Untuk pertama kalinya Lia berkeliling di
rumah Arya. Tentu saja Lia tak berkeliling sendiri, Rin menemaninya. Mulai dari
taman hingga perpustakaan dan ruang makan. Rin cukup memperlakukan Lia dengan
baik.
Rin banyak bercerita tentang Arya dan
kebiasaan yang ada di rumah. Rin juga mengajak Lia pergi ke dapur dan kebun
untuk melihat pekerja lain yang ada di sekitar rumah dengan menaiki sepeda. Rin
juga mengajak Lia memberi makan ikan koi yang di pelihara disana.
Setelah hampir 3 hari full berada dalam
penyiksaan Arya rasanya ini adalah waktu terbaik yang bisa Lia nikmati dan
syukuri selama disana. Semuanya bersih dan terawat dengan baik, teratur dan
terlihat sangat rapi. Bunga di taman juga terlihat begitu indah dan beraneka
ragam, meskipun tetap di dominasi mawar dan melati yang terasa begitu semerbak
ketika angin berhembus menerpanya.
“Siapa itu?” tanya Lia saat melihat sebuah
mobil yang menurunkan seorang pria tua yang babak belur dan membawanya ke
tengah lapangan.
“Biasanya Tuan bakal eksekusi orang-orang
yang berkhianat ke dia,” jawab Rin menjelaskan.
Benar saja tak lama Arya datang dengan
celana pendek dengan kaos yang terlihat begitu santai. Arya juga mengenakan
topi karena cuaca yang cukup terik.
Dengingan pengeras suara yang di pegang
Arya terdengar. “Lari dan sembunyilah terlebih dahulu, aku masih menyiapkan
senapanku,” ucap Arya lalu duduk dan memasang senapannya.
Lapangan yang begitu luas tanpa ada pohon
dan tempat berlindung itu terasa berkali-kali lipat lebih besar begitu pria tua
yang sudah babak belur itu panik dan kebingungan mencari tempat bersembunyi.
Arya memicingkan matanya lalu membidik pria tua itu.
Satu tembakan meleset tapi pria itu sudah
begitu panik dan berlari tak terkendali sambil meminta maaf. Arya menatapnya
sejenak lalu melepaskan tembakan keduanya yang tepat menembus kepala pria itu.
“Setidaknya kalau tau resikonya seperti apa
tidak perlu di coba,” ucap Arya lalu kembali masuk kedalam rumah. Ia sempat
menatap budak sexnya sejenak tapi ia melanjutkan langkahnya begitu saja dan
memilih mengawasi Lia dari ruang monitornya.
Lia menundukkan pandangannya begitu
ketakutan dengan Arya. Ingatan soal ucapan Arya yang akan membunuhnya jika
hamil terlintas di pikirannya. Rasanya ucapan Rin benar, nyawa tidak terlalu penting
bagi Arya terlebih pada orang-orang yang sudah mencoba untuk menipunya.
“A-aku mau kembali ke kamarku,” ucap Lia
begitu ketakutan.
Rin mengangguk lalu mengantar Lia masuk
kembali ke kamarnya. Sejak itu Lia hanya pergi ke kamar, ruang makan, dapur,
dan perpustakaan saja. perasaannya begitu was-was dan takut.
Lia tidak tega melihat orang-orang yang di
bunuh dengan enteng oleh Arya. Lia juga tak mau terbebani dengan perasaan
sedihnya yang tak berkesudahan karena tak dapat berbuat apa-apa pada orang yang
di bunuh dengan cara sadis namun di anggap seperti mainan oleh Arya.
Sudah enam hari ia di sana, dan selama tiga hari terakhir ini Arya sama sekali tak
menemuinya atau menjamahnya. Lia senang tapi juga takut. Kalau-kalau Arya bosan
padanya lalu membunuhnya juga seperti orang-orang yang di bawa ke lapangan itu.
“Lia…” panggil seorang dokter yang datang
ke kamar Lia untuk memeriksa kesehatannya.
“Ya?” saut Lia pelan sambil membukakan
pintu kamarnya.
“Aku akan memeriksa kesehatanmu,” ucapnya
memperkenalkan diri lalu duduk di sofa kamar Lia.
Lia ikut duduk lalu pasrah dengan
pemeriksaan kesehatan yang di lakukan si dokter. Bahkan pemeriksaannya juga
sedikit intim karena melihat kondisi organ intimnya juga. Tapi Lia hanya pasrah
mengikuti tiap pemeriksaan lalu menjawab tiap pertanyaan yang di ajukan.
“Kurasa kamu cukup jujur,” ucap si dokter
sebelum akhirnya keluar dari kamar Lia setelah pemeriksaannya selesai.
Lia cukup bingung tapi dari pemeriksaan
yang ada rasanya ia memang di periksa karena permintaan Arya. Apapun
keputusannya juga ia tak bisa banyak berbuat.
“Dokter…” tahan Lia sejenak. “A-apa kamu
yang akan memeriksaku kalau aku sakit?” tanya Lia dengan suara begitu lirih.
Dokter diam sejenak lalu mengangguk. “Ya,
aku yang selalu memeriksa Tuan Arya, sekarang aku juga di minta memeriksamu.
Mungkin aku yang akan rutin memeriksamu tiap minggu,” jawab Dokter dengan
santai.
“K-kalau suatu saat aku hamil, apa kamu
bisa beritahu aku terlebih dahulu biar aku yang bicara dengan Tuan Arya sendiri
soal itu nantinya?” pinta Lia dengan penuh harap.
Dokter itu menatap Lia dengan bimbang dan
iba, namun pada akhirnya tetap mengangguk agar Lia tenang.
“Lia…” panggil Arya yang membuat dokter dan
Lia seketika jadi kaget dan kikuk. “Apa yang kalian bicarakan di belakangku?”
tanya Arya yang langsung menaruh curiga.
“A-aku hanya menanyakan apa aku sakit
sampai harus di periksa,” jawab Lia berusaha melindungi dokter yang
memeriksanya dan menjauhkan rasa curiga Arya.
Arya hanya mengangguk dan tampak raut
wajahnya pun juga jadi lebih tenang.
“Semuanya aman, hasil pemeriksaannya akan
ku tulis ulang agar lebih rapi. Nanti akan ku berikan padamu,” ucap dokter lalu
berjalan pergi meninggalkan Arya dan Lia sendirian di antar kepala pelayan yang
mengikutinya.
Arya mengangguk lalu masuk ke kamar Lia.
“Apa kamu liat yang ku lakukan di lapangan?” tanya Arya.
Lia mengangguk dengan ragu.
“Apa kamu takut?” tanya Arya yang tak dapat
Lia jawab. “Semua yang mengkhianatiku akan berakhir seperti itu. Aku berharap
kamu tidak mengkhianatiku agar tidak jadi seperti itu juga,” ucap Arya sambil
merangkul Lia ke tempat tidurnya.
Lia langsung mengangguk dengan cepat. Ia
sungguh sangat ketakutan.
Tak lama Arya mengambil tali di dalam laci, lalu mulai melepaskan pakaian yang menutupi tubuh Lia dan mulai mengikat tubuhnya bak sedang membuat kerajinan, namun terasa begitu mengikat dan mengekang tubuh Lia yang makin tak berdaya di buatnya.
0 comments