0
Home  ›  Chapter  ›  Poison

Bab 36 – Saksi

Bab 36 – Saksi-1


Alan datang menemui Stiven yang ada di penjara. Alan sudah mengira jika Stiven akan terlihat kacau. Tapi penampilannya jauh lebih baik dari yang ia kira. Pakaian yang Stiven pakai juga cukup baik dan wangi. Seolah kebutuhannya selama di penjara sudah terpenuhi.

“Apa kabar?” tanya Alan membuka pembicaraan begitu Stiven menemuinya.

Stiven tersenyum canggung.

“Bagaimana tidurmu?” tanya Alan lagi berharap ada celah agar ia bisa menunjukkan perhatiannya dan mencuri hati Stiven agar mau jadi bidak caturnya.

“Baik, hangat, cukup nyaman. Luis mengirimiku selimut, beberapa makanan dan ya kebutuhan juga uang,” jawab Stiven sembari mengelus tengkuknya.

Alan berusaha menyembunyikan keterkejutannya karena Luis kembali satu langkah lebih maju darinya. “Aku membawakanmu selimut juga, ada beberapa vitamin dan obat ringan. Mau bagaimanapun kau pernah jadi bagian dari anggota timku. Kau juga teman baik Erik, kau sudah ku anggap seperti anakku sendiri,” ucap Alan berusaha lembut dan hangat untuk meraih hati Stiven.

“Terimakasih Dok,” ucap Stiven pelan.

“Belakangan ini dingin, ini ku tinggal saja.” Alan melepaskan jaketnya lalu menyodorkannya pada Stiven. “Kalau ada apa-apa hubungi aku, aku juga akan berusaha mengeluarkanmu dari sini,” ucap Alan lalu bangkit dari duduknya dan meninggalkan Stiven sembari menepuk dadanya pelan.

Alan ingin cepat pergi, rencananya mungkin bisa gagal kalau ia terlalu lama disana. Tapi setidaknya tadi seharusnya ia bisa mulai membuka pintu hati Stiven lagi. Alan juga perlu segera pulang untuk menentukan langkah selanjutnya yang bisa ia ambil sekarang.

Kling! Tiba-tiba pesan dari Vivi muncul di ponselnya.

‘Aku akan membawa Erik tinggal di rumahku setelah kondisinya stabil.’

Alan hanya menghela nafas. Rumah Vivi yang tak pernah mereka tinggali karena Alan benci ketika mantan kekasih Roy, mantan kekasih Vivi juga ikut membeli di tempat yang sama. Perasaannya makin tak karuan ketika melihat Roy memposting jika ia juga tinggal di rumahnya yang dekat dengan Vivi. Kecurigaannya makin menjadi-jadi, rencana yang sudah ia susun mulai ia rubah kembali.

***

Baca juga 29. Vol. 3 : Chapter 12

“Apa ada saksi untuk menguatkan tuduhanmu?” tanya kuasa hukum Vivi.

Vivi hanya diam, ia berpikir keras memilih siapa yang pantas ia jadikan sebagai saksi dan jelas akan berpihak padanya. Ingin menunjuk pelayan di rumah, jelas sulit. Mereka sudah jelas akan memihak pada Alan, memilih supirnya rasanya juga tak jauh beda. Menunjuk Erik, di persidangan ini anak tak bisa menjadi saksi.

“Akan ku pikirkan…” putus Vivi lalu pergi meninggalkan kantor kuasa hukumnya.

Sulit rasanya mencari orang yang bisa bersaksi untuknya. Meskipun ia sudah mengantongi bukti visum yang kuat, bahkan rekaman suara. Ia tetap memerlukan saksi untuk memenangkan semuanya.

“Ibu dari mana?” tanya Erik yang menunggunya di ruang rawatnya.

Vivi hanya tersenyum lalu menggeleng pelan. “Sudah mandi?” tanya Vivi lembut lalu duduk di samping tempat tidur putranya.

Erik mengangguk lalu menggenggam tangan ibunya dengan erat. “Aku takut kalau Ibu tidak kembali lagi, aku senang ada Ibu disini,” ucap Erik sembari menatap ibunya.

Vivi kembali tersenyum lalu mengelus tangan putranya. “Makan? Ibu suapi,” tawar Vivi yang langsung di tolak Erik.

Luis yang melihat betapa lemahnya Erik dan betapa buruk kondisi Vivi hanya diam melihatnya dari luar. Fokusnya hanya untuk melenyapkan Alan, Erik dan Vivi mulai ia hapus dari targetnya. Tapi baru ia hendak pergi meninggalkan Erik dan Vivi sendirian, Vivi keburu menyadari kehadirannya.

“Luis!” seru Vivi yang terdengar begitu senang dan sumringah melihat Luis. Bagaikan melihat sumber air di tengah gurun dalam kehausan, Vivi langsung berlari mengejar Luis.

“A-aku hanya ingin melihat perkembangan Erik…” gugup Luis yang kikuk berhadapan dengan Vivi.

“Aku perlu bantuanmu!” ucap Vivi tanpa ragu lalu menggenggam tangan Luis.

Baca juga 28. Vol.3 : Chapter 11

Luis mengerutkan alisnya heran. Luis yakin Vivi tau jika keluarganya pernah menjadi rival dan cukup sengit. Luis juga yakin Vivi paham betapa sengit dan dinginnya peperangan antar keluarga mereka. Tapi kenapa Vivi meminta bantuannya? Ada yang aneh.

“Apa yang bisa ku bantu?” tanya Luis.

“Ibu! Ibu kemari!” rengek Erik dari dalam yang tak mau jika ibunya berdekatan dengan Luis yang ia anggap berbahaya.

“Jadilah saksi di pengadilan perceraianku,” pinta Vivi yang membuat Luis kaget.

Rencananya kali ini akan berubah drastis. Luis tersenyum kikuk, meskipun ia sebenarnya sedang menahan tawa girangnya. Tak perlu ada darah kali ini.

“S-saksi?” tanya Luis memastikan kembali.

Vivi mengangguk lalu membawa Luis masuk kedalam ruang inap Erik. Vivi langsung menyingkapkan atasannya menunjukkan punggungnya yang punya banyak bekas luka dan memar. Vivi juga langsung menyingkapkan roknya menunjukkan memar besar yang masih baru di pahanya.

“Ibu…” rengek Erik yang tak mau jika ibunya berurusan dengan Luis.

“Ini berkas visumku, bawa ini. Ini juga…” Vivi menyerahkan semua berkas yang sudah ia siapkan hingga salinan berkas tuntutannya. “Aku tau kau tidak cukup akur dengan Alan. Bantu aku, setelah itu aku dan Erik akan pergi menjauh dari hidupmu. Aku janji,” ucap Vivi meyakinkan Luis dengan pandangan penuh harap dan mata yang berkaca-kaca.

“E-entahlah Bibi, aku akan mempelajarinya dulu. Aku memang tidak akur dengan Paman. Tapi bagaimanapun dia keluargaku,” ucap Luis yang perlu pertimbangan.

Vivi tampak kecewa dengan ucapan Luis. Harapannya mulai pupus, tapi melihat Luis yang masih mau mempertimbangkannya ia jadi mau menaruh sedikit harapan.

“Minggu depan sidangnya. Kau bisa datang kalau mau,” ucap Vivi.

“Bersaksi?” tanya Luis kaget karena begitu cepat.

Vivi menggeleng. “Belum, hanya melihat saja kondisinya,” ucap Vivi sambil tersenyum.

Luis mengangguk dengan gugup lalu langsung pergi meninggalkan Vivi dan Erik, Luis langsung bergegas ke ruangannya untuk mengecek berkas-berkas yang Vivi berikan padanya.

“Pesta besar,” gumamnya pelan lalu tertawa penuh kemenangan di ruangannya.

Luis mengambil ponselnya mengirim pesan pada Bela jika ia akan lembur di rumah sakit dan meminta Bela untuk tidak menunggunya pulang hari ini.

***

Stiven terus memikirkan maksud dan tujuan Alan yang tiba-tiba begitu baik padanya. Ini jelas sudah bukan soal Erik lagi, hanya ada satu kemungkinan yaitu Alan yang coba merebut posisi direktur kembali. Tapi Stiven sungguh sudah enggan berurusan dengan Luis dan segala kegilaan para dokter yang ada disana.

Tapi saat ia melihat foto ibunya yang ia tempel di tembok selnya, Stiven mulai berubah pikiran. Ia ingin berlindung dan hidup tenang. Tapi rasanya ketenangannya juga tak ada artinya karena ibunya sudah tak ada di sampingnya lagi. Tak ada alasan untuknya hidup lebih lama, toh ia tak punya tempat untuk kembali.

“Mau telfon siapa?” tanya sipir yang menjaga wartel.

“dr. Alan,” jawab Stiven sembari menunjukkan kartu nama milik Alan.

39
Posting Komentar
Search
Menu
Theme
Share