Bab 13 – Jas Hujan
Stiven sepertinya benar-benar membagikan brosur pet shop milik Luis, beberapa orang datang dengan bangga mengatakan kalau tempat ini di rekomendasikan dr. Stiven. Luis tak suka dengan orang-orang yang datang itu, ia benci tiap nama Stiven di sebut. Kalau saja Bela tak terlihat senang saat merawat hewan-hewan ini, sudah jelas Luis akan membunuh mereka semua.
“Stiven
baik ya,” ucap Bela sembari memberi makan beberapa kucing yang mendekat
padanya.
Luis
mengangguk dengan senyum yang perlahan memudar dari wajahnya dan memeluk Bela
dari belakang dengan erat. “Aku bagaimana?” tanya Luis manja.
Bela
tersenyum lalu mengelus tangan Luis lembut. “Kau yang terbaik di dunia ini,
nomer satu selamanya!” seru Bela dengan ceria lalu meletakkan makanan kucingnya
untuk memeluk Luis yang jauh lebih tinggi darinya.
Belum lama
Bela memeluk Luis, tiba-tiba Luis melepaskan pelukannya dan pergi dengan
terburu-buru keluar tanpa berkata apapun pada Bela. Bela jelas bingung
mengingat sudah mulai mendung dan baru saja ia hendak memanjakan Luis. Luis
kali ini bukan hendak memata-matai Stiven, tapi ia merasa perlu segera
meresmikan Bela sebagai miliknya sebelum Stiven mengambilnya.
Luis
berlari membawa dompetnya dengan tergesa-gesa menuju sebuah toko emas. Ia perlu
membeli cincin, ia perlu menunjukkan kesungguhannya. Paling tidak Bela harus
tau kalau ia sudah milik Luis seutuhnya. Namun di tengah perjalanannya gerimis
mulai turun yang perlahan menjadi hujan. Tak masalah, Luis memiliki cukup waktu
untuk memilih cincinnya dan Bela juga sibuk dengan pet shopnya sementara waktu.
***
“Aku sudah
mengorbankan banyak hal, tidak bisakah kita mengobati kepalanya?” tanya Alan
pada Heny, psikiater yang merawat putranya.
“Ini akan
memakan waktu yang panjang, dr. Erik mengalami guncangan yang cukup hebat. Ini
seperti ia sudah sejak lama menyimpan traumanya, kesedihan, dan…”
“Hentikan
omongkosong itu, apa yang diperlukan? Naikkan dosisnya, sebelum pergantian
tahun dia harus menggantikan posisiku,” sela Alan yang enggan mendengar
penjelasan soal kesehatan mental yang di alami putranya.
Bukan tanpa
alasan Alan enggan mendengarnya. Tapi ia enggan mendengar penjelasan
bertele-tele yang endingnya hanya akan menyudutkannya. Soal trauma masalalu
lah, soal kesedihan, soal masa kanak-kanak, tekanan untuk menjadi dokter,
ambisinya yang ia paksa wariskan pada Erik yang pada dasarnya lebih
menyukai bidang seni atau mengajar
anak-anak. Alan jijik mendengar betapa lemah mental putranya itu, betapa Erik
jauh tertinggal di belakang Luis. Bahkan kondisinya juga semakin mundur
sekarang.
“Tidak bisa
seperti itu, kau juga dokter. Kau paham betul ini tidak sesederhana menambah
dosis,” jelas Heny itu sembari memberikan map berisi diagnosa atas kondisi
Erik.
Alan
menghela nafasnya, ia jadi terpaksa harus menyembunyikan Erik dan kondisinya
sekarang. Sementara Heny yang menangani Erik masuk untuk berbincang dengannya.
Alan juga langsung pergi setelah sempat saling tatap sejenak dengan Erik, ia
perlu mencari pemecahan masalah atas kondisinya kali ini dengan segala cara.
“Ini…” Heny
memberikan sebuah buku jurnal harian, juga setumpuk kertas dan amplop surat
beraroma lavender. “Aku tidak tau kapan kau bisa bercerita, aku tidak akan
menganggap ini sebagai afirmasi negativ. Ini cara kita menguraikan masalahmu,
tulis segala hal yang membuatmu marah dan kecewa, traumamu, semua. Kita harus
menguraikannya satu persatu,” jelas Heny menjelaskan maksud dan tujuannya.
“Black
letter method, hah?” saut Erik lalu tersenyum sinis.
Heny
mengangguk dengan tenang.
“Aku tidak
ingin menyalahkan siapapun, aku yang salah…”
“Kau baru
mulai menyalahkan seseorang kalau begitu.”
Erik
mengerutkan keningnya kaget.
“Erik. Kau
baru saja menyalahkan dirimu sendiri. Aku tidak paham apa yang membuatmu
sekacau ini secara spesifik. Jika hanya karena mal praktikmu, kurasa ini bukan
kali pertamamu gagal dan yah…semua orang tau bagaimana power ayahmu.”
Erik
mengangguk. “Lalu aku harus apa?”
“Uraikan
saja semuanya dengan jujur, sesuai hatimu, sesuai perasaanmu.”
Erik
menghela nafasnya. “Apa kau masih menyukai dr. Luis?” tanyanya tiba-tiba.
Heny
terdiam lalu mengepalkan tangannya di bawah meja menahan emosinya yang langsung
tersulut ketika nama Luis di sebut. Kisah cintanya yang kandas, pujaan hatinya
yang terpaksa ia campakan demi reputasinya. Bukan salah Luis memang, tapi Heny
juga bergelut dengan trauma yang ia hadirkan sendiri.
“Kau tau,
dia membuka pet shop? Kurasa dia begitu bahagia sekarang bersama Bela.”
Heny ingin
pergi kalau saja Erik masih sebatas teman sejawat dan bukan pasiennya untuk sekarang.
Heny jelas tau apa yang di lakukan Luis, kemana ia sekarang, dan hubungannya
dengan Bela… sejujurnya kadang Heny merasa jika Bela merebut Luis. Lucu rasanya
Heny berpikir seperti itu dengan cincin nikah yang sudah melingkar di jari
manisnya, juga janin berusia 16 minggu di perutnya.
“Kadang aku
iri, Kak Luis bisa bahagia dengan pilihannya pada akhirnya. Kesalahannya memang
vatal, aku juga…”
Sejujurnya
Heny sudah enggan mendengarkan ocehan Erik. Hatinya masih berdesir meratapi
Luis.
“Aku ingin
hidup sepertinya, bersama Bela juga. Aku lebih menginginkan Bela daripada rumah
sakit dan terus jadi dokter,” ucap Erik yang akhirnya akan berhenti mengoceh.
“Kenapa
Bela? Maksudku kenapa harus Bela?” tanya Heny penasaran.
Erik
mengedikkan bahunya. “Kurasa Bela terlihat tulus, Kak Luis hanya mau
membersamai orang-orang yang memang tulus menjadi miliknya, kan? Maksudku kau
juga tulus, dulu saat Kak Luis masih berjaya. Tapi Bela berbeda, dia
menyembuhkannya padahal bukan dokter. Hanya perawat magang biasa. Pasti Bela
sangat menyenangkan,” jawab Erik lalu menghela nafas dan bangkit dari duduknya
untuk membawa kertas dan buku juga peralatan tulis yang Heny berikan padanya. “Terimakasih,
aku akan mencoba menulis untukmu, semoga ini akan membaik.”
Heny
mengangguk lalu menghela nafas dengan berat. Alan terobsesi dengan Damian
hingga menghalalkan segala cara bahkan Luis menjadi korbannya, sekarang Erik
juga terobsesi pada apa yang menjadi milik Luis. Padahal semua orang dapat
melihat dengan jelas kalau Luis sudah kehilangan semuanya bahkan rumah sakit
yang di besarkan ayahnya juga di rebut hingga ia hanya memiliki kios ruko untuk
pet shop pun tetap ingin di hancurkan lebih lagi. Heny tak habis pikir melihat
semua ini.
“Kelas
atas…” gumamnya sembari berjalan kembali ke ruangannya.
***
Luis masih
berkutat dengan cincin yang ia beli, dan sekarang karena ia terburu-buru Luis
jadi membeli jas hujan untuk melindungi buket bunganya agar selamat sampai
kios. Namun begitu Luis sampai ia melihat ada mobil milik Stiven terparkir di
depan kiosnya. Benar saja begitu ia masuk ia melihat Stiven yang mengobrol
dengan Bela dan meskipun disana Stiven mengajak temannya Luis tetap terbakar
cemburu.
“Ah itu
Luis,” ucap Bela menyambut Luis.
Stiven
langsung menoleh ke belakang dan melihat Luis yang tinggi terlihat begitu
familiar dan misterius di balik jas hujan hitamnya. Begitu menyeramkan hingga
Stiven sedikit gemetar melihatnya. Stiven tak asing dengan penampilan Luis ini,
tapi ia tak ingat dimana melihatnya.
“Aku
membelikanmu ini,” ucap Luis lalu melepas jas hujannya dan memberikan bunga
yang ia sembunyikan di dalam jas hujannya.
Bela
langsung tersenyum sumringah menerima bunga dari Luis. “Terimakasih…” lirih
Bela yang sudah begitu terharu hanya dengan di beri bunga.
Ema, teman
Stiven yang melihat betapa romantisnya Luis pada Bela ikut senang melihatnya.
Belum lagi ketika Luis menunjukkan cincin yang ia beli dan berlutut di depan
Bela meskipun pada akhirnya Bela menahannya dan langsung menerima lamarannya,
tentu saja. Momen itu begitu romantis, tapi Stiven melihat Luis dengan curiga.
Penampilan tadi begitu familiar dimatanya, pria bertubuh jangkung dengan jaket
hitam. Hanya saja kali ini terlihat familiar karena jas hujan hitamnya.
Sama-sama
hitam, hanya itu yang membuat familiar. Harusnya Stiven tak curiga sampai
sedalam dan sejauh ini. Mengingat hitam adalah warna yang begitu populer. Saat
ia melihat keluar juga banyak orang yang lewat dengan jas hujan berwarna hitam,
ada juga warna-warna lain seperti biru, pink, coklat atau abu-abu. Ini mungkin
hanya kebetulan saja, pikir Stiven yang enggan curiga berkepanjangan.
“Ah iya dr.
Stiven juga tinggal di apartemen yang sama denganku, tapi aku pindah,” ucap
Bela yang berbincang dengan ramah bersama Ema yang hendak menitipkan anjing
peliharaannya disana mulai besok.
“Tapi
sekarang Bela tinggal bersamaku, kami akan segera menikah,” Luis menambahi
bermaksud agar Stiven mendengarnya betapa jelas menunjukkan jika Bela miliknya.
“Ahaha
jelas, aku baru melihatmu melamarnya. Tentu kalian akan segera menikah,” saut Ema
menanggapi Luis dan Bela. “Omong-omong berapa nomor apartemenmu dulu? Aku
sering keapartemen dr. Stiven untuk menitipkan Ciko,” tanya Ema sambil mengusap
kepala anjing mini pom yang ia berinama Ciko itu.
“307,” saut
Luis cepat.
Bela dan
Stiven kompak menatap Luis dengan kaget. Bela tak merasa pernah memberitau Luis
dimana ia tinggal dan di nomor berapa apartemennya. Sementara Stiven kaget dan
yakin jika memang Luis pria jangkung dengan jaket hitam yang ia lihat
sebelumnya.
“A-aku
belum pernah memberitaumu soal apartemenku, kan?” ucap Bela gugup yang semakin
menguatkan dugaan Stiven.
“Memang,”
jawab Luis santai. “Tapi aku membantumu mengurus surat-surat berkas setelah
ayahmu meninggal. Jadi aku tau semuanya,” lanjut Luis yang kini jadi terdengar
masuk akal.
Bela
langsung bernafas lega dan mengangguk percaya dengan apa yang Luis katakan.
Ingatan Bela cukup kacau sejujurnya ditambah lagi ia tak mau ambil pusing. Luis
baik padanya dan sebentar lagi akan menjadi suaminya, tak perlulah ia
memperdebatkan hal bodoh seperti itu.
“Kalau dr.
Stiven di nomor berapa?” tanya Luis dengan ramah.
Stiven
langsung panik, ingin rasanya ia membungkam Ema dan menariknya pergi dari sana
sekarang. Tapi jaraknya dari Luis begitu dekat, dan temannya yang jauh berada
di samping Bela yang sedang menunjukkan dimana Ciko akan bermain saat di
titipkan nanti.
“312,”
jawab Ema dengan cepat dan santai tanpa beban.
Luis
tersenyum sambil mengangguk. “Disana sempit, tidak ada CCTVnya, tempatnya juga
lembab, pilihan tepat…” Luis menahan ucapannya lalu menatap Stiven sejenak.
“Untuk menitipkan Ciko disini, pasti Ciko senang. Disini luas, dia bisa
berlari…” Luis kembali menatap Stiven kini sambil tersenyum. “Dengan bebas, ada
banyak teman baru juga untuknya nanti,” ucap Luis lalu mengikuti Bela
menunjukkan tempat penitipan dan memamerkan beberapa mainan yang bisa di
gunakan bersama oleh para anjing dan kucing disana.
Stiven
benar-benar berkeringat dingin sekarang. Nyawanya terasa ada ditangan Luis,
terlebih setelah tempat tinggalnya ketauan. Apartemennya yang kumuh dan hanya
memasang CCTV di loby masuk dan tempat parkir sulit di andalkan, apalagi disana
juga kerap tak berfungsi atau malah sering sengaja di matikan CCTVnya karena di
nilai terlalu boros listrik dan memakan banyak memori. Selain itu ada atau
tidak CCTV juga tak berpengaruh terlalu signifikan.
Puas
melihat-lihat, Stiven langsung ingin pulang. Sekarang Stiven merasa jika
keputusannya untuk mengkhawatirkan Bela adalah hal terburuk dalam hidupnya.
Kondisinya berputar 180⁰, Stiven juga
makin khawatir jika Bela bercerita pada Luis jika ia menawari untuk magang di
rumah sakit tempatnya bekerja juga sekarang. Meskipun Stiven tak yakin dengan
apa yang dilakukan Luis di gedung apartemennya, tapi mengingat Ayah Bela yang
meninggal setelah Bela dekat dengan Luis.
“Kau tau,
kurasa temanmu itu sangat beruntung. Kau lihat tadi betapa tampannya dr. Luis,
dia juga lembut dan romantis, oh yaampun! Aku iri padanya,” ucap Ema yang
langsung jatuh hati terpesona oleh pembawaan Luis yang ramah dan hangat.
“Diam! Kau
tidak benar-benar mengenalnya! Lancang sekali mulutmu menyebutkan dimana aku
tinggal!” bentak Stiven tak dapat menahan emosinya juga kepanikan dan
ketakutannya sekarang.
“Loh
kenapa? B-bu-bukankah katamu kau dekat dengan Bela dan dr. Luis? K-ke-kenapa?
Apa salahku?” tanya Ema yang kaget dengan respon Stiven yang begitu marah
padanya padahal ia tak merasa salah bicara apapun. dr. Luis dekat dengan
Stiven, Stiven juga yang menyebar brosur dan pernah cerita jika pernah bekerja
di rumah sakit yang dikelola keluarga Luis, tadi juga Luis berkata soal
apartemen Bela. Jadi harusnya wajar jika Luis menanyakan pertanyaan dimana
Stiven tinggal dan jawaban spontannya.