Arya sama
sekali tidak pulang. Mau tidak mau hari ini Lia harus di periksa sendiri tanpa
di temani Arya, meskipun Rin tetap ada di sampingnya untuk mengawasi dokter dan
jaga-jaga bila memerlukan sesuatu.
Pemeriksaan
kali ini membuat Lia senang dan sedih di saat bersamaan. Ia senang bisa hamil,
tapi di sisi lain ia juga sedih karena Arya sepertinya tidak akan menyukai ini.
Lia begitu khawatir sekarang bagaimana kalau ia di bunuh atau ia di paksa untuk
aborsi.
Dokter dan
Rin juga ikut khawatir pada apa yang terjadi sekarang. Dokter memperkirakan
kehamilan Lia sudah memasuki 4 minggu pertamanya. Keyakinan bila Lia hamil juga
makin kuat karena Arya yang selalu mengeluarkan spermanya di dalam. Bahkan Lia
sama sekali tidak tau apa itu kondom dan fungsinya.
Lia juga
tak menggunakan kontra sepsi apapun. Kepala pelayan yang diberitahu soal
kondisi Lia juga bingung harus bagaimana. Semua orang tak ingin Lia di bunuh
karena gadis itu memang tak berbuat salah sedikitpun di sana.
“B-bisa
rahasiakan ini terlebih dahulu?” tanya Lia dengan air mata yang sudah
menggenang.
Semua orang
saling tukar pandangan lalu menatap dokter berharap ia bisa di ajak bekerja
sama.
Dengan
berat hati akhirnya dokter mengangguk. “Tapi tolong jujurlah pada Tuan atau
kaburlah sebelum perutmu membesar,” ucap dokter yang tak mau ambil resiko.
Ucapan itu
rasanya juga di setujui yang lain dan ikut merahasiakan masalah besar ini.
“Aku akan
mengatakan pada Tuan kalau kamu hanya kelelahan dan perlu istirahat, kalau kamu
ingin menggugurkannya kabari aku,” ucap dokter lalu kembali menghela nafas dan
memberikan obat juga vitamin pada Lia agar kondisinya membaik.
Lia
mengangguk paham dengan airmata yang mulai mengalir. Ia begitu sedih dengan
nasipnya saat ini. Rin yang menemaninya juga ikut sedih. Rin berharap Lia akan
di singkirkan jauh-jauh dari keluarga ini saja daripada di bunuh dengan kejam
dalam kondisi hamil pula.
●●●
Arya
bernafas lega melihat laporan dari dokternya bila Lia hanya kelelahan dan
menyarankan Arya mengurangi kegiatan fisik untuk Lia sementara waktu.
Setidaknya kalau hanya itu Arya bisa melakukannya dan yang terpenting Lia
baik-baik saja.
Tapi Arya
masih tak dapat pulang cepat karena ayah dan ibunya yang perlu bicara padanya.
Arya duduk berhadapan dengan keduanya yang mengajak bicara di dalam kamar saja
karena ayahnya yang masih sakit karena di lempar guci porselen oleh ibunya saat
bertengkar kemarin.
“Siapa?”
tanya Alma yang melihat Arya tersenyum setelah melihat isi pesan yang masuk ke
ponselnya.
“Lia hanya
kelelahan,” jawab Arya lalu menatap Alma.
“Kamu gak
bakal tega kalo singkirin Lia, kamu lemah dan akan terus begitu,” cibir Alma
yang melihat sisi rapuh dari Arya yang kembali muncul setelah dekat dengan Lia.
Jalu
menghela nafas, ia tak pernah berharap Alma akan menyetir putra kecilnya yang
penuh cinta itu hingga sejauh ini. Jalu hanya memintanya untuk menguatkan hati
Arya, bukan merubahnya jadi manusia kejam tak berperasaan.
“Kalau Lia
hamil, apa kamu bakal bunuh dia? Atau bunuh anaknya?” tanya Jalu ikut mendesak
Arya.
Mata Arya
langsung berkaca-kaca. Ia merasa begitu nyaman dan bahagia bersama Lia, ia
merasakan kehangatan dan kasih sayang yang sudah lama hilang darinya.
“Apa aku
harus melakukannya?” tanya Arya yang langsung di angguki Alma sementara Jalu
hanya diam menatapnya.
Arya
menggeleng. “K-kalau dia hamil, aku tak bisa membunuhnya juga tak bisa membunuh
anakku sendiri,” ucap Arya dengan berat hati pertama kali melawan orang tuanya
dan berpegang teguh pada pilihannya secara serius.
“Kalau kamu
tidak menyingkirkannya, dia yang bakal menyingkirkan kamu. Persis seperti Alya,
seperti bundamu,” sindir Alma dengan pandangan angkuh dan merendahkan.
Arya
mengangguk. “Tidak papa, aku percaya pada Lia,” putus Arya dengan yakin dan
tegas.
“Coba saja
uji dia, berikan sedikit kebebasan. Apakah Liamu itu akan bertahan atau kabur
darimu,” tantang Alma yang membuat Arya tak dapat berkata-kata dan lebih
memilih keluar dari kamar orang tuanya dan langsung pulang daripada terus
mendengar ucapan yang menyakitkan dari Alma.
●●●
Arya pulang
tanpa sambutan dari Lia. Tapi ketika ia melihat ke kamar Lia, gadis itu sedang
tertidur sambil meringkuk di balik selimut. Ada plester demam yang menempel di
keningnya yang membuat demamnya turun.
“Emhh…Tuan…”
ucap Lia yang langsung terbangun ketika merasakan ada orang yang duduk di
tempat tidurnya.
“Bagaimana
keadaanmu?” tanya Arya lalu menggenggam tangan Lia.
Lia
tersenyum lalu membalas genggaman tangan Arya. “Sudah jauh lebih baik Tuan,”
jawab Lia lalu mengecup tangan Arya.
Arya
mengangguk lalu mengusap kepala Lia dengan lembut dan pergi keluar dari
kamarnya agar Lia bisa istirahat dengan nyaman.
Rin yang
hendak memberikan makanan untuk Lia melihat betapa baik dan perhatiannya Arya
pada Lia. Rin sempat terdekun beberapa detik namun langsung masuk dan
meletakkan mangkuk berisi sup dan air putih untuk Lia.
Rin kembali
keluar dan mendapati kepala pelayan yang sedang bicara dengan Arya. Arya juga
tiba-tiba mengijinkan telfon rumah untuk tersambung dengan saluran umum agar
bisa menerima telfon dari luar. Kabar itu juga langsung tersiar ke seluruh
pekerja. Entah apa yang Arya inginkan tak ada yang tau.
Tapi yang jelas menurut Rin ini adalah momen yang tepat untuknya memberitahu Lia bila ada kesempatan untuk kabur. Atau paling tidak menyusun rencana dan mengabari keluarganya terlebih dahulu soal kondisinya.
0 comments