Robi memikirkan
negatif dan positifnya mengijinkan Naila keluar atau membiarkannya membawa
pedagang kaki lima kerumah. Robi tak suka rumahnya terlihat seperti tempat
wisata yang di penuhi pedagang tak di kenal tanpa melewati kualifikasinya. Tapi
Robi juga tak mau membiarkan Naila pergi keluar, apa lagi sendirian.
Robi melihat ke
arah kamar mertuanya di bawah Naila masih di dalam dan mungkin masih marah.
Robi tak bisa terus-menerus saling mendiamkan Naila atau membiarkan Naila terus
merajuk padanya. Robi menghela nafas, mungkin jalan-jalan keluar bersama Naila
bukan pilihan yang buruk juga.
"Naila,
jalan keluar yuk, " ajak Robi sambil berjalan masuk mendekati Naila.
"Kemana?
Katanya ga boleh, " ucap Naila.
"Mall?" tawar Robi. "Kita aja,
sebentar tapi, " ucap Robi.
Naila diam
sejenak lalu menganggukkan kepalanya. "Aku siap-siap dulu ya, " ucap
Naila semangat lalu berlari ke kamar dengan ceria.
Robi menahan
senyum dan tawa bahagia penuh kemenangannya karena bisa membuat Naila ceria
kembali. Naila juga cukup cepat bersiap-siap. Ia menggunakan celana panjang dan
hoodie. Robi tak bersiap-siap hanya membawa envelope bagnya saja.
Mobil sudah
siap, semua sudah siap. Tapi saat Naila melihat jam di ponselnya ia ragu untuk
pergi.
"Bentar
lagi Ibu pulang. Tunggu Ibu dulu ya Mas, aku pengen ajak Ibuku juga, "
ucap Naila sambil menatap Robi penuh harap.
Robi mengangguk
lalu kembali masuk di ikuti Naila menunggu Witri pulang. Naila terus menunggu
bersama Robi hingga mentari tenggelam. Naila yang tadi siap pergi mengurungkan
niatnya, ia memilih mandi dan memakai piama lagi. Naila dan Robi juga makan
siang berdua.
Obrolan jadi
jauh lebih cair meskipun tak banyak pembahasan tapi setidaknya saat diam tidak
terasa dingin. Sesekali Naila melihat keluar lalu masuk lagi, kembali ke kamar
hingga waktu tidurnya tiba dan baru dapat kabar kalo Ibunya sedang mengurus
neneknya yang sakit sendirian.
"Mas,
kayaknya Ibu mau pindah ke rumah embah deh. Embah sakit, " ucap Naila
sedih lalu memeluk Robi.
"Sakit
apa?" tanya Robi sambil mengelus rambut Naila.
"Sakit tua,
umurnya kan dah 80 jadi ya emang perlu di rawat. Ibu mau pindah ke sana, "
jawab Naila lalu menghela nafas.
Robi mengecup
bibir Naila lembut. "Gapapa, nanti aku bantu. Nanti kita jenguk ya kalo
programnya berhasil."
Naila kembali
mengangguk lalu tersenyum.
●●●
Pagi-pagi Naila
sudah mual dan demam. Robi sudah mengira bila istrinya keracunan dan salah
makan. Tapi setelah di ingat kemarin mereka hanya makan seafood bersama. Selain
itu tidak ada satupun yang keracunan di rumah. Robi cukup panik dan kewalahan
sendiri.
Beruntung tak
lama mertuanya kembali. Di bantu mertuanya Robi bisa mengatasi kepanikannya
atas kondisi Naila dan setelahnya ia langsung terfikir untuk membawa Naila ke
dokter. Tentu saja Witri juga ikut menemani.
Selama di
periksa Robi selalu menggenggam tangan Naila dengan panik. Sangat panik sampai
perawat magang yang masih kikuk kena seprot hanya karena salah sedikit,
bergerak, atau diam saja. Pokoknya di marahi dan serba salah.
"Kamu marah
terus aku takut, " lirih Naila dengan berkaca-kaca.
Robi langsung
diam tapi memelototi setiap orang yang di matanya terlihat tak kompeten.
"Ini
pembuahannya berhasil. Sudah ada janin," dokter menunjuk titik kecil yang
ada di monitor. "Masih awal-awal jadi mual, biasa. Perubahan hormon,
penyesuaian, " lanjut dokter.
Naila dan Robi
terharu mendengar penjelasan dokter dan hanya bisa diam lalu saling memeluk.
USG dan pemeriksaan yang harusnya hanya sebentar jadi lama. Robi ingin terus
melihat janin di rahim Naila, Nailapun begitu. Witri juga dan tentu saja ikut
senang karena Naila hamil. Meskipun di hatinya sedikit sedih anaknya harus
dipaksa menikah dan hamil di usia semuda itu.
Robi super
berhati-hati dan super perhatian pada Naila setelah dari dokter. Robi juga
meminta sekretarisnya untuk mengurangi jadwalnya dan memadatkannya hanya untuk
acara yang sangat penting dan mendesak saja. Selain itu Robi juga memperketat
pengawasan pada makanan dan asupan yang di terima istrinya.
"Adek,"
panggil Robi pada Naila yang tiduran sambil menonton TV. "Ini buat jajan,
nanti tiap bulan aku transfer uang jajan bulanan. Kamu minta berapa?"
tanya Robi sambil memberikan dompet kartu berisi kartu debit, kartu kredit, dan
beberapa uang cash.
Naila diam
bingung harus meminta berapa. "Bingung minta berapa, " jawab Naila
jujur sambil menggenggam tangan Robi. "Mas kasih berapa aja aku seneng
yang penting cukup buat jajan, " sambung Naila.
Robi mengangguk.
"Aku transfer tiga ratus ya, nanti kalo kurang boleh minta lagi,"
jawab Robi lalu mengusap perut Naila yang masih datar meskipun ada kehidupan
baru di dalamnya.
Naila mengangguk
lalu tersenyum sambil membiarkan Robi mengelus perutnya. "Mas, aku beneran
jadi punya kamar sendiri kan?" tagih Naila yang teringat pada janji hadiah
pada Robi.
Robi mengangguk.
"Aku cari desainer interior, mungkin satu bulan lagi selesai kamarmu. Jadi
sementara waktu tidur di sini dulu ya, " jawab Robi lembut.
Naila tersenyum sumringah. Akhirnya ia punya kamar sendiri. Punya tempat untuk bebas sendiri. [Next]
0 comments