Bab 23 – Pernikahan
“Ku kira
kau sudah mati…” bisik Luis sembari menyalimi Erik yang datang ke acara
pernikahannya lalu kembali memasang senyum sumringahnya sembari berfoto
bersama.
Bela tampak
masih berusaha menyembunyikan harunya karena akhirnya resmi menjadi istri Luis.
Luis juga terus menggenggam tangannya sembari sesekali memastikan jika Bela
sudah lebih baik bahkan ia juga tak sungkan memeluk atau mengecup kening Bela
di depan para tamu. Sementara Erik terlihat cemas dan pucat setelah Luis
berbisik padanya.
“Sebentar
lagi kita pulang,” ucap Luis pada Bela yang sama sekali tak mengenali satupun
tamunya. “Istriku cantik sekali,” puji Luis yang membuat Bela berbunga-bunga.
“Ke rumah?”
tanya Bela sedikit berbisik.
“Hotel lah,
kita perlu sedikit liburan,” jawab Luis lalu menyalimi Rey dan Ema yang datang
bersama.
Ema dan Rey
tampak menggemaskan kali ini karena memakai pakaian dengan warna yang senada.
Luis langsung tersenyum penuh arti seolah paham jika Rey dan Ema mulai dekat.
Rey juga rasanya langsung paham dengan arti senyuman Luis yang membuatnya
tersipu malu.
“Kalo
kalian sibuk pacaran siapa yang membantuku nanti?” ucap Luis yang membuat Rey
dan Ema meringis dengan semu di wajahnya.
“Itu bisa
di atur,” ucap Rey lalu bersiap berfoto dengan bosnya selama magang.
Sampai
akhirnya acara selesai Stiven tak tampak hadir. Luis sudah sengaja
mengundangnya meskipun ia tak membicarakan soal siapa saja yang ajan ia undang
pada Bela. Erik sempat menyentuh tangan Bela kembali setelah Luis dan Bela
hendak pergi meninggalkan acara, tapi Luis langsung menatapnya tajam dan
benar-benar marah hanya karena sentuhan kecil itu.
“Bela
bunganya,” pinta Luis karena Bela lupa untuk melempar bunganya.
Bela
langsung memberikan bunga di tangannya pada Luis, Luis langsung memberikannya
pada Erik sembari mengelus bahunya.
“Pembunuh
sepertimu tak layak hidup berlama-lama,” bisik Luis lalu tersenyum sembari
menatap para tamu. “Erik harus segera menyusul” ucapnya dengan ceria lalu
berjalan dengan penuh senyum bersama Bela masuk kedalam mobil.
***
Heny
memutuskan untuk tidak menghadiri pernikahan Luis. Melihat dari postingan
sosial media orang-orang saja sudah membuat hatinya hancur. Heny ingat betul
betapa bahagianya ia menghabiskan waktunya selama koas bersama Luis. Betapa
bertanggung jawabnya Luis dan semua kenangan indah yang mereka lalui bersama.
Dilubuk hatinya yang terdalam ia begitu merasa iri pada Bela.
Belum lagi
cara Luis menggenggam tangan Bela atau langsung memberinya perhatian kecil saat
ada di pelaminan dan sepanjang acara. Heny yakin sekarang Bela benar-benar
menjadi wanita paling beruntung di dunia karena mendapatkan Luis. Tapi Heny
juga tak bisa merebut Luis kembali atau hal lain yang membungkinkan
kedekatannya lagi dengan Luis. Toh dari dulu ia yang menjauhi Luis duluan dan
membuatnya semakin terpuruk.
“Sayang
sudah pulang…” sambut Heny pada suaminya.
“Tadi
harusnya kau ikut, kau harusnya melihat langsung kalau istrinya Luis tidak
secantik dirimu,” ucap suami Heny yang datang ke acara sendirian.
Heny hanya
tersenyum mendengar ucapan suaminya.
“Luis kalah
telak denganmu, lihat dia tak akan mendapatkan yang lebih baik daripada
dirimu,” sambungnya yang malah terasa makin sakit bagi Heny.
“Oh ya?”
saut Heny berusaha terlihat biasa saja.
Suaminya
langsung mengangguk dengan cepat. “Kurus, ada bekas luka di tangan dan kakinya.
Jelek pokoknya…”
Dan semakin
suaminya menceritakan betapa buruknya Bela dan membanggakan dirinya, semakin
Heny yakin jika Luis tak mencintai Bela hanya sebatas fisiknya saja. Sudah
dapat di pastikan jika mereka sudah melalui banyak hal bersama dan pasti lebih
dari sekedar yang pernah di lalui saat berpacaran dengannya. Heny begitu yakin,
ia sangat mengenal Luis benar-benar mengenal pria itu luar dan dalam.
Semakin
suaminya bercerita semakin Heny tau dan mempertegas pikirannya jika Luis
benar-benar mencintai Bela, dan Bela yang menyembuhkan Luis saat ini.
Mempertegas kegagalannya sebagai seorang psikiater. Memperjelas kesalahannya
untuk meninggalkan Luis saat itu.
***
Bela
memandangi cincin baru di jari manisnya juga di jarimanis Luis. Hidupnya yang
semula hanya sebatas perawat magang yang terlunta-lunta kini menjadi seorang
nyonya. Tak ada kekhawatiran lagi soal mau makan apa esok hari, tak ada
ketakutan jika ia akan di pukuli jika tak membawa apapun saat pulang, tak ada
tempat tinggal kumuh lagi. Hanya ada tempat tinggal nyaman dengan stok makanan
yang sangat cukup juga suami yang selalu menyayanginya dengan segala hal yang
bisa ia berikan pada Bela.
“Aku ingin
kita lebih banyak waktu bersama lagi, tapi aku harus mulai ke rumah sakit
lagi,” ucap Luis yang akhirnya bercerita soal tamu yang ia temui beberapa waktu
lalu.
“Untuk
apa?” tanya Bela sembari menatap Luis.
Luis
menghela nafas dengan berat. “Aku di calonkan menjadi direktur baru, ini
menyebalkan. Padahal aku masih trauma, aku juga ingin di rumah saja bersamamu,”
jawab Luis lalu bersandar di bahu Bela dengan manja menikmati perjalanan menuju
hotel yang sudah ia siapkan untuk bulan madunya.
Bela
mengangguk pelan, Bela memahami kesibukan Luis. “Apa kau mau ku temani?” tanya
Bela lembut sembari menggenggam tangan Luis.
“Boleh!
Asal kau tidak kelelahan saja,” jawab Luis begitu antusias dengan senyum
cerianya yang langsung mengembang.
Bela
tertawa kecil melihat respon Luis yang begitu ceria.
“Nanti Bela
bisa jadi perawat yang mendampingiku! Ini pasti menyenangkan!” ucap Luis begitu
bahagia dan ceria sembari membayangkan betapa serunya bekerja bersama Bela yang
mendampinginya sebagai asisten.
“Tapi apa
dr. Luis mau langsung praktek?” tanya Bela yang membuat alis Luis mengkerut dan
kembali menghela nafas.
“Aku tidak
suka di panggil seperti itu,” keluh Luis lalu kembali menghela nafas. “Bisa
tidak ya aku tidak usah punya pasien saja,” ucapnya sembari kembali bersandar
pada Bela dengan manja.
Bela
tertawa mendengar keluhan suaminya yang moodnya begitu mudah berubah itu.
“Aku suka
pasiennya hewan saja,” ucap Luis sebelum akhirnya sampai di hotel dan bersiap
turun bersama Bela.
***
Erik terus
memandangi jendela kamarnya. Sejak pencalonannya yang di karbit oleh Alan, ia
sudah tidak lagi dirawat di rumah sakit. Erik dipindahkan di rumahnya, tinggal
di rumah dengan pengawasan ketat. Alan berusaha keras untuk menutupi semua
kekacauan agar putranya itu bisa tetap maju di pencalonan melawan Luis.
“Erik tidak
siap,” ucap Vivi yang paham betul bagaimana putranya.
“Kau
terlalu memanjakannya, lihat putramu itu sampai tak bisa menyalakan api dalam
jiwanya sendiri karena terlalu di manja!” sanggah Alan yang tak mau di salahkan
atau memahami putranya.
Vivi
menghela nafas dengan berat. “Erik memang sangat lembut, hatinya memang rapuh.
Kenapa harus dipaksakan?” tanya Vivi berusaha membujuk suaminya agar tidak
terus menekan Erik.
“Ibu…”
lirih Erik yang mendengar perdebatan orang tuanya.
“Tidak!
Kalau kau tidak bisa memenangkan apapun tidak ada ibu untukmu!” cegah Alan yang
langsung membawa Vivi menjauh dari Erik.
“Ibu…Ibu!”
teriak Erik yang begitu ketakutan jauh dari ibunya.