya diam memperhatikan betapa hangatnya keluarga
Robi. Kebersamaannya bersama anak-anak dan istrinya di balik segala kearoganan
dan keangkuhannya selama ini.
"Hubby! " seru Naila yang baru
selesai mandi berlari ke arah suaminya lalu memeluknya dengan erat. "Adek
selalu deh nomer satu kalo tungguin Papa pulang. Mama sampe kalah," ucap
Naila lalu mencium Zara dan menggendongnya.
Bab 48 - Resign
"Terimakasih
sudah bekerja dengan profesional menemani istriku selama ini," ucap Robi
lalu tetap memberikan pesangon dan laptop baru untuk Ester.
Ester
membelalakan matanya kaget menerima begitu banyak hadiah dari Robi.
"Kamu
bilang mau kuliah, jadi mungkin ini bisa bantu kamu. Kalo kamu sudah lulus
boleh bekerja di sini lagi," ucap Naila sambil menggenggam tangan Robi.
Robi mengangguk
lalu merangkul Naila.
"Papa!
" seru Zara yang berjalan dengan baby walkernya membawakan pisang
untuknya.
"Mama
mana?" pinta Naila pada Zara.
Zara langsung
pergi lagi di ikuti susternya untuk mengambil buah. "Mama! " seru
Zara yang datang kembali dengan buah jeruk.
Naila dan Robi
langsung asik bersama Zara karena merasa sudah cukup bicara dengan Ester. Ester
juga langsung pergi meninggalkan keluarga Robi yang begitu bahagia.
●●●
Edo masih
mengawasi di kejauhan. Memastikan mobil yang kerap di gunakan Witri dan
memastikan kapan saja mobil itu pergi keluar dari rumah. Edo juga mengikuti
kemana saja rute perjalanan Witri tiap harinya. Terus ia lakukan hingga ia
yakin dan hafal dimana saja Witri akan pergi.
"Ibu kok
ngerasa kayak ada yang ngikutin ya belakangan ini," ucap Witri pada Naila
dan Robi saat sedang makan malam bersama.
Robi
menghentikan makannya sejenak untuk memperhatikan mertuanya.
"Ah masak
Bu, Ibu kan jarang pergi kemana-mana. Lagian siapa juga yang ngikutin
Ibu?" ucap Naila acuh tak acuh karena merasa aneh ada orang yang mengikuti
ibunya.
Witri menggeleng
pelan. "Ibu juga ga tau, ngapain juga ngikutin Ibu."
"Ibu lagi
deket sama cowok ya?" tebak Naila.
Witri langsung
menggeleng lalu tertawa. "Enggak lah. Ibu udah tua gini aneh-aneh aja
kamu."
"Ada orang
yang ga suka Ibu?" tanya Robi setelah lama diam lalu mulai makan lagi.
Naila dan Witri
langsung diam dan berfikir siapa orang yang begitu membenci Witri.
"Mama mau
itu," ucap Jalu menunjuk sayap ayam goreng yang sudah sekian kali ia makan
tanpa nasi.
Naila
mengambilkan apa yang di minta Jalu lalu mau ngambilkan juga untuk Zara. Usai
makan Naila menemani Jalu terlebih dahulu untuk mengobrol dan bercanda. Zara
ikut bergabung juga tak lama setelahnya. Robi juga ikut masuk ke kamar Jalu.
"Kakak
kenapa gak sayang adek?" tanya Robi.
"Aku sayang
kok! " jawab Jalu mengelak dengan alis mengkerut.
Robi dan Naila
juga Zara hanya diam menatap Jalu tak percaya. Tapi tak lama Zara tersenyum
senang lalu menggenggam tangan kakaknya. Jalu tetap merasa tersudut dan melihat
Zara tersenyum tidak memperbaiki perasaannya sedikitpun.
"Aku yayang
kakak! " seru Zara lalu mendekat dan mencium Jalu.
Jalu diam dan
langsung mengusap pipinya yang baru saja di cium Zara. Robi geleng-geleng
kepala melihat tingkah Jalu.
"Kakak itu
cuma punya adek satu doang, satu-satunya saudaranya kakak cuma adek doang. Kok
gitu sih? " tanya Robi kesal.
Jalu memalingkan
wajahnya memunggungi orang tuanya.
"Kakak ga
suka ya punya adek?" tanya Naila lembut sambil mengelus rambut Jalu. Zara
ikut ingin menunjukkan kasih sayang pada kakaknya dan langsung memeluknya.
Jalu diam dan
langsung memejamkan matanya berpura-pura tidur.
"Kalo kakak
ga sayang adek, mama sama papa ga sayang kakak juga," ancam Naila.
Jalu langsung
menatap orang tuanya dan menangis. Zara kaget kakaknya menangis lalu memeluk
erat mamanya dan ikut menangis juga.
"Sejak ada
adek, aku tidak di sayang lagi. Semuanya buat adek, apa-apa adek terus!
Semuanya jadi lupain aku! Aku sebal! Aku sudah tidak mau punya adek lagi!
" ucap Jalu sambil menangis dan berteriak.
Robi diam sambil
menghela nafas dan geleng-geleng kepala.
"Enggak,
mama sayang kakak, semua juga sayang kakak. Ga ada yang lupa sama kakak,"
ucap Naila sambil memeluk Jalu dan Zara di kanan dan kirinya.
"Lupa!
Semua lupa aku! Cuma adek yang di bikinin pesta aku tidak, adek boleh tidur di
kamar mama, aku tidak. Adek boleh di rumah, aku harus pergi sekolah. Sebenarnya
pada mau usir aku kan! " ucap Jalu dengan segala pemikirannya yang sudah
berlebihan dan ia dramatisir.
"Astaghfirullah...
Enggak kak, ga ada yang kayak gitu. Kakak kan udah besar, dulu kakak di kamar
mama juga sampe umur tiga, adek baru satu umurnya. Pesta kemarin kan ulang
tahun adek, kakak juga tiap tahun kemarin bikin pesta. Kakak sekolah kan biar
pintar, adek masih satu tahun ya belum sekolah lah. Kakak kok mikirnya jahat
gitu. Ga boleh, harus sayang adek. Kakak harus kasih contoh yang baik buat
adek, " ucap Naila lembut memberi pengertian.
Jalu tetap
menangis tak terima. Zara juga menangis. Robi meminta istrinya untuk
menenangkan Zara saja dan ia yang akan bicara dengan putranya itu.
●●●
"Adek kalo
kakak nangis kenapa ikut nangis?" tanya Naila sambil menyusui Zara di
kamarnya.
"Adek
yayang kakak, adek sedih juga," jawab Zara lalu kembali nenen lagi.
Naila tersenyum
lalu mengusap pipi putrinya itu dan menepuk-nepuk pantatnya agar cepat tidur.
"Aku yayang
mama," ucap Zara yang mulai mengantuk.
Naila mengangguk
lalu mengecup pipi dan kening Zara dengan lembut. "Mama juga sayang
adek," jawab Naila.
Tak lama
setelahnya Zara tertidur. Robi juga masuk ke kamar dan membantu Naila
memindahkan Zara ke tempat tidur kecilnya.
"Anak papa,
anak cantik," ucap Robi lalu mencium Zara sebelum menidurkannya.
●●●
Jalu tampak
sedikit lebih baik pada Zara setelah di nasehati papanya. Untuk pertama kalinya
Jalu mencium dan memeluk Zara sebelum Zara yang melakukannya. Zara tampak
senang lalu mengikuti Jalu terus dengan baby walkernya hingga Jalu kesal
sendiri dan ingin berangkat lebih awal saja ke sekolahnya dari pada di kerjar
adiknya terus.
"Adek tu
kejar kakak soalnya sayang. Kakak malah lari terus," ucap Naila lalu
menyalimi Jalu dan mengantarnya masuk mobil sambil menggendong Zara.
"Kakak!
Kakak! Kaaakaaak! " seru Zara sambil menangis dan meronta-ronta ingin ikut
bersama kakaknya.
"Kakak mau
sekolah, adek sayang kakak aja ya," ucap Naila lalu menyuruh Zara salim
dan memeluk juga mencium Jalu saja.
Tak lama Robi
turun dari ruangannya. Robi berbeda dari biasanya. Ia memakai kaos dan celana
pendek terlihat begitu santai lalu ikut mengantar anaknya pergi.
"Mas, hari
ini aku mau pergi imunisasi adek. Mas bisa temenin?" tanya Naila.
"Permisi
Tuan, ada tamu." Robi dan Naila menoleh ke arah kepala pelayan lalu saling
tatap.
"Kayaknya
ga bisa. Aku mau bikin taman bermain, kamu kesana sendiri gapapa ya?"
tanya Robi.
Naila mengangguk
sambil tersenyum dan memberikan Zara yang ingin di gendong papanya. "Mas
ada tamu siapa?" tanya Naila.
"Ini aku
mau bikin taman bermain sama toko mainan gitu. Sama kayak tempat penitipan anak
tapi dalam satu lingkungan," jawab Robi.
Naila mengangguk
sambil tersenyum dan mengacungkan dua jempolnya.
"Di sini
kan belum ada tempat main buat anak," ucap Robi lagi lalu keluar menemui
tamunya sambil mengajak Zara sementara Naila bersiap-siap pergi imunisasi.
"Sayang nanti pakek mobilku aja. Ibu ikut kan?" sambung Robi sebelum
menemui tamunya.
"Iya, sama
Ibu," jawab Naila sedikit berteriak lalu berlari ke kamar.s
Bab 49 – Kecelakaan
"Dada Papa!
" seru Zara sambil melambaikan tangan pada Robi dengan ceria dan terus
melambaikan tangannya hingga Robi tak terlihat.
Robi juga terus
melambaikan tangannya dengan ceria pada Zara. Benar-benar pemandangan langka
dan hanya bisa di lihat saat Robi ada bersama anak dan istrinya saja.
"Anakku dah
pada gede, perasaan baru aja istriku bilang kalo hamil. Tau-tau anakku dah bisa
ngomong," gumam Robi sambil memandangi gerbang rumahnya yang akhirnya di
tutup.
Robi mulai fokus
pada pembicaraan dengan arsitek yang akan membangun taman bermain sesuai dengan
keinginannya. Sesekali Robi mengelus dadanya dan lebih sering menatap ponselnya
karena perasaannya yang tiba-tiba jadi tidak enak.
●●●
Edo kesal ia
hampir terlewat mengikuti mobil yang keluar dari rumah Robi. Edo tak peduli
apakah itu benar mobil Witri atau bukan. Tapi yang jelas ia tak sempat
memastikan nomor platnya dan ia sudah melihat ada Witri di dalamnya. Edo
langsung tancap gas mengikuti dari belakang dengan mobil boxnya. Edo sudah
berencana untuk mengeksekusi Witri langsung hari ini.
Naila duduk di
tengah bersama Witri yang memangku Zara dan seorang suster yang duduk di
belakang. Tak ada yang aneh dalam perjalanannya sampai tiba-tiba ada sebuah
mobil yang melaju mengejar mobilnya untuk pertama kali. Naila menoleh ke
belakang dengan heran sambil berusaha melihat siapa yang mengemudi mobil
ugal-ugalan di belakangnya.
Witri juga
menyadari ada mobil yang mengikutinya lagi. Sopir juga dan makin mempercepat
laju mobilnya. Hingga akhirnya sebuah mobil mini bus menghantam sisi kiri
mobilnya hingga hilang keseimbangan. Tak lama mobil mini bus itu langsung kabur
tancap gas begitu saja.
Kaca sisi kiri
mobil pecah, juga ringsek. Witri terjepit di dalamnya. Naila luka-luka dan
sempat tak sadarkan diri. Sopir dan suster juga sempat tak sadarkan diri karena
benturan yang cukup keras.
Sebuah ketukan
berkali-kali dari luar berusaha menyadarkan Naila juga yang lain. Polisi dan
ambulans mulai datang dan Naila mulai tersadar dan melihat betapa banyak luka
dan serpihan kaca yang menancap pada Zara yang ikut terjepit juga bersama
Witri. Darah begitu banyak mengalir di wajah polosnya yang tak sadarkan diri
itu.
Naila membuka
pintu lalu berteriak histeris meminta tolong begitu ia sadar. Naila berusaha
melepaskan Zara tapi ia tak bisa. Para petugas mulai berdatangan di bantu para
pengguna jalan dan warga sekitar untuk melepaskan Zara dan Witri yang terjepit
bodi mobil yang ringsek. Hingga akhirnya Zara dan Witri bisa lepas dan langsung
di bawa ke rumah sakit.
Naila menangis
sambil menggendong Zara selama di ambulans menuju rumah sakit terdekat. Naila
tak memperdulikan lagi bagaimana kondisinya. Ia hanya peduli pada keselamatan
putri kecilnya. Sesekali Naila memperhatikan Witri juga. Tapi ia tetap fokus
pada Zara.
"Adek, adek
sadar Nak," ucap Naila di sela tangisnya yang dari tadi merasakan betapa
dinginnya tubuh Zara. "Nanti kita ke rumah sakit, adek di obatin ya Nak.
Tunggu ya, sabar ya," ucap Naila sambil menatap Zara.
●●●
"Bapak!
Mobil Mbak Naila kecelakaan! " lapor Ester panik dan histeris lalu
mengirimkan foto TKP.
Robi begitu
kaget mendapat kabar mobilnya yang di kendarai untuk mengantar Zara
imunisasi ringsek di perjalanan. Ia langsung bergegas pergi mencari keberadaan
keluarganya di bantu arsiteknya yang siap mengantar begitu ia dapat kabar
buruk. Robi sempat melihat betapa parah sisi kiri mobilnya yang ringsek di
tabrak. Robi segera melaju ke rumah sakit secepat yang ia bisa.
Robi melihat
supir dan suster yang menjaga anaknya luka-luka di UGD. Tak lama ia melihat
juga mertuanya yang begitu parah. Perasaan Robi langsung tak karuan. Ia begitu
khawatir pada istri dan anaknya. Sampai ia mendengar suara tangis Naila yang
begitu histeris. Robi melangkah ke arah suara itu dan mendapati putri kecilnya
dengan luka yang begitu parah di nyatakan meninggal dunia.
●●●
"Harusnya
kakak lebih hati-hati! Liat kita jadi salah sasaran! Mertua sama anaknya tidak
salah apa-apa kak! Robi yang salah bukan mereka! " bentak Ester pada Dea
dengan perasaan campur aduk setelah orang suruhan kakaknya berhasil mencelakai
mobil Robi.
"Ini
balasan buat Robi biar dia gak angkuh lagi! Ini balasan buat dia! Dia layak
dapet ini semua! Dia udah bunuh bapak! Ini setimpal! " ucap Dea tak mau di
salahkan.
"Apa
bedanya kita sama Robi kalo kayak gini kak?! Kita sama kejamnya sama dia
sekarang! " Ester menangis menyesali apa yang sudah di lakukannya.
"Ini juga
salahmu! Kamu yang kasih informasinya! " Dea menimpakan kesalahan pada
Ester.
"Aku udah
pastikan selama bertahun-tahun, itu emang mobil Robi. Naila biasanya pakek
mobil alpart! Aku ga tau kalo hari ini dia pakek mobil yang itu! " jerit
Ester membela diri.
Dea menundukkan
kepalanya. Dari hatinya ia merasa sangat bersalah pada Naila dan keluarganya
yang jadi korban salah sasaran. Dea ingat betapa baik hatinya Witri dan
bagaimana kisah di balik pernikahan Naila. Dea tau ia salah. Tapi nasi sudah
menjadi bubur. Dea tinggal memikirkan cara untuk sembunyi atau menghilangkan
bukti yang bisa menjebloskannya ke penjara.
"Paling
enggak aku udah panggil ambulans sama kabarin Robi soal kecelakaan ini, "
ucap Ester yang langsung di tampar oleh Dea.
"Ngapain
kamu laporan segala ke Robi?! Kalo dia curiga gimana?! " teriak Dea yang
tak mau bila harus mendekam di balik jeruji besi hanya karena ketololan
adiknya.
●●●
Edo berusaha
kabur begitu melihat kecelakaan yang menimpa mobil Robi. Ia langsung berusaha
mengemasi barang-barangnya dan mengajak pergi istri dan anaknya uang masih
kecil untuk ikut kabur dan sembunyi. Rencananya sudah di buat gagal total oleh
pengemudi yang menyalipnya dan menabrak mobil Robi tadi.
Edo tak pernah
berencana untuk mencelakai hingga separah itu. Ia hanya ingin mencegat dan
meminta beberapa uang atau perhiasan secara paksa saja. Tidak lebih. Tapi
sekarang semua jadi berantakan. Edo jadi takut bila ia akan terseret dalam
masalah ini.
"Enggak!
Aku ga mau ikut! Aku ga mau ikut campur urusanmu lagi! Aku mau cerai aja dari
kamu! " jerit Ella yang tak mau ikut kabur bersama Edo dan lebih memilih
untuk tetap tinggal di rumah saat ini.
Dengan entengnya
Edo menampar Ella yang melawannya. Anaknya menangis melihat orang tuanya
bertengkar. Suasana jadi makin panas dan kacau. Edo makin tak bisa
mengendalikan emosinya dan langsung melampiaskannya dengan mencambuk anaknya
yang masih balita dengan sabuk kulit yang ia pakai agar diam berkali-kali. Ella
yang berusaha melindungi anaknya juga ikut di cambuk tanpa henti. Tak cukup
sampai di situ Edo juga menghantam tubuh Ella dengan kursi kayu hingga rusak.
Bab 50 – Berkabung
Bila Robi
mengira hari terberatnya adalah ketika ia kehilangan Mamanya. Ia salah,
kehilangan anak perempuannya ternyata jauh lebih menyakitkan dari pada apapun.
Naila yang paling terpukul. Apa lagi seminggu setelahnya ibunya juga meninggal
setelah koma dan tak dapat di selamatkan lagi. Berhari-hari Naila hanya
menangis histeris lalu diam dengan pandangan kosong. Jalu ikut sedih melihat
kondisi Mamanya yang begitu buruk. Tapi yang paling membuat Jalu sedih adalah
ia tak dapat bertemu lagi dengan adiknya yng selalu menyayanginya juga neneknya
yang selalu ada untuknya.
Bila di kejar
Zara dan harus berbagi kasih sayang adalah hal yang buruk, kehilangan Zara
ternyata tidak sebaik yang Jalu kira. Jalu menyesal ia tak pernah menjadi kakak
yang baik dan menyayangi Zara sebagaimana yang seharusnya. Jalu menyesal ia tak
pernah mau bermain dengan Zara padahal Zara begitu menyayanginya.
Jalu menatap
kamar adiknya yang biasa di pakai untuk bermain. Jalu menatap baby walker milik
Zara yang selalu di gunakannya untuk berjalan di sekeliling rumah, atau berlari
ke arahnya hingga ia risih. Sekarang sudah tidak lagi. Jalu melihat beberapa
mainan yang biasa Zara berikan padanya dan selalu ia tolak. Sekarang Zara tak
lagi mengganggunya tak lagi menyodorkan hal-hal yang selalu tampak menyebalkan
bagi Jalu.
Jalu duduk di
tengah ruangan lalu menangis sambil memegangi baby walker milik Zara. Jalu
menyesal, Jalu merindukan Zara. Jalu ingin adiknya hidup kembali dan bisa
bermain dengannya lagi. Tapi sekeras apapun Jalu memohon, sebanyak apapun uang
yang bisa di bayarkan Papanya. Zara tetap tidak bisa kembali.
"Kakak,
" panggil Robi lalu mengelus kepala Jalu yang menangis. "Ini musibah
buat kita semua, ini bukan salah kakak."
●●●
Pengemudi mini
bus yang menabrak mobil Robi waktu itu hilang tak dapat di temukan. Mobilnya
pun sudah ada di tempat rongsokan. Edo juga ikut di amankan setelah kabur. Edo
masih bisa mengelak karena ia hanya menguntit dan berdalih hanya ingin menengok
cucunya saja. Dalihnya cukup meyakinkan dan ia bisa bebas.
Ester yang waktu
itu jadi orang yang pertama kali melapor ikut di periksa. Kesaksiannya cukup
meyakinkan dan ia bisa bebas setelah berdalih akan pergi untuk membuat SKCK
sebagai persyaratan mendaftar kuliahnya saat kejadian dimana ia melihat
kecelakaan. Robi juga membenarkan alasan Ester yang memang berhenti bekerja
karena ingin kuliah.
Robi begitu
kecewa ia tak bisa menemukan siapa pelaku dari penabrakan yang membuat anak dan
mertuanya meninggal itu. Robi merasa ia di permalukan dan gagal melindungi
darah dagingnya sendiri. Putri kecilnya yang selalu ceria dan penuh kasih
sayang. Zara yang selalu menghampirinya dengan rasa sayang.
Robi begitu
rapuh begitu ia tak bisa berbuat banyak untuk melindungi keluarganya sendiri.
Robi menyalahkan dirinya karena. Orang-orang suruhan Robi juga tak berhenti
untuk menyelidiki. Tapi tak lama ada laporan dari keluarga Ella yang mengatakan
kalau Ella dan anaknya hilang.
Edo kembali
tertangkap ketika kabur yang ke dua kalinya karena polisi dan keluarga curiga
pada bak air di kamar mandi yang di tutup cor. Edo akhirnya mengaku ia
berencana untuk merampok Witri selama ini dan ia akhirnya juga mengakui bila ia
yang sudah membunuh Ella dan anaknya.
Edo mendapat
hukumannya tapi Robi merasa itu masih tidak cukup. Misteri siapa yang menabrak
mobilnya masih ia pertanyakan. Robi memeriksa semua orang yang ia curigai
dengan dasar maupun tidak. Robi menggunakan segala cara halal atau haram, legal
maupun ilegal demi mendapatkan apa yang ia mau.
●●●
Naila duduk
bersimpuh di lantai dengan mukena yang masih belum ia lepas sejak solat ashar.
Naila begitu kurus setelah kehilangan ibu dan anaknya sekaligus. Nafsu makannya
hilang dan ia hanya menghabiskan waktunya untuk menangis dan berdoa saja.
Bahkan sudah dua kali dalam empat puluh hari belakangan ia harus di infus
karena terlalu lemas dan menolak untuk makan.
"Mama, ayo
makan! " ajak Jalu yang datang membawakan nampan berisi semangkuk sup
kesukaan Mamanya.
Naila tersenyum
lalu meletakkan mangkuk yang di bawakan Jalu di sampingnya. "Anak Mama dah
besar," ucap Naila lembut lalu memeluk Jalu.
Jalu membalas
pelukan Naila. "Mama makan, nanti Mama sakit lagi kalo ga mau makan,
" ucap Jalu membujuk Mamanya.
"Mama masih
kenyang," ucap Naila lalu mencium pipi putranya. "Papa kemana?"
tanya Naila lalu melepaskan mukenanya dan melipatnya.
"Papa di
bawah sama orang-orang lagi ada urusan. Mama mau ketemu Papa?" tanya Jalu.
Naila menggeleng
lalu bangun dan berjalan ke tempat tidurnya. Naila meminum obatnya sebelum ia
tiduran di temani Jalu. "Mama kangen sama Ibu, kangen sama adek Zara
juga," ucap Naila pelan lalu kembali memeluk Jalu. "Kakak jangan
ninggalin Mama ya."
Jalu mengangguk
lalu mengeratkan pelukannya tanpa berani memandang wajah Mamanya yang
membuatnya merasa bersalah dan ikut sedih lagi.
"Kakak,
pindah ke kamar kakak ya," ucap Robi lalu menggendong Jalu untuk
memindahkannya ke kamarnya sendiri dan ia bisa memiliki waktu bersama istrinya.
Setelah
memindahkan Jalu, Robi memeluk Naila dan mengelus punggung juga bahunya yang
makin kurus hingga tulangnya dapat begitu terasa. Naila mulai menangis di
pelukan suaminya menumpahkan segala kesedihan dan rasa kehilangan yang ia punya
saat ini.
"Aku kangen
anakku, kangen ibuku," adu Naila pada Robi.
Robi mengangguk
lalu mengambilkan tisu untuk Naila. "Mas juga kangen sama Zara, sama Ibu.
Mas masih berusaha buat cari orang yang nabrak waktu itu. Mas berusaha, kamu
jangan sedih terus ya," Robi berusaha menghibur Naila.
"Aku ga
kuat Mas," lirih Naila.
"Hus! Ga
boleh bilang gitu. Inget kamu masih punya anak, tega kamu ninggalin anakmu?
Ninggalin Jalu tega? Ninggalin aku, aku ga punya keluarga lagi selain kamu sama
Jalu. Jangan bilang kayak gitu Dek," ucap Robi panik menepis keputus asaan
istrinya. "Jangan bilang gitu lagi ya," Robi mengecup kening Naila
lalu kembali mendekapnya.
Naila memejamkan
mata sambil membalas pelukan suaminya. Ia berusaha untuk terus berpikir jernih
dan bangkit dari rasa terpuruknya.
●●●
Ester sudah
tujuh kali melakukan pemeriksaan di waktu yang berbeda dari detektif maupun
polisi sejak kejadian itu. Jawabannya masih sama dan cukup meyakinkan. Berbeda
dari kakaknya yang hanya sekali di introgasi dan pemeriksaan. Tak ada yang
curiga pada Dea karena Dea memang hanya bertemu dengan Witri saat mengurus
sidang cerainya saja. Tapi entah kenapa semua orang seolah mencurigai Ester
karena ia lama bekerja untuk Naila dan ia juga mengundurkan diri secra
mendadak.
"Mau
kemana?" tanya Dea yang melihat Ester bersiap pergi.
"Mau jenguk
Naila, aku capek di introgasi terus-terusan," jawab Ester lalu pergi
dengan mengendarai motornya.
Pikirannya kacau
dan di penuhi rasa bersalah juga was-was sepanjang perjalanan. Ester merasa ada
sesuatu yang mengawasinya meskipun setiap ia berhenti untuk mengawasi tak
satupun orang yang tampak mencurigakan dan itu hanya ada dalam pikirannya saja.
"Nona Naila
di kamar masih sedih, coba kamu ke sana," ucap kepala pelayan
mempersilahkan Ester.
Ester berjalan
ke kamar Naila. Hal pertama yang ingin ia lihat dari Naila yang sedih adalah
Naila yang melampiaskan kesedihannya sambil makan banyak eskrim atau makan
banyak buah seperti dulu. Tapi yang ia lihat adalah Naila yang kurus dengan
kantung mata yang menghitam dan tangan yang kembali di infus petugas medis yang
di datangkan Robi untuk merawatnya.
"Naila..." panggil Ester berbisik.
Epilog
Naila menoleh
pada Ester lalu tersenyum. "Hai Ester," sapa Naila lalu kembali diam
membisu dengan pandangannya yang kosong.
Ester mendekat
lalu duduk bersimpuh di lantai sambil menggenggam tangan Naila. Ester merasakan
betapa hangatnya tangan Naila yang lembut.
"Adek Zara
sama Ibu meninggal, Ester. Aku sedih," ucap Naila pada Ester dengan mata
yang mulai berkaca-kaca dan nafas yang mulai tersengal.
Ester tak kuat
hati untuk menguatkan Naila. Dari seluruh anggota kelurga pemilik FS Group ini.
Hanya Naila dan keluarga kecilnya yang tak pernah di jadikana sasaran oleh
Ester maupun kakaknya.
"Jam segini
biasanya adek lagi main sambil di suapin buah, terus pup, nenen, tidur siang.
Aku kangen anakku, Ester kangen Zara juga gak?" Naila menatap Ester sambil
tersenyum tipis.
Ester
menundukkan pandangannya begitu menyesal pada segala yang sudah ia perbuat.
"Aku kangen
masakan Ibu, kalo ada Ibu kita bisa makan sama-sama. Adek juga ikut makan juga.
Masakan Ibu enak, ya kan Ester?" Naila kembali mengajak Ester mengingat
Witri juga Zara.
Ester mengangguk
pelan. Ester ingat betul ia adalah orang kepercayaan dan kesayangan Naila juga
keluarganya. Witri menganggapnya seperti anak perempuannya sendiri. Zara juga
menyayanginya bahkan Zara lebih menyayanginya daripada baby sitternya.
"Aku sedih,
aku kangen keluargaku," ucap Naila lalu menghela nafas.
"Mama!
" seru Jalu ceria lalu berlari ke tempat tidur Mamanya sepulang dari PAUD.
Naila memeluk
dan mencium Jalu dengan penuh kasih sayang lalu memperhatikan cerita putranya
soal hari-harinya di sekolah. Sementara Ester berjalan pergi meninggalkan Naila
juga meninggalkan rumah besar itu. Beberapa pelayan dan staf di rumah melihat
kesedihan Ester. Beberapa menenangkannya yang menangis lalu memeluknya untuk
saling menguatkan. Semua orang tau betapa dekatnya Ester dengan Naila. Semua
berpikir kalau Ester sesedih itu karena ia juga merasakan kehilangan seperti
Naila.
"Kasian,
pasti Ester sedih juga," ucap salah satu staf dapur yang di terima bekerja
bersama Ester dulu melihat Ester yang pergi meninggalkan rumah.
●●●
Semalaman Ester
tak bisa berpikir jernih. Ia dan kakaknya salah sudah menyimpan dendam, tapi
Robi juga perlu dapat ganjaran atas perbuatannya dulu. Tapi mau sampai kapan
saling balas, itu terus yang menjadi beban di pikiran Ester.
"Mau
kemana?" tanya Dea.
"Kantor
polisi, " jawab Ester pelan.
"Ngapain?!"
tanya Dea kaget.
"Aku ga mau
hidup kayak gini terus, aku tau kakak benci sama Robi. Tapi kita bunuh orang
yang salah. Aku ga mau hidup saling balas dendam tanpa henti, aku ga mau hidup
dalam rasa bersalah. Selain itu kalo sampe kita di tangkap Robi, itu tidak
lebih baik dari pada kita di tangkap polisi," ucap Ester sambil membawa
beberapa obat yang akan berguna bila ia di penjara saat itu juga untuk
berjaga-jaga.
Dea menggeleng
cepat. "Kamu mau ngapain? Kamu mau bilang kalo aku yang bikin ini semua
terjadi? Kamu mau ngadu kalo kita dalang dari semuanya?! Iya?! " Dea
berteriak dengan kacau, airmatanya mengalir. Ia tak siap menghadapi semuanya.
Ester
menggeleng. "Aku, hanya aku. Aku yang bakal tanggung jawab semuanya. Kakak
kabur atau pikirkan hal lain biar bebas. Ini pilihanku. Kakak tenang saja, aku
bakal lindungin kakak," ucap Ester lalu pergi dengan motornya.
Sementara Dea
menangis frustasi dan berusaha mengepak barang-barangnya. Ia tak bisa berpikir
jernih meskipun ini bukan kali pertamanya berada dalam situasi tegang yang
mendesak. Sebagai lawyer harusnya Dea punya pengalaman yang mumpuni dan bisa
membuat perencanaan yang baik, bukan seperti ini.
Ester duduk di
depan kantor polisi. Sudah beberapa kali polisi bolak-balik menanyainya kenapa
ia duduk di sana. Kantor polisi terasa lebih ramai dari pada biasanya, entah
memang ramai atau hanya perasaan Ester saja. Keringat dingin mulai bercucuran,
jantungnya berdebar-debar, Ester takut dan gugup.
"Saya ingin
menyerahkan, "
"Ester!!!
" teriak Dea yang datang ke kantor polisi menahan Ester untuk menjadi
tamengnya.
Ester terdiam.
Semua polisi menatap Dea dan Ester dengan bingung.
"Saya yang
akan menyerahkan diri! " ucap Dea dengan airmata berlinang dan langsung
ambruk terduduk di lantai.
●●●
Robi datang
secepat yang ia bisa begitu mendapat kabar kalau Dea dan Ester menyerahkan
diri. Perasaannya begitu campur aduk saat tau orang yang sudah ia selamatkan
dari ketidak pastian hidup, ia beri kesempatan, dan ia percaya malah menjadi
orang yang dengan teganya membunuh anak dan mertuanya sendiri. Meskipun di
sepanjang perjalanan Robi tetap berharap bila itu sebuah kesalahan, polisi
salah tangkap, atau penyerahan diri itu palsu karena semua orang sudah lelah
mencari.
Tapi yang Robi
dapati benar-benar membuatnya makin kecewa dan sakit hati. Ester dan Dea
mengakui semuanya, mereka menceritakan semua perencanaan yang sudah di rancang
begitu lama. Ester dan Dea mengakui bila ia yang menyuruh orang untuk menabrak
mobil Robi waktu itu. Meskipun mereka mengakui target yang sebenarnya bukan
Naila, Zara, apa lagi Witri. Melainkan Robi, Robi Suandakni. Penerus dan
pemilik FS Group terkuat.
Robi begitu
lemas tak menyangka dua gadis polos yang ia beri kesempatan begitu tega
melakukan ini padanya. Robi masih tak menyangka bila kebaikannya menerima
anak-anak Joko yang meninggal karena ia hajar waktu itu tidak bernilai
sedikitpun bagi kedua gadis itu. Robi tetap berbaik hati mempekerjakan anak
dari pria yang mengecewakan Mamanya, pria yang sudah menikam Mamanya dan
berkhianat. Tapi kenapa ia anak-anaknya tetap menaruh dendam padanya, ini tidak
adil.
●●●
Sidang mulai
berlangsung. Semua orang di mulai tau siapa Ester dan Dea yang sebenarnya.
Kedua gadis manis itu menyimpan monster yang begitu mengerikan di dalam
hatinya. Banyak orang tak menyangka tapi Ester dan Dea tampak begitu tenang dan
terlihat nyaris tak ada penyesalan bahkan ketika melakukan reka adegan. Karena
merasa sudah melakukan hal yang benar dan beban di hatinya sudah hilang.
Robi yang
menyaksikan semuanya tak bisa berkata-kata lagi. Ia tak menyangka betapa kejam
dan teganya pemikiran Dea dan Ester padahal keduanya cukup dekat dengan
keluarganya. Bahkan mereka selalu bekerja untuk keluarga inti terdekatnya dan
istri juga mertuanya menganggap mereka seperti bagian dari keluarga dengan
hangat. Hingga akhirnya putusan hakim keluar.
Robi tak terima
pada keputusan hakim yang hanya menjatuhi 19 tahun penjara. Tapi ia tak mau
melakukan tindakan hukum apapun lagi begitu melihat wajah Dea dan Ester yang
bahkan tak berani menatapnya itu.
"Kalo hukum
di jalan yang benar tidak memberiku keadilan dengan benar, maka aku akan
mengambil jalanku sendiri! " ucap Robi tegas setelah ketok palu pengadilan
lalu pergi meninggalkan ruang sidang begitu saja.
●●●
Tiap hari hampir
selama enam bulan Robi hanya berusaha untuk mengembalikan istrinya seperti
semula, membuatnya tegar kembali dengan segala cara mulai medis hingga caranya
sendiri. Enam bulan adalah waktu yang lama dan selama itu pula Robi belum
pernah memberi tahu Naila siapa dalang pembunuhan yang sebenarnya.
"Sayang,"
panggil Robi yang menghampiri Naila di taman belakang yang sengaja Robi buat
agar makam Zara terlihat cantik dan tidak menyeramkan.
Naila menoleh
pada Robi lalu menggenggam tangannya. "Adek kira-kira lagi ngapain ya di
surga?" ucap Naila sambil menatap ke nisan putrinya.
"Lagi main,
dia banyak temennya. Ada Ibu Uti juga, ada Mamaku juga, dia banyak temennya,
banyak yang jagain," jawab Robi lalu mendekap Naila dan mengecupnya dengan
lembut.
Naila tersenyum
lalu mengangguk senang.
"Masuk yuk,
bentar lagi maghrib. Kita makan malem bareng," ucap Robi lalu menggandeng
Naila masuk.
Naila
berangsur-angsur membaik. Mau makan, keluar dari kamarnya untuk melakukan
kegiatan di luar. Hanya saja Naila selalu duduk di posisi dimana ibunya duduk
dulu dan meminta Robi atau Jalu tidak mendekat padanya karena Naila takut bila
terjadi kecelakaan lagi suami dan anaknya akan mati juga. Bahkan tiap harus
bepergian dengan mobil Naila akan begitu gugup hingga mual bahkan sebelum
menaikinya. Tak mau istrinya terus begitu Robi jadi membeli bus VIP agar ia
bisa bepergian dengan istrinya dengan nyaman meskipun rutenya jadi lebih jauh.
"Sayang,
pengen punya anak lagi gak?" tanya Robi setelah ia hanya berdua dengan
Naila.
Naila menatap
Robi sejenak lalu mengangguk pelan. "Mau, aku pengen punya anak
lagi," jawab Naila dengan mata berkaca-kaca penuh rasa bahagia.
Robi tersenyum
sumringah lalu memeluk istrinya. "Nanti kita punya anak lagi, kita jagain
bener-bener ya," Naila langsung mengangguk. "Kita bakal habisin
banyak waktu buat anak kita aja ya, buat keluarga kita," Naila kembali
mengangguk dan mulai menangis dengan perasaan yang campur aduk mendengar
mimpi-mimpi baru yang di buat suaminya.
Hidup terus
berjalan dan Naila, Robi, juga Jalu harus terus bangkit menata segalanya
bersama-sama kembali.
●●●
"Papa,"
panggil Jalu begitu Robi pulang bekerja.
"Eh Kakak,
ada apa Nak?" saut Robi lalu duduk di sofa menunggu anaknya mengatakan
sesuatu setelah mencegatnya.
"Apa benar
kalo Kak Ester yang bunuh adekku sama Ibu Uti?" tanya Jalu.
Robi terdiam
lalu mengamati sekitar dan mengangguk. "Ikut Papa," ajak Robi lalu
berjalan ke ruangannya.
"Kak Ester
sama Kak Dea ga suka Papa, dia sebenarnya mau bunuh Papa. Tapi gak sengaja jadi
kena adek Zara sama Ibu Uti. Sekarang mereka udah di penjara, udah di hukum.
Jadi kakak ga khawatir," ucap Robi menjelaskan sesederhana mungkin.
"Apa kalo
mereka di penjara adekku sama Ibu Uti hidup lagi?" tanya Jalu dengan
tangan terkepal dan tangisnyayang tertahan. "Ini gak adil. Aku tidak bisa
ketemu adekku sama Ibu Uti lagi, dia bikin Mamaku sedih sampe sakit juga, dia
jahat." Nafas Jalu tersengal menahan amarahnya.
Robi mengangguk
setuju. "Papa kasih nama kamu Jalu biar bisa melindungi keluarga. Ini jadi
rahasia kita. Nanti kalo waktunya sudah tepat, Papa kasih tau Mama. Tapi
sekarang kakak rahasiain ini dulu ya. Ini rahasia kita. Kakak jangan bilang
Mama biar Mama gak sedih ya."
Jalu langsung
mengangguk dan memeluk erat Papanya untuk menumpahkan tangis penuh amarahnya.
●●●
Jalu terus
mengingat apa yang ia bicarakan dengan Papanya beberapa bulan yang lalu. Ia
berusaha keras menjaga rahasia dan tetap melindungi Mamanya juga calon adik
yang ada dalam perut Mamanya. Jalu ingin menjadi pelindung kelurga yang
sesungguhnya. Apa lagi Robi bilang padanya bila ia akan menjadi penerus bila
Robi tidak ada nantinya.
"Kakak ga
mau tidur di kamar Mama lagi kenapa?" tanya Naila sambil menepuk-nepuk
punggung Jalu setelah ia minum susu dan sikat gigi.
"Tidak, aku
mau di kamarku sendiri," jawab Jalu sambil menguap. "Mama, aku sayang
Mama, aku mau jagain Mama terus," ucap Jalu lalu memeluk Mamanya.
Naila tersenyum
lalu mengangguk dan membalas pelukan Jalu. Tiada hari yang paling menyenangkan
selain menunggu kelahiran anak ke tiganya dan memperhatikan tumbuh kembang Jalu
bagi Naila setelah kejadian nahas yang ia lalui.
"Mas, aku
boleh tanya sesuatu?" tanya Naila sambil mengelus perutnya dengan lembut
lalu duduk di pangkuan suaminya yang sedang bekerja.
"Boleh
Sayang, mau tanya apa?" jawab Robi lalu menutup laptopnya untuk
memperhatikan Naila.
"Aku
kepikiran kecelakaan dulu, Mas tau siapa pelakunya?" tanya Naila lembut.
Robi terdiam,
merasa tak bisa menyampaikan fakta itu sekarang tapi juga tak bisa
menyembunyikannya terus. Naila berhak tau segalanya tapi bagi Robi kondisi
Naila yang hamil besar membuat Robi takur mengatakannya.
"Aku cuma
pengen tau dia gak sengaja apa sengaja, kalo gak sengaja aku maafin. Tapi kalo
sengaja aku mau tau kenapa alasannya," ucap Naila lalu bersandar di bahu
suaminya dengan manja.
"Kamu lagi
hamil, nanti aja ya dibahasnya kalo udah lahir dede bayinya ya. Kasiankan kalo
dia kenapa-napa," ucap Robi yang membuat Naila cemberut.
"Aku pengen
tau Mas, menurutku aku berhak tau," paksa Naila meskipun Robi tak
bergeming sedikitpun. "Mas sayang aku?" tanya Naila tiba-tiba.
"Sayang,
cinta," jawab Robi sambil menatap Naila dengan serius.
"Terus
kenapa rahasiain ini? Siapa yang jahat sama kita? Apa aku ga berhak tau siapa
yang bikin anakku mati? Anak yang aku kandung, yang aku lahirin, yang aku
besarin, apa aku ga berhak tau?" tanya Naila.
"Bukan
begitu, "
"Terus
kenapa? Apa jangan-jangan Mas ga peduli sama Zara? Mas ga peduli juga sama
Ibuku? Mas ga peduli sama semuanya yang udah kita lalui?" Naila menatap
Robi menuntut jawaban darinya. "Mas anggap aku ini apa? Aku beneran
istrimu apa enggak sebenarnya," Naila turun dari pangkuan Robi lalu
berjalan menuju pintu dengan airmatanya yang berlinangan.
"Sayang,
oke aku kasih tau," tahan Robi sambil menggenggam tangan Naila. "Tapi
kamu harus janji apapun yang terjadi, fakta ini tidak boleh bikin kamu sama
anakku yang di perutmu itu sakit kayak dulu lagi." Naila mengangguk patuh.
Robi menghela
nafas lalu menggenggam tangan naila sebelum ia menunjukkan berkas yang sudah ia
siapkan. "Yang bikin kamu kecelakaan kemarin Ester sama Dea. Targetnya
sebenarnya aku. Tapi mereka salah sasaran," ucap Robi memberitahu.
"Ester?
Dea? Tapi mereka deket sama keluarga kita Mas, kemarin Ester waktu aku sedih
kayaknya jenguk juga. Ibu juga sayang sama mereka. Kok jahat gitu sih,
astaghfirullah," ucap Naila lalu menutup berkas-berkas yang di tunjukkan
Robi lalu menangis kecewa.
Robi memeluk
Naila sambil mengelus punggungnya agar tenang.
"Mas, kok
orang-orang tega jahat ke kita? Kak Bara, Ester, Dea semua orang yang deket
sama kita. Kok tega sama kita," adu Naila di tengah tangisnya.
"Sst,.,
sudah gapapa. Ester sama Dea udah di penjara. Udah di urus semuanya," Robi
mencoba menghibur hati istrinya.
"Aku pengen
tau alasan mereka berubah jadi jahat," ucap Naila.
"Sayangku,"
Robi menggenggam kedua tangan Naila lalu menatapnya dengan lembut. "Tidak
ada orang yang berubah, mereka semua selalu sama hanya saja kita tidak melihat
sisi yang di sembunyikan itu." Robi mengambil koin mainan milik Zara yang
masih ia simpan di ruangannya. "Kamu lihat ini," Robi menunjukkan
gambar di salah satu koin. "Ini angka, tapi ketika ku balik dan jadi
gambar koin ini tidak berubah. Dia tetap koin yang sama. Manusia juga
begitu," jelas Robi.
Naila terdiam
lalu menundukkan pandangannya pada koin yang masih ada di tangan suaminya.
"Apa aku boleh ketemu mereka?" tanya Naila.
"B-boleh,
kapanpun kamu mau," jawab Robi sedikit ragu.
"Aku pengen
dengar alasan mereka. Mereka harus minta maaf sama aku! " ucap Naila
sambil mengepalkan tangannya menahan emosi.
●●●
Naila duduk
menunggu Ester dan Dea keluar dari selnya untuk menemuinya di ruang besuk.
Naila sudah di temani Robi dan seorang sipir yang mengatasi. Tak lama Ester dan
Dea datang. Tapi begitu mereka melihat siapa yang datang keduanya tak ingin
menemui tamu yang sudah jauh-jauh membesuknya itu.
"Liat?
mereka jahat sejak awal," ucap Robi yang membuat Ester dan Dea terhenti.
Ester berbalik
lalu datang menemui Naila di susul oleh Dea di belakangnya. Ester ingin
meluruskan segalanya, paling tidak ia menjelaskan pada Naila.
"Apa yang
kamu pengen tau?" tanya Ester pada Naila.
"Apa yang
harusnya kamu jelaskan ke aku?" Naila membalikkan pertanyaan.
"Seperti
yang di berita, semuanya benar. Tapi yang perlu kamu tau, mertuamu bunuh ibuku
lalu suamimu bunuh Ayahku," ucap Ester.
Robi melotot tak
terima dan sudah siap menghajar Ester kalau saja Naila tak menahannya.
"Ibu Frida
memecat Ayahku karena menutupi perselingkuhan pak Salman. Selama enam bulan
ibuku tidak bisa berobat sampai akhirnya meninggal. Ga lama setelah ibuku
meninggal pak Salman mempekerjakan Ayahku lagi. Tapi Ayahku butuh uang lebih
buat bayar aku sekolah dan berobat juga. Ayahku jual desaian yang dia buat ke
perusahaan pesaing. Ayah tau itu salah, tapi kalo ga gitu keluarga kami tidak
bisa melanjutkan hidup," Ester terdiam tak dapat melanjutkan ceritanya.
Dea mengelus
punggung adiknya sejenak lalu menatap Naila. "Ayah di hajar suamimu waktu
memohon agar tidak di pecat. Ayahku yang baru selesai operasi ginjal itu
meninggal setelah banyak pendarahan dalam. Tapi perusahaan tidak peduli karena
menganggap Ayahku seorang pencuri dan penipu. Kami harus banting tulang mencari
kerja karena di hari setelah Ayah di makamkan kami di usir dari kontrakan juga.
Kami tidak bermaksud ingin melakukan ini semua. Tapi rasanya begitu tidak adil
ketika Ayahku mati dan tidak ada yang bertanggung jawab atas kami lalu orang
itu hidup bahagia, "
"Tapi aku
memberimu pekerjaan dan posisi yang baik, apakah kamu tidak menyadari
itu?" potong Robi. "Aku mengetahui betapa beratnya hidup tanpa
siapapun apa lagi kalian miskin. Jadi aku membantu dengan caraku. Apa bagimu
itu tidak cukup?"
Dea memalingkan
wajahnya malu dan tak terima dengan statment Robi.
"Ayahmu
yang mengenalkan Katrina pada Papaku, Ayahmu juga ikut membujuk Papaku untuk
mencoba dengan wanita lain saat Mamaku sakit keras. Mamaku sangat kecewa apa
lagi Ayahmu adalah salah satu orang kepercayaannya. Mamaku memecatnya. Tapi
Katrina tak peduli. Katrina mencoba menghalangi Papaku ketika akan
mempekerjakan Ayahmu itu lagi, Katrina juga yang menempatkan Ayahmu dalam
posisi yang sulit di perusahaan. Bukan aku yang kejam di sini. Kamu harusnya
bisa menilai semuanya sendiri," jelas Robi panjang lebar.
Dea menundukkan
pandangannya.
"Kalau kamu
menganggap aku jahat, sekarang lihat siapa yang lebih jahat di sini. Kamu
bahkan membunuh orang yang tak pernah berbuat salah sedikitpun adamu. Kamu juga
membunuh seorang balita yang tak berdosa. Apa kamu merasa lebih baik sekarang?
Kalau aku jadi kamu, jangankan untuk bicara. Bernafaspun aku malu," ucap
Robi.
Naila
menggenggam tangan Robi.
"Bahkan
kalian tidak mencoba meminta maaf pada Naila setelah semuanya," ucap Robi
lalu bangkit dari duduknya dan pergi bersama Naila.
"Naila!
" teriak Ester. "Aku minta maaf! Aku minta maaf! Aku menyesal! Aku
terlalu takut mengatakannya, aku takut kamu ga bisa maafin aku. Aku salah, aku
minta maaf pun tidak akan mengembalikan semuanya. Aku minta maaf! " seru
Ester sambil menangis.
Naila terdiam
menatap Ester sejenak lalu melanjutkan langkahnya.
●●●
Naila diam
membaca semua berkas pengakuan Ester dan Dea. Naila memikirkan banyak hal dan
berusaha memutuskan apa jalan yang seharusnya ia ambil. Naila juga mendapat
informasi soal Ayahnya yang di penjara karena membunuh istri muda dan anaknya
yang baru.
"Hubby,
" Naila memeluk Robi yang memberinya hadiah anniversary. Robi membalas
pelukan Naila dan mencium keningnya.
Robi memasangkan
kalung ke leher Naila. "Makasih udah jadi istriku, jadi ibunya anak-anak,
aku sayang kamu," ucap Robi lalu mencium bibir Naila lembut.
Naila tersenyum
lalu menggenggam tangan Robi. "Mas, boleh aku minta sesuatu?" tanya
Naila.
Robi mengangguk.
"Boleh gak
kalo aku mencabut tuntutan dan laporan ke Ester sama Dea. Aku sudah mengampuni
mereka," ucap Naila yang membuat Robi kaget.
"Hah?!
" Jalu yang membawakan kue ikut kaget hingga tak sengaja menjatuhkan kue
yang ia bawa sebagai kejutan untuk orang tuanya.
Naila dan Robi
menoleh ke arah Jalu. Jalu langsung berlari ke kamarnya. Jalu yang sedikit
paham soal masalah dalam keluarganya tak terima saat tau Mamanya ingin
memaafkan orang yang sudah membuat Zara dan neneknya mati.
Naila tak ingin
melanggengkan dendam pada keluarganya, saling membalas bukan penyelesaian
masalah. Naila tak mau setelah masa tahanan Ester dan Dea habis akan
memunculkan dendam baru. Meskipun hal itu tetap tak bisa di terima Jalu yang
masih menyimpan amarah yang begitu besar di umurnya yang sekecil itu.
End