Robi hanya diam
memandang Bara yang di kerubungi para perempuan sexy yang menjajakan tubuhnya. Beberapa perempuan datang ke mejanya
bergelayut manja dan mencoba menggodanya juga. Biasanya Robi senang tapi kali
ini ia tak suka sama sekali ketika di goda. Sudah berkali-kali ia menampik
tangan lentik kurang ajar milik para wanita malam yang ada di klub. Ada rasa
bersalah dalam hati kecil Robi bila ia meladeni perempuan-perempuan itu.
Robi juga
mengurungkan niatnya untuk asal membuang spermanya selama istrinya belum hamil.
Ia hanya ingin bercinta dengan Naila untuk sementara waktu pikir Robi hanya
sampai Naila hamil lalu ia akan bebas kembali.
"Aku mau
pulang, " ucap Robi.
"Hah?
Pulang? Ini baru jam sembilan, " ucap Bara kaget.
"Ada
urusan," dusta Robi lalu keluar dan memilih pulang dengan taxi dari pada
bersama Bara atau menunggu supirnya datang menjemput.
Robi ingin cepat
pulang dan menghabiskan waktu bersama Naila. Apa lagi ia menyadari pergi ke
klub untuk party saat ini bukan
pilihan yang baik dan menyenangkan. Mungkin.
"Tuan
pulang! " seru kepala pelayan yang membuat semua orang panik lalu segera
kembali ke posisi masing-masing.
Naila ikut panik
dan bingung harus bagaimana. Ester juga langsung berdiri bersiap di posisinya.
Sementara Naila akhirnya memilih duduk berpura-pura santai sambil memakan
stroberinya.
"Istriku mana?"
tanya Robi begitu pintu di buka.
"Ada Tuan,
sedang menonton film, " ucap kepala pelayan sambil mengikuti Robi masuk.
"Kok udah
pulang Mas?" tanya Naila begitu Robi mendekat ke arahnya.
"Kenapa
tidak di kamar?" tanya Robi begitu melihat Naila yang menonton film di
bawah.
"Stroberi,
" jawab Naila sambil menunjukkan box plastik berisi stroberi segar yang
masih dingin.
Robi menghela
nafasnya dalam kesal lalu berjalan ke kamar duluan. Robi merasa bodoh. Ia
buru-buru pulang dari klub ke rumahnya meninggalkan party dan segala kesenangan duniawi di sana hanya demi Naila dan
saat ia sampai rumah Naila malah asik makan stroberi sendiri.
Bahkan Naila
bisa dengan santainya mengatakan "kok
udah pulang Mas?" sebagai sambutan pada Robi yang baru pulang.
Menyebalkan sekali. Tapi dari itu semua Robi paling kesal karena dirinya
kebingungan pada perasaannya yang tak menentu dan Naila malah tak menunjukkan
perasaannya sedikitpun.
"Taruh di
kulkas lagi, besok ku makan, " ucap Naila lalu berjalan ke kamar menyusul
Robi.
●●●
Witri tampak
bingung harus pergi kemana setelah ia di usir dari rumahnya sendiri. Rumah yang
ia beli secara mencicil sejak menjadi guru itu di gadaikan oleh suaminya
sendiri yang sudah menjual putrinya dan menikah lagi. Sekarang selain tak punya
rumah Witri juga di gugat cerai oleh suaminya.
Ingin kembali ke
rumah orang tuanya ia takut membuat kondisi makin buruk. Ingin pergi tak punya
tujuan. Ikut Naila, Naila saja juga tidak dalam kondisi yang baik. Witri tau
bila anaknya sedang berusaha menyesuaikan diri bersama suaminya.
Tapi di tengah
kebingungannya berkendara tanpa tujuan mencari tempat untuk bermalam, tiba-tiba
mantan suaminya lewat di depannya bersama istri mudanya yang tampak begitu
sumringah dan bahagia. Keduanya juga tak merasa bersalah sedikitpun setelah
membuatnya susah.
Menjelang tengah
malam Witri masih belum. Menemukan tempat untuk bermalam, sampai akhirnya ia
terhenti di depan rumah Robi yang begitu megah. Ingin mengetuk pintu dan
meminta ijin masuk pada penjaga yang ada di gerbang. Tapi ia mengurungkan
niatnya dan kembali membawa motornya menjauh.
Kling! Sebuah pesan masuk ke
dalam ponselnya dari adiknya yang akhirnya mengizinkannya untuk menginap malam
ini. Witri langsung bergegas putar balik menuju rumah adiknya.
●●●
"Tuan, tadi
Ibu Witri kesini, " ucap kepala pelayan memberi tahu Robi yang ada di
ruang kerjanya karena masih bingung dengan perasaannya dan Naila yang tak
merayunya.
"Mertuaku?"
tanya Robi memastikan.
"Iya
Tuan."
"Ada
apa?"
"Tidak tau
tuan, hanya diam sebentar lalu pergi lagi."
Robi mengusap
wajahnya. "Naila tau?"
"Tidak
Tuan."
"Jangan
kasih tau. Hubungi mertuaku, bilang aku memintanya kemari, " ucap Robi
lalu buru-buru kembali ke kamarnya.
Naila masih
menatap ponselnya menunggu balasan dari ibunya karena dapat kabar kalau
rumahnya di sita pegadaian.
"Mas, aku
pulang boleh gak?" tanya Naila tiba-tiba.
"Hah?! Ini
dah pulang, mau pulang kemana lagi?" tanya Robi panik.
"Ayah
bilang ibu di usir dari rumah. Rumahku di sita pegadaian. Aku mau tebus rumahku,
" jawab Naila dengan mata berkaca-kaca.
Robi menghela
nafas. "Besok aku tangani. Kamu ga usah mikir aneh-aneh, " ucap Robi
lalu duduk bersandar di tempat tidurnya.
Naila masih
murung lalu tiduran sambil menunggu balasan dari ibunya. Robi mengambil ponselnya
dan meletakkannya di atas laci lalu ikut tiduran di samping Naila.
"Ibuku
tidur dimana ya sekarang? Udah malem gini, Ayah juga di chat ga bales, di telfon ga bisa, " gumam Naila sambil
memandangi langit-langit kamarnya yang di hiasi bintang-bintang dari
wallpapernya yang berubah saat lampu di matikan.
"Keluargamu
itu sebenernya gimana?" tanya Robi penasaran sambil menatap Naila.
Naila menoleh ke
arah Robi lalu kembali menatap langit-langit kamar. "Biasa. Aku, ayah,
ibu. Ibuku kerja jadi guru BK, ayahku punya usaha mebel. Waktu aku masuk SMA
bisnis ayah mulai berantakan. Ayah mulai sering pergi ga jelas. Terus tiba-tiba
pabriknya bangkrut. Di sita bank. Aset tinggal mobil pickup sama rumah yang
dulu di kontrakin sama ibu. Kita pindah kesana. Rumah utama di jual. Ayah
bilang uang jual rumahnya mau di pakek buat bikin bisnis baru..."
"Terus?
Jadi bisnisnya?" tanya Robi penasaran.
Naila
menggeleng. "Kalo jadi aku gak di sini, " jawab Naila satir lalu
tersenyum menatap Robi. "Ayah sering main, pergi ga jelas. Kadang sampe
malem, kadang ga pulang-pulang, Tiba-tiba duitnya habis. Orang-orang bilang
ayah punya cewek baru. Janda muda kampung sebelah. Sejak itu ibu sama ayah
sering bertengkar. Aku juga sering di marahin. Tiba-tiba aku di jual, "
Naila sedih.
Robi memeluk
Naila yang tampak sedih.
"Aku dah ga
papa di jual, jadi istrimu. Aku senang, Aku cuma kecewa sama ayah. Itu aja,
" ucap Naila lalu membalas pelukan Robi.
Robi merasa senang, sedih, marah dan menyesal secara bersamaan. Senang Naila bisa menerima dirinya dan statusnya sekarang, sedih karena Naila di buat sedih, marah karena Edo begitu egois dan menyesal karena ia membeli Naila secara paksa. Tapi mungkin juga kalau bukan ia yang membelinya Naila akan hidup lebih susah lagi sekarang. [Next]
0 comments