Bab 36 – Saksi
Alan datang
menemui Stiven yang ada di penjara. Alan sudah mengira jika Stiven akan
terlihat kacau. Tapi penampilannya jauh lebih baik dari yang ia kira. Pakaian
yang Stiven pakai juga cukup baik dan wangi. Seolah kebutuhannya selama di penjara
sudah terpenuhi.
“Apa
kabar?” tanya Alan membuka pembicaraan begitu Stiven menemuinya.
Stiven
tersenyum canggung.
“Bagaimana
tidurmu?” tanya Alan lagi berharap ada celah agar ia bisa menunjukkan
perhatiannya dan mencuri hati Stiven agar mau jadi bidak caturnya.
“Baik,
hangat, cukup nyaman. Luis mengirimiku selimut, beberapa makanan dan ya
kebutuhan juga uang,” jawab Stiven sembari mengelus tengkuknya.
Alan
berusaha menyembunyikan keterkejutannya karena Luis kembali satu langkah lebih
maju darinya. “Aku membawakanmu selimut juga, ada beberapa vitamin dan obat
ringan. Mau bagaimanapun kau pernah jadi bagian dari anggota timku. Kau juga
teman baik Erik, kau sudah ku anggap seperti anakku sendiri,” ucap Alan
berusaha lembut dan hangat untuk meraih hati Stiven.
“Terimakasih
Dok,” ucap Stiven pelan.
“Belakangan
ini dingin, ini ku tinggal saja.” Alan melepaskan jaketnya lalu menyodorkannya
pada Stiven. “Kalau ada apa-apa hubungi aku, aku juga akan berusaha
mengeluarkanmu dari sini,” ucap Alan lalu bangkit dari duduknya dan
meninggalkan Stiven sembari menepuk dadanya pelan.
Alan ingin
cepat pergi, rencananya mungkin bisa gagal kalau ia terlalu lama disana. Tapi
setidaknya tadi seharusnya ia bisa mulai membuka pintu hati Stiven lagi. Alan
juga perlu segera pulang untuk menentukan langkah selanjutnya yang bisa ia
ambil sekarang.
Kling! Tiba-tiba pesan dari Vivi muncul di
ponselnya.
‘Aku
akan membawa Erik tinggal di rumahku setelah kondisinya stabil.’
Alan hanya
menghela nafas. Rumah Vivi yang tak pernah mereka tinggali karena Alan benci
ketika mantan kekasih Roy, mantan kekasih Vivi juga ikut membeli di tempat yang
sama. Perasaannya makin tak karuan ketika melihat Roy memposting jika ia juga
tinggal di rumahnya yang dekat dengan Vivi. Kecurigaannya makin menjadi-jadi,
rencana yang sudah ia susun mulai ia rubah kembali.
***
“Apa ada
saksi untuk menguatkan tuduhanmu?” tanya kuasa hukum Vivi.
Vivi hanya
diam, ia berpikir keras memilih siapa yang pantas ia jadikan sebagai saksi dan
jelas akan berpihak padanya. Ingin menunjuk pelayan di rumah, jelas sulit.
Mereka sudah jelas akan memihak pada Alan, memilih supirnya rasanya juga tak
jauh beda. Menunjuk Erik, di persidangan ini anak tak bisa menjadi saksi.
“Akan ku
pikirkan…” putus Vivi lalu pergi meninggalkan kantor kuasa hukumnya.
Sulit
rasanya mencari orang yang bisa bersaksi untuknya. Meskipun ia sudah
mengantongi bukti visum yang kuat, bahkan rekaman suara. Ia tetap memerlukan
saksi untuk memenangkan semuanya.
“Ibu dari
mana?” tanya Erik yang menunggunya di ruang rawatnya.
Vivi hanya
tersenyum lalu menggeleng pelan. “Sudah mandi?” tanya Vivi lembut lalu duduk di
samping tempat tidur putranya.
Erik
mengangguk lalu menggenggam tangan ibunya dengan erat. “Aku takut kalau Ibu
tidak kembali lagi, aku senang ada Ibu disini,” ucap Erik sembari menatap
ibunya.
Vivi
kembali tersenyum lalu mengelus tangan putranya. “Makan? Ibu suapi,” tawar Vivi
yang langsung di tolak Erik.
Luis yang
melihat betapa lemahnya Erik dan betapa buruk kondisi Vivi hanya diam
melihatnya dari luar. Fokusnya hanya untuk melenyapkan Alan, Erik dan Vivi
mulai ia hapus dari targetnya. Tapi baru ia hendak pergi meninggalkan Erik dan
Vivi sendirian, Vivi keburu menyadari kehadirannya.
“Luis!”
seru Vivi yang terdengar begitu senang dan sumringah melihat Luis. Bagaikan
melihat sumber air di tengah gurun dalam kehausan, Vivi langsung berlari
mengejar Luis.
“A-aku
hanya ingin melihat perkembangan Erik…” gugup Luis yang kikuk berhadapan dengan
Vivi.
“Aku perlu
bantuanmu!” ucap Vivi tanpa ragu lalu menggenggam tangan Luis.
Luis
mengerutkan alisnya heran. Luis yakin Vivi tau jika keluarganya pernah menjadi
rival dan cukup sengit. Luis juga yakin Vivi paham betapa sengit dan dinginnya
peperangan antar keluarga mereka. Tapi kenapa Vivi meminta bantuannya? Ada yang
aneh.
“Apa yang
bisa ku bantu?” tanya Luis.
“Ibu! Ibu
kemari!” rengek Erik dari dalam yang tak mau jika ibunya berdekatan dengan Luis
yang ia anggap berbahaya.
“Jadilah
saksi di pengadilan perceraianku,” pinta Vivi yang membuat Luis kaget.
Rencananya
kali ini akan berubah drastis. Luis tersenyum kikuk, meskipun ia sebenarnya
sedang menahan tawa girangnya. Tak perlu ada darah kali ini.
“S-saksi?”
tanya Luis memastikan kembali.
Vivi
mengangguk lalu membawa Luis masuk kedalam ruang inap Erik. Vivi langsung
menyingkapkan atasannya menunjukkan punggungnya yang punya banyak bekas luka
dan memar. Vivi juga langsung menyingkapkan roknya menunjukkan memar besar yang
masih baru di pahanya.
“Ibu…”
rengek Erik yang tak mau jika ibunya berurusan dengan Luis.
“Ini berkas
visumku, bawa ini. Ini juga…” Vivi menyerahkan semua berkas yang sudah ia
siapkan hingga salinan berkas tuntutannya. “Aku tau kau tidak cukup akur dengan
Alan. Bantu aku, setelah itu aku dan Erik akan pergi menjauh dari hidupmu. Aku
janji,” ucap Vivi meyakinkan Luis dengan pandangan penuh harap dan mata yang
berkaca-kaca.
“E-entahlah
Bibi, aku akan mempelajarinya dulu. Aku memang tidak akur dengan Paman. Tapi
bagaimanapun dia keluargaku,” ucap Luis yang perlu pertimbangan.
Vivi tampak
kecewa dengan ucapan Luis. Harapannya mulai pupus, tapi melihat Luis yang masih
mau mempertimbangkannya ia jadi mau menaruh sedikit harapan.
“Minggu
depan sidangnya. Kau bisa datang kalau mau,” ucap Vivi.
“Bersaksi?”
tanya Luis kaget karena begitu cepat.
Vivi
menggeleng. “Belum, hanya melihat saja kondisinya,” ucap Vivi sambil tersenyum.
Luis
mengangguk dengan gugup lalu langsung pergi meninggalkan Vivi dan Erik, Luis
langsung bergegas ke ruangannya untuk mengecek berkas-berkas yang Vivi berikan
padanya.
“Pesta
besar,” gumamnya pelan lalu tertawa penuh kemenangan di ruangannya.
Luis
mengambil ponselnya mengirim pesan pada Bela jika ia akan lembur di rumah sakit
dan meminta Bela untuk tidak menunggunya pulang hari ini.
***
Stiven
terus memikirkan maksud dan tujuan Alan yang tiba-tiba begitu baik padanya. Ini
jelas sudah bukan soal Erik lagi, hanya ada satu kemungkinan yaitu Alan yang
coba merebut posisi direktur kembali. Tapi Stiven sungguh sudah enggan
berurusan dengan Luis dan segala kegilaan para dokter yang ada disana.
Tapi saat
ia melihat foto ibunya yang ia tempel di tembok selnya, Stiven mulai berubah
pikiran. Ia ingin berlindung dan hidup tenang. Tapi rasanya ketenangannya juga
tak ada artinya karena ibunya sudah tak ada di sampingnya lagi. Tak ada alasan
untuknya hidup lebih lama, toh ia tak punya tempat untuk kembali.
“Mau telfon
siapa?” tanya sipir yang menjaga wartel.
“dr. Alan,”
jawab Stiven sembari menunjukkan kartu nama milik Alan.