Bab 25 – Demam
Luis tak
berlama-lama menghabiskan waktu bulan madu. Ucapan Bela ada benarnya juga, toh
mereka juga bisa jalan-jalan kapan saja atau bermesraan dimana saja. Selain
belum punya anak Luis juga merasa tak nyaman ada orang asing yang saling sapa
dengan Bela.
“Sayang…”
panggil Luis yang sudah bersiap harus pergi ke rumah sakit sekarang.
“Sudah
rapi,” ucap Bela lalu berjinjit untuk mengecup kening Luis.
“Aku tidak
usah ke rumah sakit saja ya,” rengek Luis karena kali ini ia akan mendatangi
rapat bersama Ayahnya jadi Bela tak bisa mendampinginya.
Bela
langsung cemberut dan memasang wajah sedihnya yang jelas langsung membuat Luis
berubah pikiran dan mau mengikuti acara kali ini.
“Iya
bercanda,” ucap Luis meringis.
“Aku tidak
bisa ke kios hari ini, badanku sedikit tidak enak,” ucap Bela lalu menempelkan
tangannya sendiri ke dahi dan lehernya.
Luis
mengerutkan keningnya lalu ikut menempelkan tangannya memeriksa suhu tubuh
Bela. “Nanti aku ke kios setelah rapat, mau di bawakan sesuatu?” tawar Luis
lalu memeluk Bela sejenak sebelum melangkah ke dapur menikmati sarapan buatan
Bela.
Bela
menggeleng pelan. “Aku hanya ingin istirahat saja, nanti kalau kondisiku tidak
membaik baru minum obat,” ucap Bela sembari meminum susunya.
Luis
mengangguk. “Kau perlu istirahat, mungkin kelelahan setelah bulan madu. Nanti
ku belikan minyak pijat, aku keren soal memijat,” ucap Luis antusias dan selalu
semangat soal memanjakan istrinya.
Bela
mengangguk sambil tersenyum.
“Kau tidak
makan?” tanya Luis yang melihat istrinya hanya minum susu sementara ia
menikmati spageti hangat.
Bela
menggeleng pelan. “Tidak selera, nanti aku juga makan kalau sudah selera,”
jawab Bela agar Luis tidak khawatir padanya.
Luis
mengerutkan keningnya ia tau ini pasti lebih dari sekedar demam. Tapi memeriksa
Bela mendalam perlu waktu, jadi ia memutuskan untuk cepat selesai makan dan
cepat berangkat agar bisa segera pulang.
“Sayang
nanti aku cepat pulang,” pamit Luis sembari mengecup kening Bela dan
mendekapnya erat. “Aku mencintaimu,” bisik Luis.
***
Bela
menjalani harinya dirumah seperti biasa. Tidur sebentar sebelum akhirnya
membereskan rumah sambil mendengarkan acara masak yang ia setel tiap pagi di
TV.
“Sup iga
ya…” gumam Bela yang tiba-tiba ingin menikmati sup iga seperti yang ada di TV.
Demamnya
sudah turun, tubuhnya sudah jauh lebih enak dari sebelumnya. Jadi Bela
memutuskan pergi belanja sebentar setelah melihat bahan-bahan di kulkas yang
sudah habis. Bela mulai mencatat belanjaan apa saja yang harus di beli lalu
bersiap pergi dengan bus.
Perjalanannya
sejauh ini menyenangkan. Karena Luis juga memberinya uang belanja bulanan untuk
rumah tangganya juga memberinya uang jajan sendiri. Bela menikmati waktunya,
yang niat awalnya hanya belanja kebutuhan dapur kini Bela juga menikmati
kue-kue di kafe lalu mampir ke toko eskrim. Bela juga mampir ke toko kosmetik.
Pokoknya ia menikmati waktunya untuk memanjakan diri.
Baru ia
pergi ke swalayan untuk belanja. Tapi baru ia menyentuh trolinya ia tak sengaja
bertemu Deby. Bela yang semula ceria dan tampak bahagia bisa belanja dan
menghabiskan waktunya sendirian kini terlihat pucat dan sedikit takut ketika
berhadapan dengan mantan tetangga apartemennya itu.
“Eh Bela!”
sapa Deby dengan ramah karena mendengar kabar jika Bela menikah dengan seorang
dokter.
Bela
membalas dengan senyuman saja. Tangannya yang semula terulur untuk mengambil
troli kini ia tarik kembali.
“Sekarang
Bela kalau belanja sudah pakai troli ya? Ku dengar kau menikahi pria kaya,”
ucap Deby memulai pembicaraan yang begitu menohok bagi Bela yang hanya bisa
meringis menanggapinya. “Bajumu juga bagus, sekarang sudah gemuk, bagaimana
caramu memikat suamimu itu?” Deby kembali mencecar Bela.
Bela begitu
gemetar mendengar tiap cecaran pertanyaan Deby.
“Ngomong-ngomong
kau mau belanja apa?” tanya Deby yang akhirnya ada satu pertanyaan yang bisa di
jawab Bela.
“I-iga…a-aku
mau membuat sup iga…” jawab Bela lirih.
“Ow,” Deby
mengangguk lalu tersenyum. “Kau sudah pernah mencobanya kan sebelumnya? Kau
bisa memasak, kan? Itu mahal, jangan dibuat percobaan,” ucap Deby yang masih
saja memandang rendah Bela dan meragukannya.
Bela
terdiam matanya mulai berkaca-kaca.
“Eh tapi
tidak masalah ya sekarang, kan Bela sudah kaya,” ucap Deby lagi lalu memandangi
Bela dari atas kebawah. “Pasti suamimu sudah tua ya?” tanya Deby yang membuat
alis bela berkerut. “Kalau dokter muda mana ada yang mau menikah dengan wanita
sepertimu, miskin, bau, tidak jelas,” lalu tiba-tiba Deby tertawa setelah
mengejek Bela. “Kau ingat dulu kau selalu kacau, bau nanah, bau tai, ayahmu
juga, ibumu juga. Aku ingat kalian bahkan tidak pernah makan enak ya? Ya ampun
kau bahkan pernah makan makanan yang ku buang,” Deby mengingat masalalunya
sambil tertawa. “Syukurlah ada pria yang sudi denganmu, aku senang. Untung
bukan anakku yang jatuh hati padamu,” lanjutnya yang membuat airmata Bela
menetes begitu saja dan membuatnya memutuskan untuk pergi menjauh dari swalayan
sementara Deby melanjutkan aktivitasnya berbelanja.
Deby
berjalan seolah tak terjadi apa-apa. Bela yang semula ingin bepergian dengan
bus sekarang jadi memilih naik taxi. Ia ingin cepat pulang dan menangis
sepuasnya di kamar tanpa ada yang mengganggu. Seleranya untuk makan sup iga
juga sudah hilang, semangatnya untuk belanja juga hilang padahal ia sudah
mencatat semuanya.
***
Luis
melihat GPS di ponselnya. Mengamati pergerakan Bela yang pergi dari rumah,
mampir ke toko kue, mampir lagi ke toko eskrim, mampir juga ke toko kosmetik
sebelum akhirnya di swalayan. Luis sudah membayangkan Bela yang akan banyak
bercerita tentang harinya yang menyenangkan. Luis jadi bisa sedikit santai dan
tidak terburu-buru pulang. Chanel TV di rumah juga terakhir di jam 10 seputar
masak-masak. Luis juga mengamati dari CCTV yang terhubung di ponselnya melihat
Bela yang mencatat belanjaan sebelumnya. Sudah jelas ini akan jadi hari yang
indah untuk istrinya itu.
Luis memang
sengaja mengamati Bela hingga sejauh itu. Memasang GPS di ponselnya, juga
memasang CCTV di seluruh penjuru rumah, bahkan entah ini sudah berlebihan atau
tidak tapi Luis bahkan mengontrol apa yang Bela tonton tiap harinya. Luis tak
cukup hanya dengan laporan email dari bank soal transaksi apa saja yang di
gunakan istrinya. Luis ingin tau lebih.
“Aku
bingung harus mempromosikan diriku bagaimana, aku sudah jelas pasti akan kalah
dari anak direktur. Ini Erik loh lawanku, anak Paman Alan, aku hanya bisa
pasrah saja,” ucap Luis merendah dihadapan para dokter dan karyawan rumah sakit
yang menahan ketidak sukaannya pada kepemimpinan Alan.
“Jangan
merendah begitu…”
“Ah dr.
Stiven juga ada disini rupanya,” sapa Luis dengan ramah begitu melihat Stiven.
“Kudengar dr. Stiven sekarang berjaga di bangsal anak ya? Menggantikan dr.
Erik?” lanjut Luis dengan senyum manisnya yang terlihat begitu hangat.
Seketika
semua mata langsung tertuju pada Stiven. Semua orang tau kejadian saat
malpraktik yang Erik lakukan. Ada Stiven disana, jelas jika Stiven dan Erik
punya kedekatan. Bahkan hanya dengan ucapan Luis tadi rasanya semua orang sudah
bisa menyimpulkan.
“Dulu
istriku juga bekerja disini, perawat magang, dia rajin tapi dipecat. Tidak ada
pemanggilan lagi…”
“Bela, ya?”
tebak suster kepala menyela yang langsung di angguki Luis dengan senyum yang
mengembang di bibirnya.
“Coba saja
dr. Stiven berbagi sedikit tips agar istriku juga bisa dipanggil, pasti
menyenangkan ya,” lanjut Luis lalu berjalan mendekat pada Stiven di iringi tawa
karirnya sebelum ia menepuk bahu Stiven dan pergi meninggalkan rumah sakit
untuk mengecek keadaan kiosnya sebentar karena akan ada beberapa calon dokter
yang magang disana.
Semua orang
seketika mendiamkan Stiven, memperlakukannya seolah ia tak terlihat. Tak ada
yang mau bicara dengannya, bahkan cenderung menghindarinya. Para perawat yang
seangkatan dengan Bela dan kini sudah jadi perawat tetap juga menatap Stiven
dengan kesal. Bela memang hanya magang saat itu, tapi semua orang tau betapa
tinggi dedikasinya dan betapa ringannya Bela membantu semua orang.
“Kasihan
Bela…” celetuk orang-orang sembari menatap Stiven sinis.
“Aku ikut
senang dr. Luis menikah dengan Bela,” saut yang lain.
“Apa dr.
Luis akan praktek lagi?” tanya yang lain saling saut dalam bergosip.
“Ku dengar
tidak, dia hanya akan mengurus manajemennya saja. Ku dengar tangannya masih
gemetaraan saat memehang suntikan, tentu saja dia tak berani praktek lagi.”
“Dia dokter
yang tau diri ya…”
Dan begitu
banyak obrolan yang bersautan soal Luis yang dipuja bagai malaikat penyelamat
oleh semua orang. Luis menjadi pangeran yang sudah lama di tunggu kehadirannya.
Bahkan masih banyak yang memuji ketampanannya dan kharismanya.
“Menurutku
dr. Luis tidak sebaik itu,” ucap Stiven bergumam cukup keras.
“Lihat
pasti dia dibayar mahal untuk menjatuhkan dr. Luis,” komentar yang lain lalu
meninggalkan Stiven begitu saja.