Bab 19 – Persiapan Menikah
“Kemarin
tidak ada yang memberi makanan, sekarang semua memberikanmu makanan,” gumam
Deby mengeluh sambil memberikan wet food yang sudah bocor dengan dry food pada
Ciko. “Anjing manja, merepotkan saja!” kesalnya lalu kembali menutup kandang
dan menonton TV sementara Stiven sudah bersiap pergi sift malam.
Stiven
langsung pergi begitu melihat Ciko sudah di beri makan dan enggan berdebat
dengan ibunya yang begitu benci pada Ciko. Toh besok hari terakhir Ciko di
titipkan dan sorenya sudah di ambil oleh Ema. Ia tak perlu repot lagi
setelahnya.
***
Tak ada hal
yang lebih membahagiakan dan membuat Luis dan Bela bahagia selain membahas
pernikahannya. Malam ini mereka juga akan menginap di rumah keluarga Luis lagi.
Bersama Damian tentu saja, juga membahas persiapan menikah dengan WO pilihan
ayahnya.
“Tuan, dari
pagi tadi Tuan Besar sudah sibuk menyiapkan semuanya. Dia meminta di antar
pergi ke beberapa tempat untuk persiapan pesta pernikahanmu,” bisik Andi,
pelayan sekaligus asisten Damian yang paling dekat dengannya dan sudah
mengurusnya begitu lama.
Luis
tersenyum lalu mengangguk, ia senang hubungannya membaik meskipun ayahnya masih
terlihat dingin dan seolah cuek dengannya. Bela juga ikut tersenyum, sepertinya
ini akan jauh lebih hangat dari sebelumnya dan mungkin ini tidak akan
semencekam kemarin. Damian juga sudah tersenyum meskipun canggung pada Bela.
Sebatas agar calon menantunya itu tidak menangis seperti sebelumnya saja.
“Aku sudah
di terima…” bisik Bela pada Luis yang membuat Luis tertawa terbahak-bahak.
“Tentu
saja!” jawab Luis lalu memeluk dan langsung mencium pipi Bela dengan gemas
dihadapan Damian.
Damian
hanya diam melihat betapa cerianya Luis, betapa hangat dan penuh cinta tatapan
Luis saat bersama Bela. Melihat Luis yang bahkan jauh lebih baik daripada
sebelumnya. Sebagai orang tua jelas Damian tak dapat menolak pilihan pasangan
Luis itu.
“Aku ingin
pernikahan yang sederhana saja, tapi kalau Ayah ingin mengundang banyak orang
tidak masalah,” ucap Luis yang di angguki Bela.
“Bela
bagaimana?” tanya Damian.
“A-aku
tidak punya teman untuk di undang, awalnya aku mengira kita hanya mendaftarkan
ke catatan sipil saja,” jawab Bela jujur yang membuat WO yang di undang Damian
tertawa mendengar jawabannya.
Luis juga
hanya cengar-cengir karena memang ia kehilangan banyak teman sejak ia tertimpa
musibah bertubi-tubi dan depresi yang nyaris tak berkesudahan itu.
Damian
menghela nafas. “Buat acara sederhana saja,” putus Damian. “100-200 orang saja
yang di undang,” lanjutnya lagi lalu masuk ke kamarnya menyudahi acara makan
malam dan perbincangan soal pernikahan putranya itu.
“Apa Ayahmu
marah?” tanya Bela khawatir.
“Tidak,”
jawab Luis meyakinkan Bela sambil tersenyum. “Siapkan 300, mungkin akan perlu
tambahan kursi untuk beberapa teman Ayah,” ucap Luis menyudahi pertemuan.
“Besok
daftar undangannya akan saya kirim,” ucap Andi lalu mengambil alih urusan
dengan WO sementara Luis dan Bela pergi ke kamar.
***
Bela
memeluk erat Luis begitu masuk ke kamar. Bela tak bisa menahan tangisnya, Luis
lebih dari sekedar memberinya kehidupan layak juga kehidupan yang nyaman. Luis
bahkan memberikan kehidupan yang lebih indah dari yang bisa Bela mimpikan.
Menikahi seorang dokter dan di terima di keluarganya, tinggal di rumah yang
nyaman, memiliki bisnis bersama, lalu sekarang akan menikah. Padahal sebelumnya
Bela hanya berani bermimpi sejauh bisa tidur cukup dan makan enak saja.
“Kenapa
hmm?” tanya Luis sembari menggendong Bela yang memeluknya sambil menangis.
“Aku
senang…” lirih Bela yang membuat Luis tertawa. Bela begitu tulus, begitu jujur
apa adanya, tiap perasaan yang Bela tunjukkan begitu murni yang membuat Luis
ingin terus bersamanya dan enggan membaginya dengan siapapun. Jangankan
membaginya, membayangkan jika Bela akan mengalihkan perhatiannya saja Luis
sudah tidak bisa.
“Iya…sudah
jangan menangis,” ucap Luis lembut lalu duduk di tempat tidur sambil mendekap
Bela yang masih saja menangis. “Hey, tahan airmatamu. Kita belum sampai pada
acaranya,” ucap Luis sambil tersenyum bangga sudah berhasil membuat Bela jadi
begitu terikat dan bahagia bersamanya.
“Aku
mencintaimu…” bisik Bela sambil berusaha menghentikan tangisnya sendiri dan
menyeka airmatanya.
Luis
tertawa mendengarnya. “Tentu saja, aku tau…” ucap Luis bangga sembari
mengambilkan tisu untuk Bela. “Sebentar lagi akan ada beberapa anak magang
lagi, mungkin aku akan memilih pelayan disini juga untuk menggantikanku menjaga
kios. Jadi kau bisa lebih fokus pada keluarga kecil kita saja, biar aku yang
mengurus bisnis,” ucap Luis mengalihkan pembicaraan sembari mengelus punggung
dan pinggang Bela yang ramping.
Bela
mengangguk patuh. “Tapi aku khawatir, nanti kalau bisnis kita berantakan
bagaimana? Ini baru di mulai.”
Luis
tersenyum lalu mengecup kening Bela. “Ah Istriku ini ternyata terlalu mudah
khawatir ya…” goda Luis yang sukses membuat Bela tersipu malu.
“A-aku mau
sikat gigi dulu,” ucap Bela mengalihkan pembicaraan lalu berlari kecil menuju
kamar mandi.
Luis
tersenyum melihat Bela yang kurang menghitung hari akan menjadi istrinya.
“Sayang besok aku akan membesuk Erik,” ucap Luis memberitau Bela sembari
menyusulnya sikat gigi.
“Umm…” Bela
menyelesaikan kumurnya. “Mau di bawakan sesuatu?” tawar Bela perhatian.
Luis terus
menggosok giginya sembari berpikir apa yang membuatnya senang dulu ketika di
rumah sakit. Tapi satu-satunya hal yang Luis ingat hanya kehadiran Bela yang
magang dan tiba-tiba mengenalinya lalu membawakannya sembarang makanan seperti
induk kucing yang menemukan makanan dari tempat sampah, lalu datang untuk
memberikannya pada anaknya. Luis tidak ingat apa yang ia sukai selain Bela saat
ia di rawat. Jadi tidak mungkin jika ia datang untuk membawakan Bela untuk
Erik.
“Bagaimana
dengan makanan manis?” tawar Bela setelah ikut berpikir. “Dulu aku membelikanmu
roti coklat,” ucap Bela mengingat awal pertemuannya dengan Luis.
Luis
mengangguk sambil berkumur. “Kau juga membawakanku roti yang sedang promo, mi
instan yang beli satu gratis satu, ayam goreng.” Luis lebih ingat segalanya
daripada Bela.
Bela
meringis mendengar calon suaminya itu lebih ingat daripada dirinya dan apa yang
sudah mereka lalui bersama.
“Apa
dibawakan makanan rumahan?” tawar Bela sembari tiduran di posisinya dan Luis
sedang memadamkan lampu utama.
“Tidak,
mungkin akan ku bawakan buah saja,” jawab Luis sembari menyalakan lampu tidur. “Kalau
besok aku sedikit lama tidak masalah?” tanya Luis sembari mendekap pinggang
Bela dan melepaskan branya seperti biasa.
“Tentu, aku
akan menjaga kios,” ucap Bela lembut lalu membiarkan Luis yang bersiap melahap
payudaranya selayaknya bayi yang perlu menyusu sebelum tidur.
“Sebelum
makan siang aku sudah selesai kalau begitu,” ucap Luis lalu hap! Tidak ada
malam panjang seperti sebelumnya, hanya ada bayi besar yang sedang bermanja
pada Bela.
***
Berita soal
persiapan pernikahan Luis sudah langsung terdengar di telinga Alan. Ini
harusnya jadi kabar baik, karena Luis lebih fokus pada bisnis dan keluarga
kecilnya sendiri. Terlebih Damian juga terlihat lebih fokus memperbaiki
keluarganya lagi, harusnya Alan tidak khawatir sampai tiba-tiba nama Damian
kembali masuk dalam list jajaran orang-orang yang akan di pilih sebagai
direktur utama rumah sakit lagi dan kondisi Erik yang semakin memburuk tiap
harinya.
“Apa yang diinginkan
agar prosesnya cepat?” tanya Alan pada Heny yang menangani Erik yang malah
makin memburuk.
“Dia terus
berkata menginginkan Bela,” ucap Heny sembari menunjukkan kertas yang Erik
tulis beberapa hari belakangan.
“Bela?”
Alan kaget mendengar nama gadis miskin pembawa masalah itu disebut.
“Iya Bela,
calon istri Luis,” Heny mempertegas yang membuat Erik tertawa terbahak-bahak
tak percaya putranya memiliki selera yang begitu buruk dalam memilih wanita.
Namun
seketika tawanya terhenti ketika melihat Luis datang melewati ruangannya.
Mengingatkannya pada Elis mendiang istri Damian, ibu dari Luis yang menjadi
cinta pertamanya dan tak pernah bisa ia gapai hingga jadi kacau seperti
sekarang.