Bab 04 – Pulang
Bela
kedinginan, kelaparan, kakinya terpincang-pincang berusaha mencari bantuan
untuk dirinya sendiri saat ibunya sedang sibuk bekerja menjadi buruh pabrik. Tak
satupun tetangganya sudi membukakan pintu rumahnya. Bela kecil sadar ia tidak
di inginkan, ia juga tidak berharap di ijinkan masuk. Ia hanya ingin mendapat
sedikit makanan saja atau apa saja yang bisa membantunya. Namun semua terlalu
egois untuk sedikit peduli pada Bela.
“Aku ingin
semua orang mati, aku selalu membayangkan mereka semua bisa mati dan tidak ada
yang tau penyebabnya. Tidak ada yang tau siapa pelakunya. Aku ingin mereka
semua merasakan kepedihanku,” ucap Bela dengan airmata yang mulai terurai.
Daripada
dendam sejujurnya Luis dapat melihat betapa sedih dan pedihnya kehidupan Bela.
Entah apa yang sudah dilalui gadis malang itu hingga jadi seperti ini.
“Ah aku
jadi terlihat jahat kalau seperti ini, aku tidak boleh berpikir seperti ini
kalau mau jadi perawat,” keluh Bela menarik keinginannya kembali.
Luis
tersenyum mendengarnya. “Apa hari ini kau jaga?” tanya Luis.
Bela
menggelengkan kepalanya. “Minggu ini aku berjaga saat pagi hingga sore. Aku
hanya mampir saja,” jawab Bela lalu tersenyum.
Luis
mengangguk lalu melanjutkan makannya. “Apa kau suka pekerjaanmu sekarang?”
tanya Luis lagi lalu menyodorkan cup mi instannya yang sudah habis.
Bela
langsung mengangguk dengan cepat. “Ini tempat yang paling ku sukai,” jawab Bela
sambil merapikan bekas makannya dan bersiap keluar untuk pulang.
***
Bela duduk
menunggu bus seorang diri di halte. Ia sudah kembali suram dan murung kembali. Bela
merasa waktunya pulang terlalu cepat. Ia sudah muak harus mengurus ayahnya yang
tak pernah berterimakasih padanya. Jangankan berterimakasih, sedikit berkata
lembut dan bersikap baik pun tidak. Rasanya Bela ingin menangis.
Pluk!
Sebuah yoyo tiba-tiba menggelinding dan dengan tak sengaja tertahan di kaki
Bela. Bela langsung mengambil yoyo itu lalu mengangkat kepalanya mendapati
seorang pria berdiri di hadapannya tampak terengah-engah mengejar yoyonya.
“Ah,
syukurlah kau bisa menangkapnya!” seru pria itu merasa begitu bersyukur lalu
mengambil yoyonya.
Bela
tersenyum mendengarnya. Ini kali pertama ada orang yang menyukuri kehadirannya.
Bela tersanjung mendengar ucapan pria itu.
“Wah! Apa
kau bekerja di rumah sakit itu juga?” tanyanya yang langsung antusias.
Bela
mengangguk. “Masih magang,” jawab Bela sambil tersenyum.
“Aku juga!
Aku masih magang di bangsal anak,” jawabnya dengan begitu ceria.
“Oh ya?
Siapa namamu?” tanya Bela lalu mengulurkan tangannya.
“Erik…”
“Bela…”
Keduanya
berjabat tangan lalu tersenyum.
“Aku duluan
ya, aku harus menjenguk sepupuku,” ucap Erik lalu melangkah pergi kembali ke
rumah sakit kembali.
Bela
tersenyum lalu melambaikan tangannya sejenak. Bela merasa rumah sakit adalah
tempat terbaiknya saat ini. Ia aman, tidak ada yang memukulnya, ia juga bertemu
banyak orang baik, dan juga ia bisa bertemu Luis yang begitu perhatian meskipun
pendiam.
***
“Kak…” Erik
melangkah masuk kedalam ruangan Luis.
Luis tidak
ada didalam. Erik kembali keluar mencari Luis dan menemukannya sedang berlari
di atas trademill. Erik yang semula tersenyum sumringah hendak bercerita
soal magangnya di bangsal anak perlahan memudar.
“Sejak Tuan
Luis punya teman dia mulai menunjukkan progres positif,” ucap seorang perawat
yang tiba-tiba mendekat pada Erik.
Erik
langsung tersenyum dengan ramah. “Senangnya mendengar kabar Kak Luis,” ucapnya
dengan ceria.
“Mau menemuinya?”
tawar si perawat dengan ramah.
Erik
langsung menggeleng sambil tersenyum sungkan. “Tidak, tidak usah. Aku hanya
ingin melihat kondisinya saja.”
Erik
langsung pergi begitu Luis melihat kehadirannya. Tangan Erik sudah terkepal begitu
erat dan berlari pergi begitu saja meninggalkan Luis di bangsal Jiwa.
“Dia sebentar
lagi pulih…” gumam Erik yang mulai bergelut dengan pikirannya sendiri.
***
Bela menghela
nafas menguatkan dirinya sebelum masuk kedalam tempat yang ia sebut sebagai
rumah itu. Beberapa kali ia meremas tangannya sendiri untuk merapikan apartemennya
yang berantakan dan bau pesing itu.
“Lama
sekali!” geram Ayah Bela dengan penuh emosi berjalan tertatih-tatih hanya untuk
meraih kepala Bela dan menghantamkannya ke tembok.
Bela
menjerit kesakitan sembari mencoba menyingkirkan tangan pria jahat yang ia
panggil Ayah itu. Ia benar-benar kesakitan. Ia ingin kabur, tapi ayahnya selalu punya cara
untuk menyeretnya kembali. Bahkan di kondisinya yang sekarang ayahnya selalu
punya cara untuk memanipulasi semuanya.
“Wajah dan
tingkahmu sama menyebalkannya seperti ibumu dulu!” maki Ayah Bela setelah
melampiaskan kekesalannya tanpa alasan yang jelas. “Makan! Aku mau makan!”
teriaknya dengan arogan.
“Aku gak
punya uang buat beli makanan!” Bela balas berteriak sambil menangis.
Ayahnya
kembali datang untuk menyeret Bela ke kamar mandi dan membenamkan wajahnya di
toilet sambil menyentornya. Bela coba menahan nafasnya dan memejamkan matanya. Setelah
itu Ayahnya menyeret Bela keluar dari sana dan melemparnya keluar dari
apartemennya.
“Kalau kau
tidak pulang dengan membawa makanan, lihat saja nanti!” ancam Ayah Bela.
Bela hanya
bisa menangis lalu berjalan ke toilet umum yang ada di lantai 1. Bela membersihkan
tubuhnya sebisanya dengan sabun yang ada disana. Harinya terasa berlipat-lipat
ganda selalu makin berat dan berat setiapkali ia mencoba berbaik hati pada
ayahnya.
Bela
kembali berjalan kerumah sakit. Sesekali ia berlari kecil sembari meratapi
kehidupannya yang begitu menyedihkan. Ia terdiam cukup lama di depan rumah
sakit, ia benci pada kondisinya saat ini tapi ia juga tidak tau harus kemana.
“Bela!”
sapa Luis yang baru saja keluar lalu tertawa terbahak-bahak begitu Bela menoleh
padanya dengan kaget.
“Dokter!”
seru Bela dengan senyum sumringah di wajahnya.
Luis
menunjukkan barang bawaannya, sebuah makanan hangat yang masih tercium
harumnya. “Kau sudah makan?” tanya Luis sembari berjalan masuk kedalam rumah
sakit bersama Bela yang langsung mengikutinya dengan senang hati.
“Apa yang
kau lakukan malam-malam begini? Bukannya sudah selesai kerja?” tanya Luis
sembari tersenyum ramah.
Bela jarang
melihat Luis tersenyum seramah dan seceria ini. Ia langsung menyipitkan
matanya.
“Dokter
kenapa? Terlihat berbeda…”
Luis
tertawa. “Kenapa baumu seperti pembersih lantai?” tanya Luis yang membuat Bela bersemu
menahan malu.
“A-ah…i-itu…”
“Besok aku
sudah tidak disini lagi. Aku mau pulang ke apartemenku. Ku rasa aku sudah lebih
baik sekarang.”
Bagai
disambar petir. Bela begitu terkejut mendengar kabar yang baru Luis sampaikan. Airmatanya
juga dengan lancang langsung jatuh begitu saja. Ia harusnya senang karena Luis
akhirnya bangkit dari rasa terpuruknya selama ini, ini baik sangat baik. Memang
ini progres yang di harapkan rumah sakit dan dokter yang menangani Luis juga.
Tapi saat
ini Bela masih membutuhkan Luis untuk menjadi tempatnya singgah sejenak dari masalahnya
yang begitu memuakkan. Bela masih ingin Luis ada di rumah sakit.
“Kamu bisa
mandi disini kalo mau. Aku bisa meminjami kaos dan celana pendekku. Kalo mau,”
tawar Luis karena melihat betapa kacaunya Bela.
Bela langsung menyeka airmatanya dan mengangguk lalu masuk ke kamar mandi di kamar inap Luis. Luis tersenyum senang melihat Bela yang menangis karena ucapannya barusan. Ini respon yang Luis inginkan, dan Luis akan semakin dekat dengan apa yang ia mau sekarang.