0
Home  ›  Chapter  ›  Poison

Bab 08 – Makan Malam

Bab 08 – Makan Malam-1


“Iya! Sebentar!” teriak Ayah Bela dari dalam apartemennya sembari berjalan dengan susah payah untuk membukakan pintu.

Bau nanah dan daging yang membusuk dari kakinya tercium begitu menyengat, menguar begitu saja. Sangat menjijikkan, kalau saja Luis bukan seorang dokter mungkin ia sudah muntah duluan sebelum berhadapan dengannya.

“Mana?” tagih Ayah Bela yang mengira jika Luis adalah tukang antar makanan seperti biasanya.

Luis hanya mengangkat alisnya lalu tersenyum dan melangkah masuk. Jelas Ayah Bela menahannya, namun Luis jauh lebih kuat darinya. Tanpa banyak bicara Luis langsung menghantamkan kepala pria paruhbaya yang terus menyiksa Bela itu.

“Kau siapa?” tanyanya dengan mata melotot antara marah dan takut pada Luis yang langsung menghantamnya.

Luis masih tersenyum lalu kembali menghantamnya beberapa kali sebelum ia memutuskan untuk pergi begitu saja tanpa berucap apapun.

***

Bela berkeliling rumah Luis, ia senang melihat tumpukan buku-buku kedokteran lama milik Luis yang tertata rapi di rak. Pakaian Luis dan aroma maskulinnya yang menyeruak nyaris di seluruh penjuru kamarnya. Begitu menenangkan dan menyenangkan bagi Bela. Namun tak henti sampai di situ saja rasa senang Bela. Senyumnya makin merekah ketika ia melihat tumpukan buku bisnis dan buku soal binatang. Sepertinya rencana Luis yang ingin membuka klinik hewan dan pet shop juga.

Ini masih di bidang yang sama dengan pekerjaan Luis sebelumnya. Sama-sama soal kesehatan, hanya saja dulu pasiennya manusia sekarang hewan. Itu saja, sesederhana itu. Resikonya mungkin akan lebih kecil, selain itu mungkin ini jalan agar Luis bisa segera melewati masa terpuruknya. Bela jadi ikut senang.

Bela berjalan kembali ke dapur, membuka isi kulkas mencari bahan makanan yang bisa ia olah. Lalu mulai memasak dengan panduan dari internet agar semakin meyakinkannya untuk menyajikan hidangan terbaik untuk Luis. Dokter kesayangannya yang kini rasanya sudah mulai saling terikat dengannya.

Namun belum lama ia memasak ponselnya berdering. Ayah, nama itu muncul di layar ponselnya dan Bela sudah langsung bergidik ngeri. Tapi tak berapa lama panggilan itu mati dan berganti dengan panggilan lain dari pengurus apartemen. Bela kembali enggan mengangkat panggilan dari siapapun itu.

Kalau ayahnya jatuh, atau mengalami hal buruk lainnya ia juga tak mau tau lagi. Ia tak peduli. Semakin buruk yang menimpa ayahnya semakin baik. Bela sudah tak peduli lagi, tak mau tau lagi. Semakin cepat mati semakin baik. Tak ada lagi yang akan memukulinya, tak ada yang memakinya, dan semua kesakitannya selama ini akan terbayar lunas.

Tapi tiba-tiba ada nomor asing menelfon Bela. Bela sudah mengira jika ini pasti akan menyangkut soal ayahnya. Bela enggan mengangkatnya, tapi jika ia pikir kembali soal kondisi ayahnya. Mungkin ia akan di cap sebagai anak durhaka.

“H-halo…” Bela mengangkat panggilan dari nomor asing itu dengan suara bergetar.

“Bela? Ini Stiven…” ucap Stiven dokter yang minggu lalu baru saja mengalami malpraktik ketika melakukan prosedur oprasi.

“D-dokter Stiven…” lirih Bela dengan gugup dan suara bergetar.

“Ayahmu perlu untuk oprasi…”

Bela tak dapat berkata-kata lagi. Ia hanya bisa diam seribu bahasa, telinganya berdenging mengingat betapa jahat ayahnya. Lalu sekarang ia harus menjalani oprasi agar umurnya panjang dan sehat kembali? Yang benar saja! Bela tak mau masuk kedalam neraka lagi.

“B-biar aku datang melihat kondisinya dulu, jangan di lakukan tindakan!” tahan Bela sebisanya agar kondisi ayahnya bisa semakin memburuk.

Baca juga 29. Vol. 3 : Chapter 12

Bela menutup panggilannya. Badannya bergetar hebat, air matanya tak dapat ia bendung lagi. Keinginannya untuk menghabisi ayahnya begitu besar, meskipun dalam ingatannya samar-samar terlukis betapa bahagianya ia dan ayahnya dulu. Sebelum ayahnya bangkrut dan jadi begitu tempramen.

“Ibu aku sudah tidak tahan…” rintih Bela yang tak bisa menahan tangisnya lagi sembari meluruh ke lantai di dapur.

Bela meluapkan segala tangisnya yang selalu ia tahan selama ini, sembari memeluk tubuhnya sendiri yang penuh memar dan luka karena ayahnya. Bela memandangi tangannya, jemarinya, kakinya, lengan dan pahanya lalu perlahan mengelus rambutnya sendiri. Ia begitu kacau dan selalu saja di jadikan samsak hidup untuk ayahnya yang begitu mudah marah.

Tak lama setelahnya, Bela kembali melanjutkan aktifitasnya untuk memasak beberapa menu masakan rumahan sembari menunggu Luis pulang.

***

Luis menatap Ayah Bela yang sudah tak sadarkan diri dan tak bisa mendapatkan penanganan segera karena Bela meminta untuk menunggu kedatangannya hanya bisa tersenyum. Rasanya ucapan Bela yang menginginkan untuk menyingkirkan ayahnya benar-benar permintaan dari hatinya.

“Kakak!” panggil Erik yang melihat Luis ada di sekitar IGD.

“Dia kritis, kenapa tidak coba kau bantu?” ucap Luis sembari menunjuk Ayah Bela yang memerlukan oprasi sebelum pendarahannya semakin parah. “Ah, aku lupa! Kau bahkan tak tau bagaimana caranya menggunakan tensi. Sorry…” sambung Luis yang sengaja menghina Erik karena paham betul bagaimana kemampuannya.

Erik mengerutkan keningnya mendengar ucapan Luis yang begitu tajam. Tapi tak selang lama Luis langsung tersenyum begitu ramah lalu melihat ponselnya sebentar sebelum pergi dari sana. Stiven sempat melihat Luis dan hampir hendak berlari mengejarnya kalau saja Erik tidak ada di dekat sana.

“Itu tadi…”

“dr.Luis, sepupuku,” ucap Erik memotong ucapan Stiven yang begitu yakin jika Luis adalah pria yang sering ia lihat mengantar makanan ke apartemen tempat Bela tinggal belakangan ini.

“Ah! Mungkin aku salah liat,” ucap Stiven canggung.

“Tidak, kau pasti sering melihatnya. Dia di rawat disini sebelumnya. Bangsal jiwa, cukup lama. Pasti pernah melihatnya.”

Stiven mengerutkan keningnya kaget dan heran. “Kenapa?”

“Malpraktik saat mengoprasi ibunya,” Erik berlalu begitu saja lalu melihat kondisi Ayah Bela.

“Bela bilang suruh menunggu. Ia akan datang.”

Baca juga 28. Vol.3 : Chapter 11

“Bela?”

Stiven mengangguk. “Perawat magang.” Stiven menunjukkan foto Bela yang masih ia simpan di ponselnya.

“Ow! Ini Bela!” kaget Erik lalu mengangguk.

“Kau mengenalnya?” Stiven sedikit kaget.

Erik mengangguk. “Tidak sengaja bertemu, dia kurus dan mengenaskan.”

“Dia temanku SMA, kami juga tinggal di apartemen yang sama,” ucap Stiven lalu kembali melihat kondisi Ayah Bela yang benar-benar menuju kritis tanpa penanganan.

***

“Aku pulang…” ucap Luis.

Sejujurnya ia tak berharap Bela masih ada di rumahnya. Tapi harum masakan dari dapur tercium juga suara TV yang menyala. Jelas Bela masih ada di sana.

“Luis!” sambut Bela dengan senyum sumringahnya menyajikan kari buatannya di meja makan untuk makan malam kali ini.

Luis tersenyum senang dan lega melihat sambutan Bela yang begitu hangat padanya. “Aku cuci tangan dulu.”

Bela mengangguk lalu kembali ke dapur untuk mengambilkan potongan semangka yang sudah ia siapkan di kulkas. Luis menunggu Bela akan menyampaikan kabar soal ayahnya, tapi ia sama sekali tak melihat tanda-tanda jika Bela akan membicarakan itu.

Bela makan dengan lahap, Luis juga menikmati masakan Bela. Enak, khas masakan rumahan seperti yang dulu sering dibuatkan ibunya. Selama makan juga Bela dan Luis hanya sedikit bicara mengomentari berita di TV saja lalu keduanya kembali makan dengan tenang.

“Mau tambah?” tawar Bela yang di angguki Luis.

Luis memang suka masakan Bela di tambah Bela melayaninya. Sejenak Luis jadi berharap jika Bela akan terus hidup bersamanya. Bayangan jika menikah dengan Bela, berumah tangga dengannya, memiliki anak dan hidup bahagia bersamanya mulai tergambar di benak Luis yang melihat Bela mengambilkannya makanan lagi.

“Nanti aku mau ke rumah sakit, aku sekalian belanja,” ucap Bela lembut.

“Umm…” Luis mengangguk dengan kikuk lalu mengeluarkan dompetnya secara refleks.

Bela menatap Luis heran.

“P-pakai uangku saja, nanti biar ku antar ke rumah sakit,” ucap Luis berusaha tenang.

Sungguh yang ada di pikiran Luis saat ini hanya ingin menerjang tubuh Bela. Memeluknya, menciuminya, lalu bermanja-manja dengannya. Kalaupun tidak bisa begitu setidaknya ia ingin memastikan jika Bela tak kesulitan dan selalu bahagia. Tanpa perlu berbagi dengan yang lain.

“Bela, kalau aku membuka pet shop apa kau bisa membantuku?” tanya Luis yang langsung di angguki Bela dengan sumringah.

“Tentu saja, aku akan selalu mendukungmu.” Bela terlihat begitu yakin juga dengan senyum sumringahnya yang begitu lepas.

“T-tapi aku ingin kau hanya fosku denganku saja, dengan bisnis kita…”

“Umm… tentu saja kalau begitu aku akan menyelesaikan magangku,” putus Bela dengan enteng.

Luis tak bisa menyembunyikan rasa senangnya lagi. “Bersiaplah, biar ku antar!” seru Luis lalu buru-buru menyelesaikan makannya.

Bela tertawa kecil mendengar Luis yang begitu senang dan antusias. “Tidak usah, aku bisa kesana sendiri,” tolak Bela yang memang sudah mengatur rencananya sendiri dan enggan membuat Luis terseret dalam masalahnya.

Luis mengerutkan keningnya, ia ingin memaksa tapi ia juga tau pasti Bela akan mengurus ayahnya. Jadi ia akhirnya memilih untuk memasang tampang memelas dan mengangguk saja.

“Ini, untuk belanja…” ucap Luis memberikan semua uang yang ada di dalam dompetnya tanpa menghitung pada Bela lalu dengan lesu masuk kedalam kamar.

Bela menghela nafas lalu bersiap berangkat dengan perasaan yang begitu campur aduk. Ia senang memulai hidup barunya dengan Luis, tapi ia juga khawatir soal jalan yang akan ia ambil kali ini.

39
Posting Komentar
Search
Menu
Theme
Share