0
Home  ›  Chapter  ›  Poison

Bab 39 – Penusukan

 

Bab 39 – Penusukan-1

Luis mengantar Vivi ke ruang inap Erik. Sementara polisi berjaga di depan lobi rumah sakit. Luis yang awalnya ingin langsung ke ruangannya tiba-tiba melihat notifikasi di ponselnya karena ada yang coba mengakses komputernya. Luis jadi langsung paham kemana arah yang Stiven pergi karena jelas ia adalah targetnya.

Luis langsung membuka CCTV yang terhubung di ponselnya. Melihat Stiven yang duduk di mejanya lalu memastikan jika rumahnya aman, bahkan Luis sempat menelfon Bela memintanya untuk memsankan sup iga untuk makan malamnya nanti.

“dr. Luis, ini sampel suvenir rumah sakit untuk acara minggu depan,” sapa orang marketing yang menghampiri Luis sembari menunjukkan payung dan gelas juga beberapa suvenir lainnya.

“Wah! Ini keren sekali. Aku suka ini…” Luis meraih sebuah payung besar. “Ini pasti sempurna…” lanjutnya lalu berjalan ke ruangannya sambil tersenyum sumringah.

Orang marketing yang datang mengajak vendor suvenir itu tampak senang dengan respon Luis sementara Luis sudah langsung bergegas ke ruangannya dan membuka pintu dengan cukup tenang. Cukup tenang dan bisa di bilang sangat tenang sampai Stiven tak menyadari kedatangan Luis yang bersamaan dengan pengumuman dari rumah sakit terkait jam besuk pasien yang baru akan di buka.

“Menemukan sesuatu?” tanya Luis sambil tersenyum sumringah yang sudah berdiri di hadapan Stiven dengan payung di tangannya.

“Luis!” seru Stiven kaget yang langsung terperanjat dan mengacungkan pisau buah yang ia bawa.

Luis tersenyum melihatnya lalu mengacungkan payung di tangannya. “Ku rasa kau keluar cukup cepat juga,” ucap Luis santai lalu menurunkan payungnya sembari berjalan mendekat pada Stiven sambil mengantuk-antukkan payungnya ke lantai.

Baca juga 29. Vol. 3 : Chapter 12

“M-mundur! Apa maumu?!” gugup Stiven yang sudah tak punya celah kabur dan bingung harus bicara apa di depan Luis. Rencana yang sudah ia susun matang-matang seketika jadi mentah dan amburadul ketika ia berhadapan dengan Luis.

Luis tertawa mendengar ucapan Stiven yang harusnya ia katakan. “Kau lucu,” ucap Luis lalu melepaskan payungnya dan mengangkat tangannya seolah menyerah. “Kita bicarakan baik-baik, kau mau apa?” tanya Luis lalu duduk di kursinya.

“Akui kalau kau yang membunuh orang-orang di apartemenku! Kau yang meracuni tangki air dengan arsenik itu! Kau yang membunuh ayah Bela!” bentak Stiven sambil mendekat ke arah Luis dan berusaha menodongkan pisaunya agar Luis mengaku.

“Aku? Apa buktinya?” Luis terlihat begitu tenang namun cukup mengintimidasi bagi Stiven yang ternyata masih kurang persiapan itu.

“K-kau diam-diam mengantar ayam goreng ke apartemen tempat Bela tinggal, kau memukuli ayahnya, ka-kau…”

“Dan kau diam saja saat tau itu? Kau diam saja saat tau Bela di siksa? Kau diam saja saat Bela kelaparan? Kau menjauhi Bela yang butuh pertolongan…” Luis tersenyum lalu menghela nafas. “Kau mendengarnya menangis lebih dari sekali, kau mengenalnya lebih lama dari aku, kau ikut menikmati tiap penderitaannya, kau lebih mengerikan daripada aku.” Luis kembali bangkit dari duduknya mendekat pada Stiven yang gemetar lalu mengambil pisaunya tanpa perlawanan.

“Apa yang sudah kau lakukan sebenarnya?” geram Stiven yang meraih kembali pisaunya dari tangan Luis lalu menodongkannya kembali meskipun pandangannya sudah kabur karena mulai menangis dan tangannya juga gemetaran.

“Aku hanya menunggu di ruanganku, di bangsal jiwa. Sesekali aku keluar membeli makanan untuk Bela, membeli sabun, sampo, beberapa obat untuknya. Kami makan bersama, mengobrol, lalu saling mengobati. Kami mengurus satu sama lain…” Luis mendekat lalu mengarahkan pisau yang di bawa Stiven ke bawah untuk menusuk menembus pinggangnya. “Bukankah ini yang kau inginkan?” tanya Luis yang sengaja menusuk dirinya di hadapan Stiven lalu menekan tombol untuk memanggil perawat juga aleram kebakaran. “Kalau memang aku kau pelakunya bisa apa sekarang?” tanya Luis lalu berlari keluar dan berteriak minta tolong dengan wajah girang penuh kemenangannya dan Stiven hanya bisa diam membeku di ruangan Luis.

Baca juga 28. Vol.3 : Chapter 11

“Stiven! Itu Stiven si Pembunuh!” seru perawat yang datang ke ruangan Luis dan mendapati bercak darah yang ada di lantai. “dr. Luis! Tolong!” jerit perawat itu yang kini menyadarkan Stiven dalam lamunannya.

Stiven berlari tanpa arah berusaha turun, namun begitu ia sampai bawah Luis sudah ada di bawah di kerumuni dokter dan staf keamanan. Polisi juga langsung berjaga dan alasan Luis di kantor sebelumnya jadi terdengar masuk akal sekarang melihat betapa dilindunginya Luis oleh para stafnya disana.

“Bukan aku! Bukan aku pelakunya! Dia pelakunya! Dia menusuk dirinya sendiri!” teriak Stiven yang tak terima dengan tatapan mengintimidasi dan waspada dari orang-orang yang ada disana. Tanpa peduli jika teriakannya yang malah menyudutkannya sendiri.

Luis hanya diam sembari memalingkan wajahnya dan berpura-pura menahan kesakitan. Polisi langsung mendekat ke arah Stiven berusaha meringkusnya kembali. Namun tepat saat detektif yang di sewa Alan tiba, bertepatan dengan itu pula Stiven meraih pistol yang ada di pinggang polisi yang berusaha mengamankannya.

“Aku bukan pelakunya!” teriak Stiven membela dirinya sambil menangis pilu. “Aku bersumpah bukan aku pelakunya! Aku hanya di jadikan kambing hitam oleh semua orang!” jeritnya lalu mengacungkan pistol ke semua orang yang langsung merunduk berusaha melindungi diri. “Aku hanya dokter biasa yang ingin memberikan kehidupan layak untuk ibuku, untuk temanku yang terus di pukuli ayahnya, tapi aku juga tak berdaya sampai terus di kambing hitamkan begini! Bukan aku pelakunya!” teriak Stiven lalu mengarahkan pistol itu ke kepalanya sendiri lalu menatap Luis yang tersenyum ke arahnya seolah memberi semangat untuk melakukan tindakan nekatnya.

“Iya, iya bukan kau pelakunya. Sudah jangan nekat!” seru polisi yang berusaha menenangkan Stiven agar tidak gegabah.

“Ini masalahmu dengan dr. Alan. Kenapa harus membawaku hingga sejauh ini?” pertanyaan terakhir Stiven sebelum nekat mengakhiri nyawanya dengan satu tembakan peluru tepat di kepalanya sendiri.

***

Alan begitu terkejut mendapat kabar jika Stiven berani menyebut namanya sebelum akhirnya bunuh diri. Segala macam umpatan dan makian terucap dari mulutnya. Mengingat betapa bodoh dan gegabahnya Stiven dalam menghadapi Luis yang penuh perhitungan. Ia langsung bergegas ke rumah sakit, tapi setibanya ia disana ia malah mendapati lobi yang sudah menjadi tempat olah TKP dan Luis yang di rawat disana, ditemani Bela juga Damian tentunya.

“Kau sudah membawa semua orang sampai sejauh ini Alan, berhentilah hidup dimasalalu dan dalam kebencian. Pilihanmu untuk melepaskan Elis, pilihanmu juga untuk merebut posisiku, kau selalu mendapatkan yang kau mau, lalu kau menyesalinya sendiri. Keserakahanmu yang membuatmu hancur dan aku tak bisa lagi menolongmu kali ini,” ucap Damian menghadapi saudaranya itu setelah lama membiarkannya dan mendiamkannya bertingkah sesuka hati.

Alan menggelengkan kepalanya tak terima dengan permainan Luis yang begitu rapi dan cantik saat membalasnya. Tanpa celah hingga ia tak punya jalan untuk berkutik dan berkelit lagi.

Bab 39 – Penusukan-2


39
Posting Komentar
Search
Menu
Theme
Share