Bab 24 - Jari
Robi menghela
nafas. Ia merasa harga dirinya di injak-injak bila ada yang menggoda Naila.
Entah sejak kapan ia jadi punya perasaan seperti itu. Tapi Naila sama sekali
tak bisa memahaminya. Bahkan Robi sudah terang-terangan memberi kode padanya
tetap tidak mempan.
"Yaudah
boleh makan tapi sesuap doang ya, nyicip aja, " ucap Robi mengalah dan
menurunkan ego juga gengsinya.
Naila hanya
menatap Robi dengan wajahnya yang memelas. "Beneran? "
Robi menghela
nafas lalu mengangguk dan memeluk Naila. "Iya gapapa, " ucap Robi
lalu mengecup kening Naila.
"Tuan,
telfon, " ucap Ester menyerahkan ponselnya pada Robi.
"Iya?"
saut Robi. "Em, Bilang kalo aku pulang malam, nanti biar aku yang
berkunjung kesana sama Naila, " ucap Robi lalu mengembalikan ponsel milik
Ester.
Robi melihat
istrinya menikmati jajanan yang ia beli. Mulai dari tela-tela, pangsit,
batagor, sampai akhirnya ke bakso kuah.
"Hmmm...
Sesuap kok dah mau habis," sindir Robi yang di balas dengan cengiran oleh
Naila.
"Kan cuma
beli dikit. Beli cuma tiga ribu mau berapa suap, " ucap Naila lalu
menyodorkan tela-telanya menawari suaminya.
Robi menatap
ngeri ke arah tela-tela berbumbu balado merah yang di sodorkan istrinya. Robi
membayangkan betapa banyaknya pewarna makanan di dalamnya, minyak dengan
kualitas buruk, tukang masak tidak higienis. Tapi ia tak mau bila Naila sakit
perut sendiri.
"Kotor,
serbuknya nanti kemana-mana, " ucap Robi.
"Yaudah
kalo ga mau gapapa."
"Mau!
" Robi membuka mulut minta di suapi.
Naila tersenyum
lalu menyuapkan sebuah potongan tela-tela pada Robi. Robi mulai mengunyah
dengan alis bertaut mencoba menikmati makanan yang baru saja di berikan
istrinya.
"Enak
kan?" tanya Naila. Robi mengangguk ragu. "Ini, coba ini juga
Mas," Naila menyuapkan pangsit pada Robi.
Robi pasrah
menerima suapan istrinya. "Yang bulet-bulet itu apa?" tanya Robi.
"Cimol, ga
pernah coba?"
"Aku
sekolah SD di Jepang ga ada yang jual ginian, smp sma di sekolah internasional
private juga, kuliah di Singapore. Aku ga familiar."
"Masa kalo
main ga pernah liat?"
"Enggak,
aku ga pernah main di pinggir jalan kayak kamu."
Naila mengangguk
paham lalu menyuapkan cimol untuk suaminya. "Jangan banyak-banyak cimolnya
ya."
"Kenapa?"
Robi mengangkat sebelah alisnya.
"Enak, aku
suka. Udah langganan situ, " jawab Naila yang tidak dapat di bantah Robi.
"Apa lagi
itu yang panjang-panjang pakek saos kacang?"
"Cakwe, ga
enak! Udah ga usah, " larang Naila mendadak dan langsung memunggungi Robi.
"Kok kamu
pelit! " protes Robi.
"Cuma beli
ma ribu. Dikit. Aku suka."
"Dikit
doang coba! Segigitan, " paksa Robi.
"Segigitan
kecil aja ya! "
"Iya!!
"
Naila
memotongkan separuh untuk Robi lalu menyuapkannya.
"Ini
enak!" ucap Robi lalu menarik tangan tangan Naila dan menghisap jarinya.
"Maaassss!!!
" jerit Naila lalu menepuk bahu Robi karena menghisap jarinya.
"Sukurin!
Pelit sih! " ucap Robi lalu memalingkan wajahnya yang tersipu karena baru
saja melakukan hal yang memalukan.
Naila juga ikut
memalingkan wajahnya yang memerah dan perasaannya yang tiba-tiba aneh saat Robi
menghisap jarinya. Nafasnya sedikit memburu, perutnya seketika di penuhi
kupu-kupu. Senang, geli, malu, basah, hangat, lembut. Semua bercampur jadi
satu.
Robi memberikan
tisu basah pada Naila lalu kembali memalingkan wajahnya. Jujur Robi juga
merasakan hal yang sama, senang dan intim bersama Naila. Naila seperti banyak
mengisi segala ruang kosong di hati Robi. Ada rasa seperti ibu, tapi juga istri
yang sabar, seperti seorang adik perempuan yang benar-benar adik. Adik yang
bertengkar dengan kakaknya karena berebut makanan seperti tadi, bukan adik yang
berebut saham dalam diam. Kadang Naila juga terasa seperti anak perempuan Robi
yang harus di perhatikan dan melawannya dengan manja. Segala hal yang ingin
Robi rasakan dapat di penuhi oleh Naila.
"Itu kamu
makan apa? Kok pakek saus kacang sama pasta merah?" tanya Robi.
"Pasta?
Saos. Cilok. Ga enak udah. Ga usah! " jawab Naila.
"Dih kok
pelit! " ucap Robi dan mulai keributan yang sama seperti sebelumnya lagi.
●●●
Salman tampak
bosan menunggu Robi dan Naila pulang. Ia sudah tidak sabar melihat wajah
sumringah dan ceria Naila yang menerima pemberiannya. Dari semua anak-anak yang
pernah ia beri hadiah baru Naila yang begitu ceria dan senang saat menerima
hadiah darinya. Sangat jauh berbeda dari Bella apa lagi Robi yang jadi kaku dan
diam sejak ibunya meninggal.
Salman
memandangi istrinya sebentar lalu kembali memandangi langit-langit rumah yang
di tinggali Robi. Katrina dan Frida adalah orang yang berbeda. Kadang Salman
menertawakan dirinya sendiri karena sudah berharap akan mendapatkan Frida lagi
dalam diri Katrina. Ternyata ia tak bisa menggantikan posisi Frida di hatinya,
Katrina juga gagal mengisi kekosongan yang ada.
"Pulang yuk
Pi, " ajak Katrina sambil berjalan menenteng tasnya dari dapur.
"Sekarang
Robi dah ada istri, dah ada yang sayangin dia, " ucap Salman lalu
menepuk-nepuk sofa di sampingnya agar Katrina duduk menemaninya. "Rasanya
kayak baru kemarin Frida ngamuk ke aku gara-gara aku pacaran sama kamu. Kayak
baru tadi pagi Robi pulang dari singapore terus ngusir aku, "
"Kita,"
ralat Katrina. "Robi marah terus ngelempar aku malah kena ke Bella. Kasian
Bella. Tapi itu kan masa lalu Pi, ga usah di inget lagi, " lanjut Katrina
lalu bersandar dengan manja pada suaminya.
Salman tersenyum
kecut lalu menghela nafas. Masih ada sedikit rasa sedih dan rasa bersalah yang
tak dapat terus ia sembunyikan. Salman merasa berdosa karena menelantarkan
istrinya yang sakit keras untuk ganti istri, Robi juga jadi mengambil jarak
dengannya. Tapi mau bagaimana lagi, bagi Salman. Katrina adalah pilihan yang
tepat. Semua hanya masalalu, rasanya kata-kata itu ada benarnya juga.
"Pulang yuk! " ajak Katrina.