Bab 12 – dr. Stiven
Peresmian
pet shop milik Luis yang di beri nama Pettopia, seperti film Zootopia yang
pernah ia tonton dan melihat Bela yang terlihat seperti tokoh kelinci polisi di
dalam filmnya. Bela terlihat begitu menyukai semua yang ada disana. Matanya
selalu berbinar penuh semangat dan bahagia, begitu ceria begitu bersinar.
Meskipun tak ada acara khusus untuk pembukaan pet shopnya, hanya berdoa bersama
dan sarapan bersama disana.
Beberapa
orang datang, ada yang hanya melihat-lihat ada juga yang bertanya soal layanan
penitipan hewannya. Bela melayani dengan ramah dan senyum yang rasanya tak
pernah surut dari wajahnya. Luis memperhatikan cara Bela berinteraksi dengan
bangga dan ikut jadi senang karenanya.
“Bela!”
sapa Stivenn yang datang di tengah jam istirahat makan siang dengan membawa
beberapa cemilan di tangannya untuk Bela.
Bela dengan
wajah ceria dan berserinya langsung menyambut kedatangan Stiven. Tapi saat itu
lah Luis merasa Stiven akan merebut Belanya, merebut miliknya. Bela dengan
wajah berserinya dan senyum sumringahnya itu, dan kedatangan Stiven yang seolah
tau apa kesukaan Bela menambah sulutan emosi di hati Luis. Stiven berpotensi
merebut Belanya, pikir Luis.
“Keren
sekali, apa masih memerlukan pegawai lagi? Aku bisa part time disini hari sabtu
dan minggu,” ucap Stiven antusias sembari melihat-lihat interior dan ruang
penitipan hewan yang masih sepi.
“Aku tidak
tau, dr. Luis bosnya. Aku hanya pegawai disini,” jawab Bela dengan senyum
cerianya dan tampak bangga menatap Luis.
Luis ikut
tersenyum pada Bela lalu mendekat padanya sembari merangkul bahunya seolah
ingin menunjukkan pada Stiven jika Bela adalah miliknya. “Kami belum bisa
mempekerjakan orang,” ucap Luis dengan senyum canggungnya.
Bela
mengedikkan bahunya sembari tersenyum canggung. “Semoga bisa banyak pengunjung,
jadi kami bisa menambah pegawai,” ucap Bela sembari menatap Luis yang langsung
di angguki.
Stiven
mengangguk paham. “Oke kalau begitu aku akan sering kesini,” putusnya yang
membuat Luis kesal. “Ini brosurnya ya? Boleh aku minta beberapa ya, akan ku
berikan ke teman-teman di rumah sakitku,” ucap Stiven yang antusias membantu
bisnis Bela.
“Tentu,
terimakasih,” ucap Bela senang dan Luis terpaksa ikut berpura-pura senang
meskipun setelah Bela tak menatapnya wajahnya akan kembali datar dengan tatapan
dingin penuh kebencian pada Stiven.
Stiven
awalnya tak menyadari tatapan itu sampai akhirnya Bela masuk untuk mengambilkan
paper bag agar ia mudah membawa brosur-brosurnya. Tatapan bersahabat Luis tak
pernah muncul lagi, hanya ada pandangan dingin penuh penghakiman dari sorot
matanya. Seolah Luis siap mengajaknya berkelahi kapanpun. Saat itulah Stiven
sadar jika Luis tak menyukainya sama sekali, namun lebih dari itu Stiven jadi
teringat pada seseorang yang pernah ia lihat di apartemen.
Stiven
mengerutkan alisnya berusaha mengingat namun tatapan Luis begitu
mengintimidasinya. Stiven jelas tak nyaman dengan Luis, namun tak berapa lama
Bela datang dan dengan paper bagnya dan Luis kembali terlihat ramah dan ceria.
Begitu berbeda 180⁰ dari sebelumnya, bahkan Luis banyak
tersenyum saat bersama Bela.
“B-Bela,
aku pulang dulu ya. Sebentar lagi jam makan siangku selesai,” ucap Stiven yang
memilih untuk langsung pamit.
Bela
mengangguk lalu mengantar Stiven sampai depan bersama Luis yang mengikuti di
belakangnya.
“Padahal
aku kira kita bisa makan bersama,” gumam Bela lalu kembali masuk bersama Luis
setelah Stiven pergi.
“Kita makan
berdua saja kalau begitu,” ucap Luis ceria sembari membuka cemilan yang di
bawakan Stiven.
Bela
mengangguk dan duduk santai bersama Luis menikmati makan siang dengan cemilan
dari Stiven. Namun jika biasanya Luis akan duduk berhadapan dengannya kali ini
Luis duduk tepat di sampingnya. Bahkan bahunya sampai menempel pada Bela yang
membuatnya sedikit tidak nyaman karena tak leluasa bergerak. Namun Luis tetap
menempel padanya dan kini terlihat murung.
“Dokter…”
“Luis!”
sentak Luis tak suka di panggil dokter.
Bela
langsung menempelkan tangannya khawatir jika Luis demam. “Tidak demam,” Bela
langsung bernafas lega.
Luis
tersenyum senang jika Bela khawatir padanya. “Tidak, aku hanya memikirkan
Stiven. Apa kalian dekat?” tanya Luis yang langsung mengungkapkan isi
pikirannya.
“Umm…” Bela
mengangguk lalu menyuapkan keripik kentang ke mulut Luis, namun di tolaknya.
“Kami dekat, dulu sekelas. Tapi sejak dia masuk Fakultas Kedokteran, kami tidak
dekat lagi. Ibunya bilang kalau aku pengaruh buruk, jadi kami tidak pernah
bicara lagi setelah itu. Baru beberapa waktu terakhir ini kami bicara lagi,
padahal dulu aku banyak membantunya ketika belajar,” ucap Bela menjelaskan yang
akhirnya Luis menerima suapannya.
“Ah begitu,
jadi tidak sedekat hubungan kita?” Luis memastikan.
Bela
tertawa mendengarnya. “Tentu saja tidak, kalau aku dekat dengannya mungkin kita
tidak sedekat ini Luis,” ucap Bela santai lalu menyuapkan nasi dengan potongan
sayur ke mulut Luis.
Luis
menerima suapannya dengan jauh lebih ceria, hilang sudah wajah murungnya.
“Jangan dekat-dekat dr. Stiven, aku jadi galau…” ucap Luis yang masih ingin di
suapi dan di manja-manja oleh Bela.
Bela
tertawa mendengar ucapan Luis yang begitu manja padanya lalu menyuapinya dengan
telaten, sementara Luis memegangi ujung kaos yang ia kenakan seperti anak TK
yang takut di tinggal ibunya.
“Buah?”
tawar Bela namun belum Luis menjawab ada seorang pelanggan datang hendak
mendaftarkan kucingnya di penitipan.
***
Stiven
terus teringat pada perubahan Luis yang begitu drastis. Sejenak ia teringat
pada Bela yang dulu terus di pukuli Ayahnya. Teringat betapa traumatisnya Bela
dan tak ada yang bisa membantunya karena enggan terseret masalah. Meskipun
Stiven selalu merasa bersalah tiap kali ia menjauhi Bela dan berpura-pura tak
melihat kondisinya yang mengenaskan.
Tapi ini
berbeda dari yang dulu. Stiven sudah dewasa, begitu pula dengan Bela. Luis juga
bukan ayah Bela dan bisa kapanpun ia laporkan ke polisi jika berbuat buruk pada
Bela. Stiven bisa melindungi Bela sekarang, ia jauh lebih berani. Tapi jika
Stiven ingat kembali belakangan ini sejak Ayah Bela meninggal dan Bela tinggal
bersama Luis, Bela jauh lebih terawat dan ceria.
Stiven coba
memahami kondisi Bela dan sedikit lebih santai menghadapinya. Tapi mengingat
tatapan Luis dan perubahan sikapnya, sulit untuk mengatakan jika Bela bersama
orang yang tepat. Sejujurnya bagi Stiven Luis terlihat cukup manipulatif dan
mencurigakan, juga terlihat berbahaya di waktu bersamaan.
“Bela
sekarang tinggal dimana?” tanya Deby yang dapat kabar kalau apartemen yang
keluarga Bela tinggali sudah di sita pegadaian dan tengah dibersihkan juga
dapat sedikit perbaikan agar bisa terjual dengan harga lebih baik.
Stiven
mengedikkan bahunya, ia tidak tau pasti dan jelasnya Bela tinggal dimana.
“Gak usah
dicari tau, tidak udah memikirkan dia lagi. Sepertinya memang Bela bernasip
sial, akan menular,” ucap Deby sambil bersiap pergi bertemu peramalnya rutin
tiap bulan.
Stiven
menghela nafas lalu mengangguk. Mungkin Luis tidak sebaik itu, tapi Stiven rasa
ia juga masih belum tepat untuk melindungi Bela. Stiven mencoba mengusir
kekhawatirannya, setidaknya tak ada yang memukuli Bela lagi.
***
Erik
menatap brosur pet shop milik Luis yang tertempel di mading rumah sakit.
Beberapa dokter muda membicarakan soal Luis yang banting setir dan merekrut
Bela bekerja di pet shopnya. Beberapa terlihat senang akan kabar itu, tak
sedikit pula yang berharap bisa menitipkan peliharaannya disana. Luis masih di
sukai, di cintai semua orang meskipun kasusnya di goreng cukup masif.
Erik masuk
ke ruang prakteknya, beberapa pasien sudah menunggu untuk di periksa. Tapi Erik
malah sibuk mencuci tangannya hingga luka dan harus di hentikan oleh suster
yang menjadi asistennya hari ini.
“Permisi…”
panggil Alan yang masuk ke ruang kerja Erik untuk melihat kondisi putranya
sebelum memperburuk citranya juga citra rumah sakit karena keanehannya.
Suster yang
ada didalam ruang praktek langsung pergi keluar meninggalkan Alan dan putranya
itu. Erik menatap Alan dengan kesal dan kecewa juga marah, rasanya ia begitu
emosional dan campur aduk. Erik merasa Alan sudah terlalu jauh mendorongnya
setelah memberikan kepopuleran secara instan dan karbitan.
“Apa ini
yang benar-benar aku mau? Atau Ayah yang menginginkannya?” tanya Erik dengan
mata yang berkaca-kaca.
Alan
menghela nafas dengan berat lalu menelfon seseorang. “Bawa dia,” hanya dua kata
itu yang meluncur dari mulutnya setelah melihat kondisi Erik secara langsung.