Bab 26 – Apartemen
Luis pulang
dengan perasaan begitu ceria. Terbayang di pikirannya melihat Bela menyambutnya
dengan harum masakan dari dapur untuk makan bersama. Apalagi siang ini Luis
sengaja tidak banyak makan agar bisa menampung banyak masakan buatan Bela. Baru
membayangkannya saja Luis sudah begitu girang.
Tapi saat
ia masuk rumah. Jangankan bau masakan, sambutan dari Belapun tak ada. Luis
sudah begitu panik dan berlari masuk mengecek dapur, ruang tengah, kamar Bela,
hingga akhirnya ia menemukan Bela di kamarnya. Meringkuk dibalik selimut dengan
bekas linangan airmata di pipinya.
“Sayang…”
lirih Luis sembari memeriksa suhu tubuh Bela, barang kali karena demam lagi.
“Emhh…”
lenguh Bela yang terbangun karena Luis yang menyentuh kening dan lehernya
dengan tangannya yang dingin dan basah itu. “Sayang, sudah pulang. Cepat
sekali,” lirih Bela sembari berusaha bangun.
“Masih
sakit?” tanya Luis. “Apa seharian kau hanya tidur?” tanyanya khawatir.
Bela
tersenyum dan menggeleng pelan. “Tidak, aku sehat. Hanya pagi tadi saja,” jawab
Bela lalu memeluk Luis. “Hari ini aku mencoba eskrim, kue, aku juga beli
lotion,” ucap Bela mulai menceritakan harinya pada Luis.
“Bagaimana
dengan swalayan?” tanya Luis yang merasa jika Bela ingin membohonginya soal
pergi keswalayan.
Bela
mengerutkan keningnya kaget Luis menyinggung soal swalayan. Tapi Bela tak mau
ambil pusing soalnya memang semua tempat yang ia kunjungi dekat dengan swalayan
dan kebiasaannya belanja ke swalayan sebagai hiburan juga sudah di ketahui
Luis.
“Iya aku
tadi kesana, tapi tidak jadi masuk,” lirih Bela lalu kembali tiduran dan
menepuk bantal disebelahnya agar Luis ikut tiduran bersamanya.
“Aku cuci
tangan dulu,” ucap Luis lalu pergi ke kamar mandi sebelum ia sedikit bersantai
bersama Bela.
Luis
menyembunyikan kembali seluruh aplikasi pelacak yang ia gunakan. Luis juga
sengaja sekalian mandi dan ganti baju dengan kaos dan celana pendek yang lebih
santai juga agar ia lebih nyaman.
“Jadi
bagaimana?” tanya Luis yang sudah siap mendengarkan istrinya bercerita.
“Tadi di
swalayan aku bertemu ibunya Stiven, Bibi Deby.” Baru bicara sedikit Bela sudah
langsung berkaca-kaca dan siap menangis lagi.
“Lalu
masalahnya dimana?” tanya Luis lembut sembari memandangi Bela.
“Dia
mengejekku, dia juga mengatakan kalau aku pasti menikahi dokter tua karena tak
mungkin ada yang mau denganku kalau masih muda. Dia juga menghina kondisi
keluargaku dulu, katanya aku bau, aku juga dulu pernah makan sampah makanan
yang dia buang karena kelaparan, dia menertawakan semuanya. Itu membuatku
sedih, jadi aku tidak jadi belanja. Padahal hari ini rencananya aku ingin
membuat sup iga, seperti resep di TV…” Bela bercerita dengan airmatanya yang
terus mengalir dan tampak begitu sedih.
Luis
mengerutkan keningnya begitu marah dan tidak suka dengan perlakuan Deby pada
istrinya. “Sudah tidak apa-apa, Sayangku masih mau sup iga?” Luis coba
mengalihkan pembicaraan sekaligus menghibur Bela.
Bela
menggeleng pelan.
“Mau
belanja? Ku temani?” tanya Luis lagi mencoba membujuk Bela agar tak bersedih.
Bela
mengangguk. “Nafsu makanku hilang, aku tidak mau sup iga lagi,” lirih Bela
mengadu pada suaminya.
Luis
mengangguk lalu mendekap Bela lebih erat sambil mengelus punggungnya. “Sudah
tidak masalah, semuanya akan ku atasi. Jangan takut,” ucap Luis lembut
menenangkan Bela. Meskipun emosinya sudah begitu membuncah, amarahnya sudah
begitu mendidih.
“A-aku
ganti baju dulu ya…” ucap Bela lembut lalu bangun dan pergi bersiap juga.
Luis diam
memikirkan apa yang bisa ia lakukan sekarang. Memikirkan cara agar Bela tak
curiga jika ia pergi tiba-tiba. Cerita Bela soal Deby sudah tak bisa ia maafkan
lagi.
“Sayang,
aku ada urusan sebentar,” ucap Luis begitu Bela keluar dari kamar mandi.
“Ow
baiklah,” ucap Bela yang tak banyak tanya. “Belanjanya besok saja ya?” tanya
Bela yang khawatir bila mengganggu kesibukan Luis.
“K-kalau
nanti aku bisa cepat kita tetap belanja,” jawab Luis gugup.
Bela
mengangguk sambil tersenyum maklum. “Aku ingin besok saja, aku akan memasak
makan malam,” ucap Bela pengertian sembari memeluk Luis dan mengantarnya keluar
seperti biasa.
***
Hujan turun
begitu deras tepat ketika Luis sampai di apartemen kumuh tempat Bela tinggal
dulu. Luis turun dari mobilnya dengan jas hujan hitamnya dan langsung masuk
dengan tas perkakasnya. Luis masuk tanpa ada kecurigaan meskipun ada satpam
yang berjaga di depan. Tak berapa lama listrik juga mati karena cuaca yang
begitu buruk dengan guntur dan angin kencang penyerta hujan kali ini.
Luis naik
ke lantai paling atas melihat tandon air yang sudah lama ia incar. Luis melihat
sekeliling lalu melihat penyaring air yang ada di dekat tandon. Luis langsung
membongkarnya dan menuangkan seliter racun arsenik yang sudah lama ia siapkan
sejak lama. Luis segera menutup filter air dan merapikan semua kekacauannya
hingga kemali seperti semula.
“Apa yang
kau lakukan di atas sana?” tanya satpam yang melihat Luis turun dari lantai
paling atas.
“Airnya
macet,” ucap Luis yang terlihat masuk akal mengingat ia membawa perkakas untuk
memperbaiki.
Satpam
hanya mengangguk lalu tampak tak mau tau, enggan ambil pusing dengan segala
yang ada di apartemen kumuh itu. Sampai tiba-tiba ada suara jeritan meminta
tolong dari salah satu kamar, di iringi dengan suara jeritan dari yang lainnya.
Satpam yang semula hanya berkeliling santai kini jadi berlari terburu-buru
mengikuti tiap suara teriakan dan jeritan yang meminta tolong.
Luis
menoleh ke arah suara dan hanya diam menengok ke bawah melihat kekacauan yang
ia buat terjadi begitu cepat. Sampai ia melihat pintu apartemen 312 dan melihat
pintunya yang coba di buka. Luis langsung bergegas kesana membuka pintunya dan
mendapati Deby yang terlihat tak berdaya tinggal sebatang kara hendak meminta
bantuan.
“Hai…” sapa
Luis yang membuka pintu lalu langsung mendorong Deby dengan sekuat tenaga
hingga wanita tua itu jatuh tersungkur kebalakang dan Luis langsung menutup
pintu apartemennya lalu pergi begitu saja.
Suara
teriakan dan jeritan orang-orang terdengar bersautan. Luis tersenyum puas
mendengarnya. Persis seperti saat ia pertama kali datang dan mendengar Bela
yang di hajar ayahnya dan tetangganya hanya diam saja mengabaikannya. Luis
mengingat tiap kesakitan yang Bela alami, tiap kesakitan yang tak pernah ada
yang mau membantunya sedikitpun. Ini sudah impas sekarang.
Luis pergi
dari sana sembari membuang jas hujannya dan membeli yang baru di swalayan agar
istrinya tak curiga. Sebelum pulang Luis juga membeli buket bunga mawar untuk
Bela. Kepulangannya kali ini sesuai yang ia harapkan, ada sambutan hangat dari
istrinya juga harum masakan dari dapurnya.
“Aku
membuat ramen, udang goreng, juga ini…” Bela menunjukkan masakannya juga
potongan nanasnya.
“Wuhu!”
seru Luis senang lalu memberikan bunga yang ia beli untuk Bela. “Aku mandi dulu
sebentar ya, sepertinya aku kotor,” ucap Luis yang di angguki Bela.
Bela
menyalakan TV dan sebuah berita beraking news muncul. Berita soal keracunan
masal yang ada di tempat tinggalnya dulu. Tubuh Bela langsung gemetar hebat
mendengar kabar jika hampir seluruh penghuni apartemen yang tinggal disana hari
itu mati keracunan. Matanya berkaca-kaca menahan tangisnya entah karena sedih,
kaget, atau senang karena akhirnya semua orang mendapat karmanya. Tapi Bela
seketika teringat soal ceritanya pada Luis dan kemana perginya Luis selama
duajam ini.
“Sayang,
tadi kau ada urusan apa?” tanya Bela begitu Luis duduk bersiap makan
bersamanya.
“Em…aku
keluar, rencananya tadi aku mau beli eskrim atau kue. Tapi hujan deras sekali
jadi aku beli bunga untuk menghiburmu,” jawab Luis dengan wajah polosnya. “Ada
apa?” tanya Luis heran sementara Bela bernafas lega dan secepat mungkin
menggeleng mengusir kecurigaan tak berdasarnya.
Luis
tersenyum lalu menyeruput kuah ramennya. “Sayang, nanti kalau aku bertemu
tetanggamu yang menyebalkan, aku akan memarahi mereka. Aku akan memberitau agar
tidak mengganggumu lagi!” ucap Luis sambil mengepalkan tangannya dan kembali
makan.
Bela
tersenyum sambil mengangguk dan mulai makan sampai ia melihat telapak tangan
Luis yang terlihat keriting seolah sudah terendam air cukup lama.