0
Home  ›  Chapter  ›  Poison

Bab 22 – T61

Bab 22 – T61-1

‘Pembunuh!’ hanya itu pesan terakhir yang Ema kirimkan pada Stiven setelah bergelut dengan pikirannya dan mengambil kesimpulannya sendiri.

Semua yang ia temukan baik bukti maupun kesaksian dari Luis dan Rey merujuk padanya. Selain itu Ema juga ingat betul betapa terawat dan sehatnya Ciko saat ada dalam penanganan Luis dan Bela. Tak hanya itu saat ia mengambil mayat Ciko di rumah Stiven juga anjingnya itu tak terlihat terawat sama sekali. Bahkan ia ingat betul jika Deby bahkan tak menyadari jika Cikonya mati dan begitu cuek padanya.

“dr. Luis itu sebenarnya masih trauma, setiap aku melihatnya akan mengobati tangannya gemetar. Kasihan, padahal dulu dia dokter bedah. Dia juga pernah bilang kalau membuka tempat ini hanya agar ia bisa mengurangi stresnya karena bisa bermain dengan banyak binatang peliharaan. Dia baik,” ucap Rey yang begitu kagum pada Luis.

Ema hanya diam. Ia benar-benar menyesal dan merasa bersalah sebelumnya sempat terhasut ucapan Stiven dan membawa Ciko pergi dari penitipannya hingga berakhir tragis. Ia benar-benar tak menyangka semua Luis bahkan memiliki hati setulus malaikat seperti yang Rey ceritakan.

Semakin hari semakin lama dan sering ia mampir untuk bermain dengan hewan disana juga ia semakin tau jika Luis dan Bela sangat penyayang dan sabar. Meskipun ia harus datang dengan membuat-buat alasan tapi Luis juga tak keberatan dengan kehadirannya di kios. Bela juga tetap ramah padanya meskipun dulu saat ia mengambil paksa Ciko, Bela terlihat sedih padanya.

“Ada film bagus baru rilis, kau mau pergi ke bioskop bersamaku?” tawar Rey pada Ema karena merasa cocok dengan gadis yang belakangan menemaninya bekerja ini.

Ema diam sejenak toh ia juga tak lagi dekat dengan Stiven, tak masalah jika ia memulai hidup baru dengan Rey. Ini hanya sebatas pergi ke bioskop biasa, pikirnya lalu mengangguk. “Boleh,” ucap Ema setuju.

***

Luis memandangi Bela yang mematut diri mencoba gaun pernikahannya. Hanya ada satu gaun untuk acara yang hanya akan berlangsung beberapa jam saja itu. Bela tampak begitu anggun dalam gaun putihnya yang tak memakai terlalu banyak aksesoris dan memaksakan diri untuk tampil heboh.

“Cantik sekali,” puji Luis lalu mendekap Bela dan mencium bibirnya begitu Bela memamerkan gaun yang ia kenakan.

Bela hanya bisa tersenyum dengan wajahnya yang merona karena pujian Luis juga ciumannya yang tak peduli ada siapa saja di ruangannya saat ini.

Baca juga 29. Vol. 3 : Chapter 12

Setelah puas dengan gaunnya juga tuxedo senada yang Luis pilih agar serasi dengan calon istrinya itu. Mereka langsung pulang untuk makan siang. Bukan ke rumah Luis tapi ke rumah utama dimana Damian tinggal.

“Tuan sekarang sering membeli seafood,” bisik Andi sambil cekikikan pada Luis yang membuat Luis tersipu karena tau jika keinginannya untuk segera punya anak juga di dukung ayahnya.

“Mana Ayah?” tanya Luis sembari berjalan ke kamarnya agar Bela bisa tiduran sebentar.

“Masih di ruangannya, ada tamu dari rumah sakit,” jawab Andi lalu kembali pada tugasnya untuk mendampingi Damian begitu Luis dan Bela masuk kamar.

Bela langsung merebahkan tubuhnya lalu melebarkan tangannya untuk memeluk Luis yang langsung menempel dan bermanja padanya.

“Bela, Ayahku sudah sangat merestui hubungan kita jadi tolong jangan pernah berpaling,” ucap Luis sembari membenamkan wajahnya ditengkuk Bela dengan manja.

Bela mengangguk sambil tertawa kecil mendengar ucapan Luis yang begitu posesif padanya.

“Tuan Luis,” terdengar suara Andi dari luar sambil mengetuk pintu. “Tuan dipanggil,” lanjutnya yang membuat Luis langsung bangun.

Baca juga 28. Vol.3 : Chapter 11

“Ini pasti lama, Bela bisa makan duluan,” ucap Luis yang langsung terlihat serius setelah sebelumnya bermanja pada Bela.

“T-tapi…”

“Tolong antar makan siang ke kamar, untuk Bela saja,” ucap Luis yang paham Bela masih canggung di rumah orang tuanya sebelum pergi ke ruangan ayahnya. “Bela makan! Setelah ini kau perlu banyak energi untuk menghadapiku!” ucap Luis terdengar tegas dan nakal sekaligus.

Sesuai yang Luis katakan jika ini pasti lama, maka ini benar-benar lama. Pihak rumah sakit masih menginginkan kepemimpinan dipegang oleh Damian. Sementara Damian sudah nyaman dengan hidupnya saat ini. Hari tuanya juga terasa akan lebih menyenangkan ketika mengurus cucu nantinya yang sudah ia bayangkan belakangan ini. Mengurus rumah sakit dan membuat dirinya lebih kaya bukan sesuatu yang menggiurkan lagi baginya.

Obrolan juga menyinggung tawaran Luis agar mau kembali menjadi dokter, atau paling tidak masuk sebagai calon. Tapi Luis merasa ia sudah tidak layak, selain karena mal praktik ia juga merasa sudah begitu nyaman dengan Bela dan kesibukannya sendiri. Apalagi pet shopnya juga makin ramai dan siap untuk jadi lebih besar lagi. Usaha keluarganya diluar bisnis kesehatan juga berjalan lancar.

Luis juga tampak enggan menanggapi tawaran pencalonannya sebagai direktur rumah sakit. Meskipun akhirnya ia tetap dipaksa dalam pencalonan dan akan melawan Erik nantinya karena Alan jelas tak mau posisinya tergeser.

“Aku tidak akan berusaha keras, jangan di pilih,” ucap Luis lalu tersenyum dan undur diri duluan.

Ucapan Luis juga tak di tentang oleh Damian yang rasanya juga setuju dan lebih memilih untuk mengikuti kemauan putranya saja. Sebentar lagi Damian menjadi kakek, harapannya untuk segera memiliki cucu juga begitu besar. Keluarganya juga kembali hangat, tak ada yang ingin ia kejar dengan menggebu-gebu seperti dulu saat ia masih muda atau setidaknya seperti saat Elis masih mendampinginya.

***

Stiven merasa janggal begitu melihat ada paket untuknya yang datang ke rumah. Ia tak merasa pernah memesan barang, tapi belum sempat ia membuka paketnya tiba-tiba ia mendapat pesan dari rumah sakit yang di pimpin Alan. Perhariannya langsung teralihkan untuk membaca surat pemanggilan kembali dari rumah sakit yang selama ini menjadi rumah sakit idamannya itu.

Perhatian Stiven juga semakin teralih dengan melihat email masuk dan pesan dari rumah sakit untuk segera datang menghadap. Stiven jelas langsung bersiap bergegas datang memenuhi panggilan, sementara paket aneh yang tak pernah ia pesan itu sengaja ia simpan di laci meja belajar yang beralih fungsi menjadi meja kerjanya itu.

Ini akan menjadi langkah awalnya yang baik. Stiven yang sebelumnya merasa gagal dan kehilangan teman setelah di musuhi Ema kini kembali memiliki harapan. Ia tak mungkin selamanya hanya menjadi dokter jaga di UGD atau IGD mentok bergantian berjaga di ICU. Harapan Stiven untuk memperbaiki jenjang karirnya semakin terlihat jelas sekarang.

Tapi senyum sumringahnya perlahan surut ketika ia diminta bertemu dengan dr. Alan di bangsal jiwa. Stiven mulai meragukan dirinya kalau ia di panggil untuk bekerja atau memang karena bakatnya menjadi dokter hebat yang mulai di sadari Alan. Stiven mulai merasa jika ia ada disana sebatas karena permintaan Erik.

“Katakan saja padanya kalau kau memaafkannya dan semua akan baik-baik saja,” ucap Alan sembari meninggalkan Erik dan Stiven berdua di kamar rawat inapnya.

39
Posting Komentar
Search
Menu
Theme
Share