0
Home  ›  Chapter  ›  Poison

Bab 07 – Percepatan

 

Bab 07 – Percepatan-1

Luis mengantar Bela pulang. Luis ingin mengantar Bela menggunakan mobilnya. Tapi Bela memintanya mengantar sampai di halte bus saja.

“Terimakasih Dok…”

“Luis, panggil saja Luis. Aku sudah bukan seorang dokter sekarang.”

Bela tersenyum lalu mengangguk. “Luis…Luis…” Bela mengucap nama Luis beberapakali dengan senyum sumringahnya. Bela senang bisa selangkah lebih dekat dengan Luis.

Luis mengambil foto Bela tapi tak sengaja menyalakan flashnya. Luis langsung panik mencoba menyembunyikan ponselnya. Namun Bela yang terlanjur tau jika Luis berusaha diam-diam mengambil fotonya jadi tertawa.

“A-aku hanya…h-ha-hanya…”

Bela mendekatkan wajahnya pada Luis yang gugup sembari berpura-pura menatapnya dengan serius. Luis memalingkan wajahnya yang bersemu dengan malu-malu kucing lalu menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Bela kembali tertawa melihat respon Luis.

“Aku hanya ingin mengambil gambarmu, kau terlihat lebih cantik hari ini,” lirih Luis sembari memalingkan wajahnya menghindari tatapan Bela.

Bela tersenyum lalu mengangguk. Bela ingin mengambil foto Luis juga sebenarnya tapi tepat saat ia mengeluarkan ponselnya tiba-tiba bus yang ia tunggu datang. Bela langsung naik lalu melambaikan tangannya dengan ceria pada Luis yang masih terlihat gugup di halte.

Sampai bisnya menjauh dan Luis kembali melihat foto Bela yang baru ia ambil dengan senyum penuh arti.

***

Bela menghela nafas dengan berat begitu ia turun di halte dekat apartemennya. Waktu cepat sekali berlalu, terlebih saat Bela menghabiskannya bersama Luis atau bekerja. Bela melihat sepotong ayam goreng yang disisakan ayahnya.

“Makanlah,” ucap pria menyebalkan itu pada Bela.

Bela duduk lalu menyantap sepotong ayam yang di sisakan ayahnya. Bela ingin bertanya darimana ayahnya mendapatkan makanan karena Bela tak merasa membelikannya makanan kemarin. Tapi Bela enggan bicara dengan pria itu, Bela terlalu muak dengannya.

Setelah makan Bela langsung masuk kedalam kamarnya untuk beristirahat. Besok ia libur, Bela ingin menikmati hari liburnya untuk beristirahat sebenarnya. Tapi ia terlalu muak untuk tinggal di apartemennya saat ini. Ayahnya yang menyebalkan dan begitu senang memukulinya, belum lagi ucapannya yang kasar dan menyakitkan. Bela tak mau berlama-lama disana.

Tapi jika pergi Bela juga tidak tau harus pergi kemana. Harus menghabiskan waktu dimana lagi. Bahkan teman-temannya juga sudah tak memerlukannya untuk menggantikan sift jaga. Menyebalkan sekali jika liburnya hanya di habiskan untuk merawat ayahnya saja.

Namun terlepas dari itu semua Bela tetap memutuskan untuk tidur, beristirahat di kamarnya yang berbau seperti tempat sampah. Ayahnya terlalu jorok dan pemalas. Bela yang harus merawat semuanya tanpa mendapat apresiasi sedikitpun. Melelahkan, tapi inilah hidup.

“Bela! Bela! Bela!” teriakan Ayahnya yang memekakan telinga Bela.

Bela yang masih terlelap langsung bangun berlari menuju ayahnya yang tak sengaja menyenggol meja hingga luka di kakinya yang sudah mulai membusuk karena diabetesnya menganga kembali.

“Bela! Bodoh sekali kau ini! Kenapa lama sekali!” makinya lalu menjambak Bela yang mendekat dan bersiap mengobatinya.

Baca juga 29. Vol. 3 : Chapter 12

Bela langsung mendapat tendangan di kepalanya hingga kaki yang bernanah dan mulai membusuk itu mengotori rambutnya. Ayahnya semakin marah lalu kembali menendanginya. Nanah di kakinya yang membusuk semakin mengotorinya. Bau busuk yang tak tertahankan. Bela menjauh lalu masuk ke kamarnya kembali.

Bela menangis sembari mengunci kamarnya. Ia langsung mengambil ranselnya, Bela memasukkan seragamnya, juga beberapa pakaian dan barang-barang yang ia anggap penting dan berharga. Bela langsung keluar dari kamarnya. Ayahnya sudah membawa pisau hendak menyakitinya. Tapi langkah Bela jauh lebih cepat darinya.

Bela berlari sambil menangis. Ia benar-benar lelah dengan kehidupannya. Ibunya sudah tidak ada, polisi enggan menghukum ayahnya. Ia yang harusnya menjadi korban dan dilindungi malah terasa seperti tahanan yang harus menanggung hukuman seumur hidup karena harus tinggal bersama Ayahnya.

“Argh! Bajingan!” jerit Bela kesal sembari berlari sekuat tenaga menjauh dari tempat tinggalnya.

Bela langsung masuk kedalam bus yang berhenti di depan halte. Orang-orang tampak jijik dan menghindarinya. Bela menoleh ke spion, masih ada nanah kaki ayahnya yang begitu banyak dan bau mengotori kepalanya. Bela yang tau diri hanya bisa meringis dengan airmatanya yang berlinangan lalu berdiri sambil berpegangan pada tiang sendirian.

Bela tidak tau harus pergi kemana. Ia sungkan jika harus pergi kerumah Luis setiap kali ada masalah. Tapi hanya Luis yang mau menerimanya disaat seperti ini. Meskipun begitu akhirnya Bela memutuskan untuk pergi ke rumah sakit. Setidaknya jika ia tidak bekerja ia bisa menumpang mandi disana.

***

Pagi-pagi Luis mengetuk pintu apartemen Bela. Ia kembali datang membawakan makanan dan bertingkah layaknya kurir antar dengan jaket hitamnya. Luis kembali datang membawakan ayam goreng.

“Bela sudah membayarnya?” tanyanya begitu membuka pintu.

Luis mengangguk sambil tersenyum. Menguar bau nanah dan daging yang sudah membusuk ketika Ayah Bela membuka pintu.

“Kenapa kau tersenyum, hah?! Kau mengejekku?!” bentak Ayah Bela yang merasa terhina dengan keramahan Luis.

Luis langsung menggeleng lalu menatap pria menyebalkan itu dengan pandangannya yang tajam. Hilang sudah senyum ramahnya, suasana seketika menjadi canggung dan mencekam seiring dengan perubahan ekspresi wajah Luis.

“Bajingan! Kau menantangku hah?!” maki Ayah Bela yang begitu emosi.

Luis kembali menyunggingkan senyumnya. Ayah Bela perlahan mundur berusaha menutup pintu apartemennya namun Luis langsung menahannya. Luis melihat sebuah pisau yang tergeletak di lantai juga beberapa ceceran darah yang ada disana.

Luis langsung membelalakkan matanya, nafasnya menderu, tanpa babibu Luis langsung memukul Ayah Bela hingga terjengkang dan ambruk dalam sekali pukulan. Luis hendak memukulnya kembali namun tiba-tiba ia mendapat panggilan dari Bela. Luis langsung berhenti dan meninggalkan Ayah Bela untuk mengangkat panggilan dari Bela.

Baca juga 28. Vol.3 : Chapter 11

“L-Luis, aku ada di dekat tempat tinggalmu,” ucap Bela begitu Luis mengangkat telfonnya.

“A-ah tunggu sebentar aku sedang dalam perjalanan,” ucap Luis dengan ceria.

“Apa kau sedang sibuk?” tanya Bela memastikan.

“Tidak, aku baru keluar membeli makanan. Tunggu sebentar, kau mau ku bawakan sesuatu?”

“Tidak usah repot-repot, aku juga membawa makanan.” Bela tertawa kecil Luis bernafas lega bisa mendengar suara Bela yang begitu menyenangkan dan menenangkan hatinya. “Aku akan menunggu,” putus Bela.

Luis langsung bergegas pulang dan kembali menyempatkan diri untuk membeli ayam goreng untuk dinikmati bersama Bela dirumahnya nanti. Begitu Luis sampai, ia melihat Bela yang menunggu sembari memandangi duduk di trotoar. Rambutnya basah, kusut belum disisir, matanya juga bengkak, Luis langusng paham bila Ayah Bela baru saja melakukan hal buruk padanya. Tapi paling tidak kali ini Bela tak berbau seperti sabun pembersih toilet lagi.

“Bela!” sapa Luis lalu membuka gerbang mempersilahkan Bela masuk sementara ia memarkirkan mobilnya di dalam.

Bela dengan ceria masuk kedalam sembari menunggu Luis membukakan pintu untuknya. Tapi begitu Luis keluar dengan menenteng ayam goreng Bela langsung tertawa. Luis sempat menatapnya heran, tapi Bela juga menenteng plastik dari toko ayam goreng yang sama dengannya jadi mereka sama-sama tertawa.

“Ah! Sepertinya kita semakin sepemikiran sekarang,” ucap Luis lalu meletakkan plastik ayam gorengnya di atas meja, sementara Bela juga melakukan hal yang sama.

“Aku sungkan selalu datang tangan kosong,” saut Bela lalu membuka plastik ayam gorengnya.

“Rambutmu basah, kalau mau mandi…silahkan.” Bela langsung mengangguk dan tersenyum mendengar ucapan Luis yang sepertinya sudah paham dengan apa yang terjadi padanya.

“Dokter…”

“Luis, Luis saja.”

“L-Luis…”

“Hmm…”

“Terimakasih ya sudah menampungku, sudah baik padaku…”

Luis langsung melotot dan memasang telinganya betul-betul. Ia sudah merancang semuanya, dan hanya terlewat semalam saja rasanya Luis sudah ketinggalan banyak hal. Sekarang sepertinya pemilihan waktunya untuk melakukan eksekusi harus di percepat.

“K-Kenapa tiba-tiba?” Luis langsung duduk di sebelah Bela sembari menggenggam tangannya dengan khawatir.

Bela menggeleng pelan. Ia bingung harus cerita dari mana, atau meminta tolong yang seperti apa lagi. “Aku hanya kepikiran saja,” jawab Bela sekenanya.

Luis mengerutkan keningnya, Luis sudah bisa menebak ada yang tidak beres. Tapi ia langsung tersenyum dan berusaha baik-baik saja, ramah dan tanpa beban seperti biasa. Melanjutkan makannya bersama Bela sembari memperhatikan gadis itu yang memiliki beberapa memar baru lagi.

“Aku ada urusan sebentar, tolong jaga rumahku ya…” ucap Luis lalu bersiap pergi membawa tasnya juga ponsel dan kunci mobil tentu saja.

Bela mengangguk patuh. “Sampai makan malam?” tanya Bela memastikan.

Luis menggeleng pelan. “Harusnya tidak. Aku akan berusaha pulang cepat.”

“Aku akan memasak untukmu,” ucap Bela dengan senyum sumringahnya.

“Kalau begitu aku akan cepat pulang.”


39
Posting Komentar
Search
Menu
Theme
Share