Bab 35 – Cemburu
Luis tak
mempedulikan sama sekali kabar soal Erik yang sudah sadar dan berprogres begitu
baik pada kesehatannya. Luis sudah yakin betul sepupunya itu tetap akan cacat
setelah semuanya. Baik fisik maupun mentalnya, tak ada kemungkinan juga untuk
menyerangnya atau membalasnya. Luis tak perlu terlalu banyak bereaksi.
“Aku sudah
bilang Ayah jika akan menginap disana lagi. Aku juga sudah minta dibuatkan sup
iga, kesukaanmu,” ucap Luis lalu mengecup kening Bela yang duduk di sofa
setelah selesai menjemur.
Bela
tersenyum lalu mengangguk. “Sayang, kakiku sakit. Apa aku perlu minta pereda
nyeri juga ya nanti?”
Luis
mengerutkan keningnya tak setuju. “Biar ku pijat saja,” ucap Luis yang langsung
bersiap memijat kaki istrinya. “Aku bisa belikan kursi pijat,” tawar Luis
sembari mengambil ponselnya bersiap memesan kursi pijat untuk istrinya.
Bela belum
bilang apapun, belum memberi pendapatnya tapi Luis sudah lebih dulu memesan.
Bela merasa terlalu boros membeli kursi pijat, tapi jika Bela perhatikan Luis
punya uang lebih dari cukup untuk sekedar membeli kursi pijat. Bela juga tak
perlu terlalu hemat lagi sekarang. Luis kaya, ayah mertuanya juga kaya,
menanggung Bela seorang dan calon buah hatinya jelas bukan hal berat.
“Sayang,
kurasa kita juga perlu punya pembantu di rumah. Kau terlalu keras pada dirimu,”
ucap Luis yang begitu perhatian pada Bela.
Bela
mengerutkan keningnya lalu menggeleng pelan. “Agar orang lain melayanimu? Agar
aku tidak berguna lagi?” tanya Bela lalu menghela nafas. “Nanti saja kalau dia
sudah lahir, mungkin kita perlu memiliki baby sitter. Sisanya sejauh ini aku
masih bisa tangani,” ucap Bela lembut.
“Bukan,
bukan itu. Aku hanya khawatir saja jika aku tidak di rumah dan kau mungkin
perlu bantuan. Tentu saja kau tetap yang melayaniku, dan kalau kau tak
melayaniku seputar makan dan urusan dapur. Kau jadi punya cukup energi untuk
melayaniku di ranjang,” ucap Luis menjelaskan maksudnya agar istrinya tak salah
paham sembari mengecup perutnya dengan lembut.
Bela hanya
diam lalu menghela nafas sementara Luis menatapnya dengan wajah yang begitu
sumringah seolah baru saja menang lotre. “Kenapa?”
Luis
menggeleng pelan lalu mengecup perut Bela lagi. “Aku senang kau cemburu, itu
tandanya kau mencintaiku,” ucap Luis lalu memeluk pinggang Bela yang sukses
membuatnya tertawa. “Tapi Sayang, aku tetap mengkhawatirkanmu. Aku bisa cari
pembantu yang sudah tua,” lanjut Luis lalu tiduran di samping Bela.
Bela
terdiam sejenak lalu memilih mengalah dan mengangguk setuju saja dengan
keputusan Luis yang mendekapnya sembari mengelus punggung dan pinggangnya. Bela
menikmati tiap sentuhan suaminya sementara Luis mulai memikirkan cara
menyingkirkan Heny dan Erik agar tidak mengganggunya. Bahkan meskipun akhirnya
Heny dan Erik memutuskan untuk tidak berurusan lagi dengannya, Luis tetap akan
menyingkirkannya karena enggan akan ada gangguan di kemudian hari.
Luis
memejamkan matanya menarik nafas dalam-dalam menghirup aroma tubuh istrinya
yang wangi dan manis. Luis menatap sekitar, ada foto pernikahannya dengan Bela
di atas laci. Luis mengingat betapa bahagianya momen itu, mengingat bagaimana
mereka bertemu, mengingat bagaimana malangnya Bela.
“Kau
memikirkan sesuatu?” tanya Bela sembari mendongakkan kepalanya menatap
suaminya.
Luis
tersenyum lalu menggelengkan kepalanya pelan. “Aku hanya bersyukur kita akan
jadi orang tua. Aku sedang berpikir nama apa yang pas untuk anakku nanti,”
jawabnya sembari mengecup kening Bela dengan lembut.
***
Alan cukup
kaget melihat Vivi yang mau menandatangani gugatannya. Ditambah lagi
keinginannya untuk membawa Erik pergi dan melanjutkan pengobatan di luar
negeri. Alan tak tau kenapa Vivi yang mata duitan dan hanya tau caranya
bersolek itu tiba-tiba jadi seberani ini. Pikirannya sudah langsung mengular
kemana-mana membayangkan jika Vivi diam-diam memiliki selingkuhan dan bercinta
dengan pria yang lebih kaya darinya.
Alan
menggelengkan kepalanya pelan coba menepis kekhawatiran yang ada di kepalanya.
Segala kemungkinan buruk yang muncul di kepalanya. Sialnya semakin ia coba
menghalau semuanya, ia malah makin teringat wajah istrinya yang cantik itu saat
sedang bercinta. Begitu sexy, begitu erotis, begitu menggoda, lengkap dengan
desahan dan erangan yang terdengar bagai simfony. Sampai terlintas di kepalanya
ketika istrinya itu bercinta dengan pria lain yang lebih kaya darinya.
Alan
kembali menggelengkan kepalanya. Memang benar itu caranya bertemu dengan Vivi
hingga meninggalkan Elis. Penyesalannya melepaskan Elis untuk Vivi terasa
seperti sedang terulang kembali. Tapi disisi lain Alan juga sudah merasa muak
dengan istrinya yang membuat langkahnya menjadi berat itu, belum lagi sekarang
kondisi Erik yang perlu waktu untuk sembuh.
Mengejar
ketertinggalannya dari Luis dan Damian jelas berat. Luis bahkan hanya santai
saja semuanya sudah berjalan mulus, petshopnya juga sekarang terlihat semakin
populer. Kalaupun Luis tak di rumah sakit lagi ia sudah punya usahanya sendiri.
Damian juga terlihat kembali aktif di rumah sakit meskipun hanya menangani
beberapa pasien saja sejak kabar kalau ia akan punya cucu.
Bahkan
Damian juga Luis tampak lebih bahagia dibandingkan sebelumnya. Luis juga bukan
tipe direktur yang menunjukkan ambisinya dan cenderung lebih banyak
memperhatikan saja. Gaya kepemimpinannya yang terlihat santai begitu berbeda
dengan Alan juga Damian dulu. Luis jauh lebih di sukai para pegawai, staf,
perawat hingga para dokter.
Sulit untuk
menghancurkan reputasinya terlebih jika Alan sudah tak punya bidak catur lagi
untuk melawan seperti ini. Sampai tiba-tiba ia teringat pada Stiven, dokter
muda penuh ambisi yang begitu patuh padanya. Alan mulai mengatur rencana untuk
menggunakannya sebagai bidak catur barunya.
***
Vivi
berjalan menuju ruang ICU tempat putranya dirawat dengan perasaan
berbunga-bunga. Ia baru pulang sebentar ke rumahnya dan sekarang ia datang
membawakan bekal makan siang buatannya sendiri yang sudah ia hias sedemikian
rupa untuk putranya. Vivi mungkin bukan ibu yang baik, kemampuan memasaknya
juga pas-pasan. Tapi ia ingat betul ia bisa sedikit memasak untuk putranya.
“Ibu
darimana?” tanya Erik dengan mata yang berkaca-kaca hendak menangis karena saat
bangun tak melihat ibunya.
“Tada!”
seru Vivi memamerkan masakannya pada Erik. “Tadi Ibu pulang sebentar, lihat
yang Ibu buat,” pamer Vivi dengan bangga yang di sambut senyum sumringah
putranya.
“Ibu nanti
dimarahi loh,” ucap Erik yang melihat makanan tak sehat yang dibuat ibunya.
“Tapi kau
suka kan?” tanya Vivi dengan senyum mengejeknya lalu tertawa pelan bersama Erik
sebelum mulai menyuapinya. “Putraku, makan…makan yang banyak, lalu sehat,” ucap
Vivi dengan segala kasih sayang dan optimismenya.
Damian
melihat Vivi dari luar, melihat Vivi yang begitu menyayangi Erik. Begitu
berbeda dengan Alan yang sampai sekarang tak nampak untuk menjenguk putranya
itu.
“Ayah…”
panggil Luis yang sedikit mengejutkan Damian.
Damian
hanya menoleh sejenak dan Luis ikut memperhatikan Vivi juga Erik. Luis mulai
mempertimbangkan keputusannya untuk mengekseskusi Erik. Erik bukan lawannya
lagi sekarang.
“Apa yang
kau lakukan disini?” tanya Damian.
“Kerja,”
jawab Luis singkat. “Ayah?”
“Kerja,”
jawab Damian tak kalah singkat lalu pergi berlalu begitu saja.
Sementara
Luis masih memperhatikan Erik yang sedang di suapi ibunya dengan penuh
kehangatan dan kasih sayang.
“Nanti kita
pindah, tidak usah bersama ayahmu lagi. Kau boleh mendaftar jadi guru saja
seperti Kakekmu atau tidak bekerja juga tidak apa-apa yang penting sehat Ibu
sudah bahagia,” ucap Vivi sembari mengelap sudut bibir putranya.