Bab 20 – Erik
Luis
melihat Erik yang duduk sembari menatap keluar jendela dengan tatapan kosong.
Sarapannya baru habis setengahnya. Tak ada menu makanan khusus tentunya, ini
bangsal jiwa bukan penyakit fisik. Tak ada pantangan makanan dan tak terlalu
memerlukan ahli gizi dalam menentukan menunya. Luis menghela nafas beberapa
kali, rasanya seperti kembali mengingat traumanya kembali. Seperti melihat
dirinya sendiri sebelum bertemu Bela.
“Buah,”
ucap Luis mengejutkan Erik yang langsung menoleh padanya.
Erik hanya
menatapnya sejenak lalu kembali melanjutkan makannya.
“Bulan
depan aku menikah,” ucap Luis lalu duduk di tempat tidur Erik.
“Dengan
Bela?” tebak Erik yang di angguki Luis.
Erik
terdiam cukup lama setelahnya. Ia gagal melakukan oprasi, karirnya kacau,
popularitasnya yang langsung merosot jauh, bahkan sekarang sekedar suport
system pun ia juga tak punya. Sejujurnya Erik begitu iri pada Luis yang
bisa memiliki pasangan dan menata hidupnya lagi.
“Aku
berencana segera memiliki anak, Bela juga tak masalah dengan itu.” Luis
melanjutkan ceritanya lalu menghela nafas panjang. “Kau tau, kesalahanmu saat
melakukan oprasi waktu itu…” Luis menatap Erik yang langsung terdiam kaku
mengingat insiden di ruang oprasi. “Bela tidak memiliki keluarga lagi selain
ayahnya, yang jadi kelinci percobaanmu itu. Dia sebatang kara. Betapa malangnya
gadis itu bahkan di pecat setelah kerjanya yang begitu bagus dan rajin disini.
Kau tau dulu Bela sering menggantikan sift magang perawat lain agar bisa kerja
lembur? Dia perlu banyak uang, dia hanya tinggal bersama ayahnya, dia tulang
punggung.”
Erik
menatap Luis dengan pandangan tak percaya. Ia memang menyukai Bela tapi ia tak
menyangka jika Bela ada dalam posisi seburuk itu.
“Ia tak
mengenal keluarga yang lain, hari itu dimana ia menulur waktu sebenarnya dia
sedang mencari bantuan keuangan, dia menelfon keluarganya siapapun itu yang ada
di ponsel ayahnya. Tapi tak ada yang merespon. Akhirnya dia menggadaikan
apartemennya dan kalian menyalahkan Bela karena tak kunjung memberi keputusan
untuk tindakan,” Luis menghela nafas sembari memasang wajah sedih menceritakan
kondisi Bela.
Erik
menundukkan pandangannya lalu menatap keluar jendela.
“Bela juga
sengaja memilih kremasi, karena konpensasi dari rumah sakit hanya cukup untuk
itu. Kejam sekali, kan?” Luis menghela nafas lalu menatap Erik. “Kemarin aku
meminta izin menjengukmu pada Bela, ia menyuruhku untuk membawakanmu sesuatu.
Katanya itu akan membuatmu cepat pulih, lihat betapa murni hatinya memaafkan
pembunuh sepertimu,” lanjut Luis yang terus menyeret Erik dalam rasa
bersalahnya.
“L-lalu
Bela…bagaimana kondisinya selama ini? A-aku melihatnya bahagia bersamamu…”
Luis
tersenyum lalu mengangguk pelan. “Tentu bahagia, tapi saat malam tiba…kau tak
pernah melihatnya, kan? Melihat tangisnya, melihat kebingungannya, melihat
ketakutan dalam benaknya. Aku berusaha keras membuatnya bahagia lalu kau datang
memaksanya bicara, badannya gemetar ketakutan setelah kau pergi,” ucap Luis
yang terus membawa Erik dalam penyesalannya.
“A-aku
harus apa? Bagaimana ini…” suara Erik mulai gemetar ia begitu menyesal.
“Apanya
yang bagaimana? Jadilah dirimu sendiri seperti biasanya, bukankah ayahmu akan
menutupi segala kecacatanmu? Stiven tak bersalahpun juga kena imbasnya, Bela
yang jadi korban juga di singkirkan? Tidak perlu khawatir, kau tetap orang
suci…Erik…Erik yang suci,” ucap Luis lalu bangkit dari duduknya untuk menepuk
bahu Erik seolah memberinya semangat namun penuh akan tekanan di dalamnya.
Erik
menatap pantulan dirinya di kaca jendelanya. Dari awal ia memang tak memiliki
bakat menjadi dokter. Kalau bukan paksaan dari ayahnya mungkin ia juga tak bisa
sampai sejauh ini.
“Aku akan
tetap mengundangmu di acara pernikahanku, Bela mungkin mengizinkan. Dia tak
pernah bisa menolak apapun, ah lagian dia kan sebatang kara. Tak punya pilihan,
tak memiliki orang yang dapat melindunginya, memang apa yang perlu di takuti.
Bukan begitu?”
Erik
menggelengkan kepalanya pelan. “A-apa aku bisa menggantikanmu? Aku ingin
berguna untuknya…” rengek Erik dengan suara bergetar yang membuat rahang Luis
mengencang dan sukses membakar cemburu juga emosinya.
“Apa kau
sudi menikahi pria yang membunuh ayahmu?” tanya Luis lalu kembali menepuk bahu
Erik dan meninggalkannya sendiri diruangannya.
“Tapi aku
mencintainya!” teriak Erik yang menahan langkah Luis.
Luis
langsung berbalik dan kembali masuk ke ruangan Erik. “Kalau kau mencintainya
kau tidak akan membunuh ayahnya. Coba tanyakan pada dirimu, kau mencintai Bela
atau hanya sekedar ingin merebut milikku?” ucap Luis lalu pergi sebelum ia
lepas kendali dan rencananya berantakan, ia tak mau terpancing oleh keadaan
maupun provokasi yang Erik berikan padanya.
***
Bela duduk
menunggu di kios bersama Rey yang sibuk memaksa hewan-hewan yang di titipkan
untuk di timbang. Entah sudah berapa kali Rey di cakar kucing-kucing yang ada
disana atau anjing yang tiba-tiba berlari tak karuan. Bela hanya tertawa kecil
melihat Rey yang kewalahan sembari sesekali masuk dan membantu lalu keluar lagi
untuk menjaga kasir sampai tiba-tiba ia melihat Ema yang datang membawa Ciko
yang sudah terbujur kaku dan mengeluarkan bau busuk.
“Tolong!
Tolong selamatkan Ciko!” ucap Ema sambil menangis meminta tolong.
Rey
langsung keluar dari ruangan penitipan. Jelas ia hanya bisa diam melihat mayat
anjing mini pom yang sudah membusuk itu. Ema menangis begitu histeris sementara
Stiven tampak menyusul dengan wajah paniknya.
“Harusnya
aku tidak menitipkan Ciko di rumahmu! Harusnya kau bilang kalau ibumu tidak
suka pada Ciko! Harusnya kau bilang kalau keberatan!” bentak Ema meluapkan
segala kemarahannya pada Stiven sambil memukulinya dengan seluruh tenaga yang
ia punya.
“Ema
dengarkan aku…”
“Apa yang
harus kudengarkan?! Kau memintaku mengeluarkan Ciko dari sini! Lihat ini
jadinya!” Ema benar-benar marah meskipun airmatanya berlinangan.
Luis yang
baru pulang dari rumah sakit dengan membawa piza untuk makan siang di kios
cukup terkejut melihat ada Stiven dan Ema yang sedang bertengkar hingga
suaranya terdengar keluar. Hari ini cukup melelahkan dan menguras emosi bagi
Luis setelah bertemu dengan Erik. Ia hanya ingin segera memeluk Bela dan makan
siang bersama. Tapi begitu ia masuk ia mendengar Ema yang menangis sambil
memukuli Stiven yang membuatnya cukup kesal kalau saja Bela tak segera
menghampirinya dan menariknya masuk.
“Ada apa?”
tanya Luis bingung.
“Ciko
mati,” bisik Bela lalu bersembunyi di balik etalase.
Luis
memberikan piza yang ia beli agar Bela bisa pergi ke dapur tanpa harus mengurus
masalah ini.
“Kalau kau
tidak menghasutku, tidak menceritakan hal buruk soal dr. Luis, Ciko pasti masih
hidup. Ciko pasti masih sehat seperti yang lainnya!” teriak Ema dengan kesal
pada Stiven.
“Aku?”
tanya Luis kaget tiba-tiba namanya jadi ikut terseret.
Stiven
menatap Luis dengan panik dan bersalah, sementara Ema yang sudah kelewat emosi
dan sudah tak peduli lagi dengan Stiven langsung mengibaskan tangannya yang
coba di tarik Stiven untuk menjauh dari sana.
***
“Permisi
paket!” suara pengantar makanan anjing yang baru sampai ke rumah Stiven
terdengar dari luar mengetuk pintu setelah memencet bel dan tak mendapat
sautan.
“Iya
sebentar…” saut Deby yang berjalan keluar.
“Ini dog
foodnya, ada wet food dan dry foodnya,” ucap si pengantar lalu memfoto paket
yang sudah di terima Deby.
Deby
menerima paketnya dengan bingung dan heran mengingat Ciko sudah mati dan
paketnya masih saja datang.
“Hah,
bahkan anjing itu lebih di perhatikan dari aku. Aku saja tidak pernah dapat
kiriman makanan!” keluh Deby lalu meletakkan makanan anjing milik Ciko di atas
kandang begitu saja tanpa mengecek apa-apa.