0
Home  ›  Chapter  ›  Poison

Bab 27 – Tersangka

 

Bab 27 – Tersangka-1

Berita soal kondisi apartemen kumuh yang keracunan masal hingga nyaris semua orang yang mengkonsumsi air mati semua itu tersebar begitu cepat. Kasus ini seketika menjadi perbincangan nasional tanpa bisa menemukan sidik jari siapapun yang mencurigakan. Bagaimana tidak, semua lokasih TKP hampir rusak karena hujan yang menguyur begitu deras, ditambah dengan warga yang datang silih berganti seolah sedang berwisata.

Stiven jelas begitu terpuruk dengan kejadian ini. Ia terus mengecek CCTV yang ia pasangpun sama sekali tak membuahkan hasil karena kondisi mati lampu. Bahkan satpam yang sebelumnya sempat bertemu Luis juga ikut terkena racun dan mati tak berapa lama setelah sempat koma. Tak satupun yang selamat, hanya Stiven itupun karena ia tugas di rumah sakit dalam waktu lama dan sering lembur belakangan ini.

Seluruh bagian juga disisir oleh pihak kepolisian hingga akhirnya semua orang menemukan box paket mencurigakan di kamar Stiven. Pihak penyidik langsung membawa paket itu dan beberapa barang mencurigakan lainnya milik seluruh penghuni apartemen.

***

Bela pulang berbelanja dengan  senyum sumringahnya. Belanja kali ini sangat menyenangkan, ia bisa membeli iga juga dan banyak kebutuhan rumah tangga yang ia beli. Karena Luis menemaninya, Bela juga jadi tak khawatir soal betapa berat belanjaannya atau bagaimana membawanya pulang nanti.

“Sayang kita makan diluar boleh?” tanya Bela yang mendadak ingin mencoba makan di luar untuk makan siang kali ini.

Luis mengangguk lalu menstarter mobilnya. “Sayang mau makan apa?” tanya Luis lembut sembari menatap Bela sejenak sebelum mulai menyetir keluar dari swalayan.

“Ayam?” tawar Bela yang jelas langsung di setujui Luis dan langsung menyetir ke restoran ayam kesukaan Bela seperti biasanya.

“Oke Bos! Kita makan ayam!” seru Luis ceria lalu melihat istrinya sekilas yang tampak serius sedang menghitung dengan kalender di ponselnya. “Aniversary kita masih lama,” ucap Luis mengagetkan Bela.

Bela tersenyum lalu menggeleng. “Bukan, aku sedang menghitung kapan terakhir aku haid. Rasanya sudah lama aku tidak haid,” ucap Bela lalu mengelus perutnya pelan. “Kita kan rajin bercinta, tidak pakai pengaman…”

“Pengaman tidak penting!” sela Luis yang membuat Bela tertawa.

Baca juga 29. Vol. 3 : Chapter 12

“Terus aku juga dapat vitamin dan konsumsi susu juga,” lanjut Bela lalu menggenggam tangan Luis sementara Luis langsung mengelus perut Bela.

“Nanti kita mampir ke apotek,” ucap Luis lalu berbelok ke restoran ayam.

Luis memperhatikan Bela selama ini, intensitas sexnya memang tinggi tapi ia belakangan ini sudah menguranginya. Sejak Luis melihat beberapa perubahan seperti tidak ada pembalut yang berkurang selama mereka tinggal bersama, memang tak ada morning sick tapi kadang Bela terlihat demam dan kurang fit, payudaranya juga terlihat lebih montok daripada sebelumnya.

Bela memesan sementara Luis mencari tempat duduk yang nyaman. Setelah itu Bela duduk bersama Luis sembari membuka hadiah mainan yang ia dapat dari pesanannya. Luis tak banyak komplain juga dengan apa yang di pesan istrinya. Selama Bela senang Luis tenang, sesimpel itu. Tak selang lama pesanannya juga sudah jadi dan Luis yang datang untuk mengambilnya. Sementara Bela masih sibuk dengan mainannya.

“Sayang makan,” ucap Luis yang di angguki Bela dan langsung cuci tangan sebelum mulai makan.

Tak banyak pembicaraan selama makan di luar, baik Bela dan Luis sudah sama-sama senang bisa makan bersama diluar dan menghabiskan waktu bersama. Luis juga terlihat ceria di tambah dengan kemungkinan Bela hamil ia jadi semakin senang. Meskipun belum pasti.

Sampai tiba-tiba muncul siaran berita di TV soal temuan obat arsenik T61 dari kamar apartemen 312. Luis menatap berita dengan tenang seperti tak terjadi apa-apa sementara Bela tampak kaget karena tau jika Stiven dan ibunya tinggal disana.

“Oh ya ampun!” ucap Bela dengan tangan yang gemetar lalu menggenggan tangan Luis. “Luis! Lihat!” Bela menepuk bahu Luis.

Luis terdiam bingung harus merespon bagaimana sampai akhirnya ia memilih ikut pura-pura terkejut dengan wajah polosnya. “Ya ampun, untung kau sudah tidak tinggal disana,” ucap Luis sembari menggenggam tangan Bela.

Bela mengangguk pelan lalu menatap Luis. “Ini karma…” bisik Bela dengan mata yang berbinar-binar.

Baca juga 28. Vol.3 : Chapter 11

Luis langsung mendekap Bela agar istrinya tak dapat melihat senyum bahagianya sudah berhasil menghabisi semua orang tanpa jejak seperti ini. Bahkan sampai bisa mengkambing hitamkan orang lain.

***

“Aku sudah menduganya, pasti dulu Ciko di gunakan untuk uji coba!” ucap Ema yang memantau berita soal keracunan masal di apartemen tempat Stiven tinggal juga temuan obat oleh polisi yang baru muncul di berita.

“Aku tidak menyangka, dr. Stiven seperti itu. Padahal dia keliatan baik. Tapi dia juga aneh sih, tiba-tiba bekerja lagi di rumah sakit tempat dr. Alan menjabat setelah semua kasusnya. Sementara Bela tak mendapat panggilan,” komentar Rey yang mulai cocokologi bersama Ema sembari menata dry food yang baru datang.

“Tapi dulu Bibi Deby juga jahat pada Ciko, ini karmanya!” ucap Ema yang masih kesal pada Stiven dan keluarganya.

Rey mengangguk ia ingat bagaimana awal mengenal Ema karena Deby yang jahat pada Ciko.

***

“Ibu…ku mohon aku ingin bertemu ibu…sebentar saja…” rengek Erik setiap hari sembari menggedor-gedor pintu kamarnya.

Vivi mendengar semua rengekan Erik yang benar-benar menyiksa batinnya sebagai ibu. Erik memang biasa ia manjakan, tapi kali ini berbeda. Ini bukan kemanjaan seperti memaksa beli tamia lagi. Erik membutuhkannya agar kondisi mentalnya bisa lebih baik.

“Ibu…Aku ingin bertemu ibuku,” rengek Erik sembari menangis dan terus menggedor pintu kamarnya.

“Sayang, biarkan aku bertemu Erik. Aku yakin jika aku bisa bertemu dengannya kondisinya akan lebih baik,” Vivi coba membujuk Alan agar ia bisa mendekap putranya itu.

“Keputusanku masih sama. Dia perlu semangat untuk menang, bukan dimanja terus-terusan,” ucap Alan keras kepala.

Vivi menggeleng pelan. “Tapi jika begini terus kondisinya juga tidak menjadi lebih baik. Sehari saja biarkan aku merawatnya,” ucap Vivi yang sama sekali tak di gubris oleh Alan yang sudah pusing dengan kasus Stiven yang mendadak jadi tersangka, di tambah putranya tak kunjung menunjukkan progres, sekarang istrinya juga tak mau mendukung cara kerasnya mendidik Erik.

“Diam dan berhentilah mengacau!” bentak Alan begitu emosi lalu pergi berangkat ke rumah sakit seperti biasanya.

Vivi hanya bisa menangis sampai akhirnya ia memutuskan untuk nekat menemui Erik setelah suaminya pergi. Para pelayan sudah coba menahannya tapi mendengar Erik yang terus menangis, merengek, mencari ibunya dan Vivi yang sama sedihnya tak bisa bertemu putranya akhirnya mereka membiarkan Vivi menemui Erik.

“Anakku…” lirih Vivi yang langsung memeluk erat tubuh Erik yang sudah begitu kurus dan kondisinya yang begitu kacau.

“Ibu…ibu…ibu…” Erik menangis dalam pelukan ibunya dengan tak berdaya. “Aku lelah Bu, aku tidak mau jadi dokter, aku tidak mau ke rumah sakit lagi, aku ingin dirumah bersama ibu saja,” adu Erik sambil menangis ketakutan dan mulai meringkuk. “Aku bukan dokter Bu, aku pembunuh, aku orang jahat, aku tidak layak hidup Bu…”

Vivi menggeleng ia tak bisa mengeluarkan sepatah katapun untuk menyemangati putranya kali ini. Mendengar tiap ucapan Erik, tiap tangisnya, tiap tetes airmata penyesalannya benar-benar membuat Vivi terluka. Ia menyesal membiarkan Alan memaksakan kehendak dan ambisinya pada Erik. Ia menyesal tak mau mendengarkan mimpi putranya yang ingin menjadi guru seperti kakek neneknya dulu.

“Maaf Nak…” lirih Vivi yang hanya bisa meminta maaf.

39
Posting Komentar
Search
Menu
Theme
Share