Arya yang mabuk dan haus akan hiburan kala
itu sebenarnya hanya mampir untuk minum dan mengobrol dengan Andre temannya.
Arya sama sekali tak berminat mencicipi wanita yang ada di rumah bordil itu.
Arya cukup pemilih dan peduli kesehatannya terutama kesehatan reproduksinya. Ia
tak tau berapa banyak pria yang sudah meniduri wanita-wanita genit yang
berseliweran di hadapannya.
Setidaknya ketidak tarikannya pada para
wanita yang ada disana sirna begitu ia melihat seorang gadis polos yang
kebingungan dalam kebinalan para pengunjung rumah bordil itu. Seorang gadis
cantik yang tampak ketakutan dalam pakaian sexy itu, seorang gadis yang tak
siap dengan konsekuensi bila datang ke tempat ini.
Teriakan orang-orang yang riuh
bersaut-sautan ingin membelinya dengan harga yang murah dan di bawah rata-rata
membuat Arya miris mendengarnya. Terlebih ketika angka penjualan terhenti di
angka 21 juta.
300 juta jelas bukan angka yang sedikit,
tapi bagi Arya yang memiliki segalanya. Uang 300 juta baginya tidak lebih
seperti kembalian dari warung. Bahkan membawa uang tunai sebanyak itu juga
bukan hal istimewa baginya.
“Jadi aku beli budak sex?” tanya Arya
setengah mabuk memastikannya kembali pada asistennya yang sudah membayar dan
membawa beberapa surat-surat bukti pembayaran juga akta kelahiran Lia sebagai
penjaminnya.
“Kurang lebih begitu Tuan,” jawab
asistennya dengan jelas.
Arya tersenyum lalu hanya diam dan
menggenggam tangan Lia hingga ia sampai di rumahnya. Lia begitu ketakutan.
Tangannya begitu dingin dan berkeringat. Bahkan Arya belum melakukan apapun
padanya selain menggenggam tangannya ia sudah begitu ketakutan.
“Apa panas? Udaranya terlalu panas?” tanya
Arya sambil mendekatkan wajahnya ke arah Lia.
Bukan karena Arya cabul, tapi ia tak dapat
melihat wajah budak yang baru ia beli itu dengan jelas. Matanya begitu kabur
menahan pusing dan efek memabukkan dari entah jenis minuman apa yang ia minum
tadi.
Arya tersenyum lembut lalu menghembuskan
nafasnya di tangan Lia. “Kamu cantik, wajahmu bikin aku inget Bundaku,” ucap
Arya lembut lalu mengecup bibir Lia dan menaikkan suhu pendingin di mobilnya.
Air mata Lia mengalir begitu saja. Ia
begitu ketakutan sekarang. Daripada memikirkan bagaimana bila nanti ayahnya tau
atau bagaimana bila masyarakat di desanya tau atas apa yang menimpanya
sekarang. Jujur Lia lebih takut pada Arya dan apa yang akan terjadi padanya
selanjutnya.
300 juta bukan uang yang sedikit tidak
mungkin ia hanya datang sebagai pelamar pekerjaan biasa. Tidak mungkin juga ia
datang dengan pakaian yang sesexy ini dan hanya akan di suruh bersih-bersih
atau mengurus kebun. Apa lagi ia di bawa ke tempat yang begitu jauh ini saat
malam hari.
“Why you cry Darling? Did you scared?” tanya
Arya sambil menatap Lia setelah melihatnya menangis dalam diam.
Lia tertunduk ketakutan. Ia ingin menangis
lebih keras dan menjerit minta tolong atau kabur dari mobil yang melaju kencang
ini. Tapi Arya yang duduk di sampingnya terlihat begitu mengawasinya.
Begitu mustahil lepas dari orang kaya gila
yang membelinya saat ini. Jalanan kota yang begitu asing baginya terlihat indah
dan menyeramkan di saat bersamaan. Tadi ia meminta untuk pergi jalan-jalan ke
kota. Tapi bukan seperti ini yang ia mau.
“What you scare of? Is that me? You
scare of me?” tanya Arya lagi lalu merangkul Lia agar mendekat dengannya.
Lia pasrah dan tampak begitu ketakutan. Air
matanya tak bisa berhenti mengalir. Ia sangat ketakutan melihat Arya yang
sempat mencuri perhatiannya di rumah bordi tadi.
“Daddy just wanna make you feel oke,”
bisik Arya lalu mengecup pipi Lia dengan lembut. Perlahan ciuman itu turun
hingga kelehernya, tak puas hanya mengecupnya Arya menjulurkan lidahnya lalu
mulai menjilati leher dan daun telinga Lia.
Lia mengerutkan bahunya sambil mendorong
dada Arya pelan. “J-jangan,” lirih Lia ketakutan dengan begitu pelan.
Arya diam menatap Lia dengan kesal, sedih,
marah dan kecewa yang berpadu jadi satu. Arya mundur lalu duduk tanpa
mengganggu Lia lagi. Lia sempat bernafas lega, tapi tak selang lama mobil
berhenti setelah memasuki hutan pohon jati dan masuk ke sebuah rumah besar,
megah bak istana.
“Bahkan wanita murahan sepertimu yang
datang untuk melacurpun menolakku?” gumam Arya lalu menyeret Lia keluar dari
dalam mobilnya.
Lia berusaha meronta dan lari dari
cengkraman Arya tapi ia di hadang dengan banyaknya petugas keamanan yang
menghadang langkahnya. Bahkan lari dari Arya juga bukan pilihan terbaiknya saat
ini. Hanya pasrah dan menerima apa yang ada adalah jalan terbaik yang ia punya
sekarang. Meskipun tetap bersama Arya juga tidak membuatnya merasa lebih aman.
Arya menarik tangannya secara paksa menaiki
tangga yang ada. Langkah Lia begitu tertatih-tatih tapi ia tetap berusaha
mengimbangi langkah besar pria mabuk yang sudah membelinya itu. Air matanya
perlahan surut dengan sendirinya.
Lia terlalu takut, panik dan waspada hingga
menangis sudah tak bisa menjadi solusi lagi. Meminta belas kasihan apa lagi.
Tapi meskipun begitu ia bisa melihat betapa megah dan indahnya tempat Arya
membawanya.
Lantai marmer yang halus dan terlihat
bersih bahkan nyaris tak ada sela perpotongan antar satu marmer dengan marmer
lainnya, taman depan yang di hiasi bunga mawar, melati, dan bunga-bunga
lainnya. Suasana hujan yang sejuk dan dingin berhembus seiring dengan semerbak
bunga yang ada di sekitarnya.
Tempat seindah ini rasanya mustahil bila di
sebut sebagai tempat penyiksaan atau neraka. Ini surga yang di sembunyikan,
bagai di culik ke negeri dongeng. Tapi sayang faktanya Lia kesana bukan sebagai
putri atau tamu jangankan seperti itu, menjadi pembantu atau tukang kebun yang
masih punya sedikit martabatpun tidak.
Ia datang sebagai budak. Budak sex lebih
tepatnya. Budak sex yang di lelang dari rumah bordil pinggiran lalu entah
keberuntungan atau kesialan ia di beli dengan harga selangit oleh konglomerat
yang menyeretnya masuk kedalam sebuah kamar ini.
Kamar besar dan megah. Kamar bernuansa warna putih, emas, dan merah hati. Begitu indah, tapi sayang kamar itulah yang akan jadi saksi bisu kebrutalan yang akan ia alami setelah ini dan entah kapan akan berhenti.
0 comments