Suasana rumah
menjadi suram beberapa hari. Naila sedang sedih dan Robi bad mood. Semua orang jadi serba salah, semua orang kena omel dan
makian Robi. Hanya saatIbumertuanya ada di rumah saja yang membuat Robi menjeda
sebentar emosinya. Untuk makan bersama atau mengobrol basa-basi sebentar. Tak
ada lagi harapan bagi para pelayan untuk meredakan emosi Robi. Naila juga lebih
sering menyendiri dan diam.
Bila sebelumnya
Robi bad mood masih ada Naila yang memperbaiki keadaan. Sekarang Naila juga
dalam mood yang tidak baik. Suasana
bahkan jadi dua kali lebih mencekam dari biasanya.
"Mas, aku
mau pergi sama Ibu. Makan di luar sebentar, " ucap Naila meminta ijin pada
Robi yang baru pulang untuk makan siang.
"Kemana?"
tanya Robi yang tampak jelas menahan kesal karena Naila memilih makan di luar
sementara ia jauh-jauh dari perusahaan pulang hanya untuk makan siang bersama
istrinya.
"Belum tau,"
ucap Naila tanpa menatap mata Robi. "Aku pengen makan di luar saja, "
sambung Naila sambil memalingkan wajahnya.
Robi mencengkram
wajah Naila memaksanya untuk menatap mata Robi dan bicara dengan jelas.
"Kamu mau kemana?" tanya Robi lagi mempertegas pertanyaannya.
"Makan di
luar, jajan bakso doang, " jawab Naila sambil mencoba melepaskan tangan
Robi yang mencengkeramnya.
"Kamu bisa
makan bakso di rumah. Aku bisa datengin tukang baksonya, beli segrobaknya kalo
perlu. Ga usah keluar! " larang Robi posesif.
Naila diam lalu
menangis. "Aku stress di sini. Aku pengen keluar sebentar. Sebentar doang.
Terus pulang lagi. Aku bosen di sini, " ucap Naila sambil menangis.
Robi diam tak
memperdulikan tangisan Naila lalu berjalan melewatinya begitu saja.
"Mas, aku
kan pergi sama Ibu. Kamu juga sibuk terus. Aku cuma pergi sebentar doang buat
jajan. Kenapa ga boleh sih?!" Naila membuntuti Robi sambil menangis
merengek minta izin keluar.
"Kemarin
kamu ga papa, kenapa jadi pecicilan sih sekarang? Cuma bakso ga perlu jajan
keluar. Apa lagi? Apa yang ga ada di rumah? Ngapain keluar segala, " saut
Robi menolak memberi izin pada Naila.
Naila
menghentakkan kakinya kesal lalu berlari ke kamar Ibunya. "Aku benci kamu!
" teriak Naila lalu membanting pintu.
Robi memejamkan
matanya lalu geleng-geleng pelan dan tersenyum mendengar ucapan Naila. Baru ini
ada yang berani berteriak seperti itu padanya. Dengan langkah cepat Robi
langsung berjalan ke kamar mertuanya lalu mendorong Naila hingga terhempas ke
tempat tidur.
"Kamu tadi
bilang apa?" tanya Robi sambil menahan emosinya.
Naila hanya bisa
diam ketakutan setelah tubuhnya terhempas di tempat tidur. Naila ingin menjawab
pertanyaan Robi dan mempertegas ucapannya kalau ia benci pada Robi. Tapi
seketika keberaniannya hilang saat melihat Robi melepaskan sabuk kulit yang ia
gunakan.
"Kamu cuma
ga boleh keluar, ga boleh jajan. Terus kamu benci ke aku? Apa kamu lupa apa
saja yang sudah ku berikan ke keluargamu yang miskin itu? Apa kamu lupa aku
yang sudah membantu keluargamu yang problematik itu? Iya?" Robi langsung mencambuk
paha Naila. Refleks Naila langsung meringkuk berusaha melindungi diri karena
tidak mungkin menang melawan Robi dalam segi apapun. "Kamu ini gak tau
diri apa gak tau malu sebenarnya?" Robi kembali mencambuk paha Naila.
"Di kasih kelonggaran malah ngelunjak!!! " Robi kembali mencambuk
Naila, kali ini mengenai punggungnya dengan cukup keras hingga Naila kesakitan.
"Ampun!
Sakit! Ampun, " ucap Naila sambil menangis kesakitan.
Robi langsung
tersadar begitu Naila menangis kesakitan sambil meminta pengampunan darinya.
Robi salah, ia tak boleh menyakiti Naila seperti itu. Tapi ia juga tak bisa
mengontrol emosinya dengan baik pada semua perlawanan yang di lakukan Naila
padanya. Robi langsung memeluk Naila erat sambil mengelus-elus tubuhnya
berusaha menenangkan Naila.
"Maaf Naila,
Maaf sayang, Aku gak sengaja, Aku emosi, Aku ga suka di lawan, " ucap Robi
penuh sesal dan jauh lebih lembut dari sebelumnya.
Robi terus
mendekap Naila sambil mengelus-elus bahunya agar berhenti menangis. Tapi Naila
masih saja menangis malah makin keras.
"Cup...maaf,
" ucap Robi lalu menggendong Naila ke kamarnya sebelum mertuanya pulang.
"Sakit Mas,
" tangis Naila disela tangisnya dalam gendongan Robi.
Robi melihat
bekas cambukannya yang tidak hanya memerah saja tapi juga melukai kulit Naila.
Robi langsung buru-buru mengobatinya, berharap setelah di obati semua akan
membaik. Tapi baru ia membersihkan lukanya, alkohol yang ada di kapas membuat
Naila menjerit kesakitan lebih keras lagi. Robi tetap memaksa hingga selesai
dan Naila berhenti menangis karena kelelahan.
"Kalo aja
kamu ga melawan. Ga bakal sakit kamu Dek, " ucap Robi lembut penuh sesal
lalu mengecup kening Naila dan memeluknya, memastikan Naila tak pergi darinya
lagi.
●●●
Naila duduk di
bangku taman dekat kolam renang bersama Witri menikmati bakso yang baru saja di
hangatkan. Naila memakai piama panjang sejak tadi siang setelah bangun. Naila
menutupi luka cambukan dari suaminya tanpa di minta.
Robi tak berani
bergabung bersama Naila dan Witri, ia hanya melihat dari atas lalu kembali ke
ruangannya. Robi masih merasa bersalah dan siap bila dimarahi mertuanya atau
Naila tidak mau tidur di kamarnya lagi. Robi sadar ia sudah keterlaluan pada
istrinya. Meskipun di akhir hari Robi tidak di marahi Witri dan Naila tetap
tidur di sampingnya.
"Tadi
ngobrol apa sama Ibu?" tanya Robi sambil memeluk Naila yang tiduran di
sampingnya.
"Ibu cerita
soal muridnya, sama kabarin kalo sekolahanku dah bisa cap 3 jari sama ambil
ijazah, " jawab Naila lalu memejamkan matanya yang mengantuk.
Robi terdiam, ia
jadi makin merasa bersalah pada Naila. "Kamu ga pengen ngadu ke Ibu? Aku
habis marahin kamu, " tanya Robi sedikit takut.
Naila
menggeleng. "Kan aku dah di bantu, jadi aku tau diri, " ucap Naila.
Wajah Robi
begitu bersalah. Naila langsung tersenyum.
"Bercanda,"
ucap Naila menarik kata-katanya yang sudah cukup membalas perbuatan Robi.
"Mas udah minta maaf, yaudah ga usah di besar-besarin, " ucap Naila
lalu mengelus pipi Robi lembut.
Robi malah makin
merasa bersalah dari pada saat Naila mencoba sarkas padanya. [Next]
0 comments