0
Home  ›  Chapter  ›  Poison

Bab 09 – Pemakaman

 

Bab 09 – Pemakaman-1

Luis melihat kamarnya yang sudah rapi, Bela pasti sudah masuk tadi. Luis tak masalah dengan hal itu. Tak berapa lama setelah ia mendengar pintu gerbang tertutup, Luis langsung pergi ke mobilnya. Membuka bagasinya lalu buru-buru mengambil pakaiannya yang tadi ia kenakan dan membakarnya. Tak cukup hanya membakarnya saja, begitu sudah tersisa abunya Luis masih memungutinya dan mengumpulkannya jadi satu di dalam plastik sebelum membawanya pergi setelah merapikan halaman belakangnya kembali.

Setelah merasa semua tak mengundang kecurigaan terutama dari Bela. Luis langsung pergi berkendara membeli bunga hingga sampai melewati jembatan dan menepi di tengah-tengah untuk membung abu dan sampahnya sembari berpura-pura sedang melepaskan abu jenazah lengkap dengan acara tabur bunganya. Merasa semua sudah cukup bersih, Luis langsung pergi dari sana dan langsung kembali ke rumahnya untuk membersihkan tubuhnya juga kembali fokus pada kegiatan sebelumnya, belajar dan merancang bisnis barunya.

***

Bela masuk ke apartemennya yang begitu kacau untuk mengambil surat-surat berharga dan beberaa barangnya yang ia rasa penting. Lalu merapikan segala kekacauan yang ada disana terlebih dahulu sebelum ia pergi dan mungkin tidak akan kembali lagi kesana. Setelah semua beres Bela baru pergi ke rumah sakit.

“Bela!” seru Stiven yang langsung menyambut kedatangan Bela dan menariknya pergi menemui ayahnya yang sudah menunggu kedatangannya sedari tadi.

“Maaf aku lama, aku mencarikan biayanya…” lirih Bela berusaha mencari alasan kenapa ia tak kunjung datang.

“Ya ampun Bela, jika hanya soal uang kita bisa pikirkan bersama. Harusnya kau bilang, ayahmu sudah sangat kritis,” ucap Stiven dengan cemas dan khawatir sedari tadi menunggu kedatangan Bela.

“Maaf…” Bela menundukkan pandangannya.

“Tidak ada dokter lain…” ucap Erik yang datang memberitau jika hanya ada ia dan Stiven dokter yang bisa melakukan prosedur oprasi darurat kali ini.

“Aku tidak bisa, izinku praktek dicabut.” Stiven langsung mengingatkan.

Erik memejamkan matanya dalam-dalam, ucapan sarkas Luis yang begitu satir menyindir kemampuannya sebagai dokter kembali teringiang di telinganya. Erik tau ia tak mahir dengan pisau bedahnya, tapi egonya sebagai seorang pria merasa begitu tertantang. Demi memperbaiki harga dirinya dan menjadi pembuktian jika ia layak dan mempu menjadi dokter sungguhan.

Maka dengan tarikan nafasnya yang begitu panjang, ia memutuskan untuk mengambil jalan nekatnya. “Aku yang akan melakukannya!” ucap Erik tegas.

Bela membelalakkan matanya, habis sudah kesempatannya untuk melihat ayahnya sekarat. Hilang sudah kesempatan satu-satunya untuk membunuh ayahnya. Tapi dengan berat hati Bela menganggukkan kepalanya.

Baca juga 29. Vol. 3 : Chapter 12

Stiven dan Erik langsung bersiap. Stiven membantu menyiapkan semua peralatan bersama beberapa perawat. Sementara Bela di tinggal sendirian menghadapi ayahnya sembari mencoba memasangkan infus.

“Maaf tapi aku sudah lelah…Ayah…” bisik Bela sebelum memberikan suntikan berisi udara pada ayahnya.

***

Bela duduk dengan pandangan kosong di dekat ruang oprasi. Perasaannya begitu campur aduk, ia sudah membunuh Ayahnya, kondisinya jelas pasti akan memburuk dengan atau tanpa oprasi terlebih ia juga sudah enggan mengusahakan apapun untuk Ayahnya lagi. Ada penyesalan, ada rasa marah, ada rasa lega yang akhirnya ia rasakan. Meskipun apa yang Bela rasakan berbanding terbalik dengan Erik dan Stiven yang sedang mengusahakan yang terbaik di dalam.

“Bela?” ucap Luis begitu Bela mengangkat telfonnya.

“L-Luis…” panggil Bela dengan suara bergetar menahan tangisnya.

“Bela ada apa?” tanya Luis kaget dan cemas mendengar suara Bela yang bergetar di ujung sana. “Kau dimana?” tanya Luis lagi yang siap menyusul Bela.

“Luis aku takut…” hanya itu yang dapat Bela katakan sebelum mulai menangis.

“Kau masih di rumah sakit? Aku akan menyusulmu sekarang! Tunggu aku!” ucap Luis yang langsung tancap gas ke rumah sakit untuk menemui Bela.

Luis tak bisa menebak apa yang terjadi sekarang. Ia sudah memancing Erik untuk melakukan oprasi dan sekarang Bela menangis. Begitu banyak spekulasi berseliweran di kepalanya hingga ia ketakutan sendiri jika Bela ternyata tak ingin menghabisi Ayahnya dan ucapannya saat itu hanya sebatas karena emosi saja.

“Bela…” gumam Luis lalu berlari menuju ruang oprasi begitu sampai di rumah sakit dengan khawatir. “Bela!” panggilnya sedikit berteriak dan langsung mendekap Bela yang menangis di depan ruang  oprasi.

“Ayahku…” ucap Bela disela tangisnya sambil memeluk Luis.

Baca juga 28. Vol.3 : Chapter 11

Luis hanya mengangguk lalu memangku Bela sembari terus memeluknya dengan erat. Membiarkan gadis malang yang terus menerima kemarahan ayahnya itu menumpahkan segala kesedihannya. Menumpahkan airmatanya yang selama ini ia tahan dan ia pendam sendiri.

Pertama kali setelah sekian lama mengenal Bela, baru kali ini Luis bisa merasakan betapa rapuhnya gadis itu. Bukan hanya perasaannya saja, tapi juga tubuhnya. Begitu kurus, begitu banyak luka, begitu ringkih. Luis tak bisa membayangkan betapa keras kehidupan Bela selama ini, selama menanggung hidupnya sendiri dan harus menghidupi ayahnya juga, bekerja di rumah sakit selama berjam-jam dan mau di tempatkan dimanapun, asupannya yang tak terurus.

“Bela…” panggil Stiven yang keluar dari ruang oprasi bersama dengan perawat yang tampak murung.

Bela menatap Stiven dengan mata yang sudah tak bisa menahan tangisnya.

“Oprasinya gagal.” Stiven berkata dengan begitu hati-hati.

Bela hanya diam lalu terhuyung-huyung masuk ke ruang oprasi untuk memastikan kondisi Ayahnya benar-benar mati. Begitu Bela masuk ia langsung melihat Erik yang menangis di samping jasad Ayahnya yang sudah tak berdaya dengan segala penyesalan atas ke gagalannya. Bela terus mendekat, ada rasa takut di benaknya meskipun Ayahnya sudah mati dan tak bergerak lagi. Ada ketakutan jika Ayahnya hanya berpura-pura dan akan segera menjambak dan menghajarnya seperti biasanya.

“Sudah mati…” lirih Bela setelah menyentuh Ayahnya dan berjalan keluar dengan tertati dan begitu lemas.

Erik yang mendengar suara Bela hanya menatapnya dan bingung, kehabisan kata-kata harus bicara apa sekarang. Belum lagi ada Luis yang mendampingi Bela dibelakangnya. Semakin tersudutlah Erik.

“Apa kau mau menuntut rumah sakit?” tanya Luis pada Bela.

Bela menggeleng pelan. “Aku ini siapa? Kenapa aku harus melawan raksasa sebesar rumah sakit ini?” ucap Bela sambil terus melangkah tanpa arah.

Luis mengangguk paham. Ia coba memahami kondisi Bela lalu membawanya pulang. Luis kembali menoleh kebelakang, sejenak memastikan kondisi Erik. Luis paham betul bagaimana kondisi mental Erik yang sebenarnya. Ia juga tak ingin kalau Bela mengajukan tuntutan, rencananya juga tak sampai kesana.

Tidak! Bukan tak sampai kesana. Tapi memang bukan itu tujuannya. Luis ingin membalas dendam dengan caranya. Dengan cara yang sama persis dan ia ingin Alan melihat mental Erik hancur dengan cara yang sama sepertinya. Ini jauh di luar dugaan Luis, semua berjalan benar-benar lancar dan sesuai keinginannya.

***

Bela memutuskan untuk mengkremasi jasad ayahnya. Tak banyak bahkan nyaris tak ada yang datang ke pemakaman. Tak ada ucapan belasungkawa, bahkan sekedar basa-basipun tak ada. Hanya Luis, Erik, dan Stiven yang datang.

“Setelah ini aku akan mencoba magang di poli umum saja,” ucap Stiven yang masih belum patah semangat.

Luis tersenyum mendengar semangat Stiven begitu pula dengan Bela. Sementara Erik hanya diam dengan segala kesedihan dan kekecewaannya lalu pulang setelah kremasinya selesai begitu pula dengan Stiven yang langsung pulang juga.

“Sekarang bagaimana?” tanya Luis yang menerima abu jenazah Ayah Bela.

“Kita buang di laut,” jawab Bela dengan tenang.

“Sekarang?” tanya Luis memastikan.

Bela mengangguk dengan yakin, toh ia hanya ingin melanjutkan hidupnya dengan tanpa beban lagi dari Ayahnya.

39
Posting Komentar
Search
Menu
Theme
Share