0
Home  ›  Chapter  ›  Poison

Bab 10 – Paranoid

Bab 10 – Paranoid-1

Bela kembali tinggal di rumah Luis. Ia dapat uang konpensasi atas tindakan malpraktik yang dilakukan Erik, juga tidak perlu membayar biaya rumah sakit dan pemakaman selama tidak membawa masalah ini ke jalur hukum. Tentu Bela dengan senang hati menyetujuinya, toh ia juga memang tak ingin menuntut rumah sakit dari awal.

“Kau bisa istirahat saja Bela, tidak usah terlalu memaksakan diri,” ucap Luis begitu melihat Bela menyiapkan makan malam setelah banyak masalah yang harus ia hadapi di rumah sakit hari ini.

Bela mengangguk sambil tersenyum. “Aku sudah lega sekarang,” ucap Bela lalu menyajikan masakannya dan duduk bersama Luis untuk makan malam kali ini.

Luis tersenyum ikut senang mendengar ucapan Bela.

“Setidaknya aku dapat konpensasi, aku bisa mencari tempat tinggal baru,” ucap Bela.

Luis langsung tersedak mendengar rencana Bela. Ia merasa sudah memberi tempat tinggal yang baik dan nyaman untuk gadis itu. Tapi kenapa Bela malah menginginkan tempat tinggal baru lagi? Apa ini masih kurang?

“Maaf…” ucap Bela yang sadar sudah membuat Luis kaget dengan ucapannya barusan sambil mengambilkannya minum.

“Pindah kenapa?” tanya Luis setelah berhenti tersedak sambil menggenggam tangan Bela.

Bela menundukkan pandangannya sejenak. Dihatinya ia begitu nyaman bersama Luis, namun ia juga khawatir kalau bergantung pada Luis dan akan membebaninya.

“J-jangan pergi. Disini saja…aku tidak mau sendirian Bela…” ucap Luis yang terdengar memohon pada Bela dengan suara bergetar.

Bela terdiam kaget tak percaya dengan apa yang ia dengar dari mulut Luis.

“Aku sengaja keluar dari rumah sakit agar aku bisa dekat denganmu, kita bisa menghabiskan banyak waktu bersama, kau bisa tinggal dengan lebih baik dan aman denganku. Kumohon jangan pergi.” Luis mulai berkaca-kaca dan tampak begitu depresi.

Bela langsung mendekat pada Luis dan memeluknya begitu Luis mulai sesak nafas dan gemetar dengan airmatanya yang siap mengalir kapanpun ia berkedip itu. Luis langsung memeluk erat tubuh Bela, membenamkan wajahnya di tengkuk Bela dengan perasaan yang begitu rapuh dan selalu tersisihkan.

“Aku hanya memilikimu Bela, kalau kau juga pergi aku tidak tau harus bagaimana lagi…”

“T-tidak, aku tidak pergi…” ucap Bela menenangkan Luis sembari mengelus punggungnya.

Luis mengangguk lalu tersenyum meskipun airmatanya masih mengalir dan tampak begitu enggan melepaskan Bela.

“Aku akan terus disini, menemanimu,” ucap Bela lalu menyeka airmata Luis dengan ibujarinya.

“Janji?” tanya Luis penuh harap.

Bela langsung mengangguk dan mengecup kening Luis dengan lembut. “Janji.”

“Kau tidak boleh menarik ucapanmu lagi! Kau sudah berjanji! Jadi selamanya harus bersamaku!” ucap Luis yang masih terdengar merengek dan begitu rapuh seperti seorang anak kecil.

Bela tersenyum lalu mengangguk sebelum ia dan Luis akhirnya melanjutkan makannya. Luis juga makan bersamanya, meskipun ia tampak jauh lebih cemas sekarang dan beberapa kali tampak berusaha tetap menggenggam tangannya. Bela tak keberatan sama sekali dengan apa yang Luis lakukan, ini kali pertamanya ada orang lain selain mendiang ibunya yang begitu menyayanginya.

Luis juga membantu Bela mencuci piring dan merapikan dapur sebelum keduanya bersantai di ruang tengah.

“Aku mau mandi dulu,” ucap Bela setelah semua selesai.

“Ikut…” lirih Luis dengan cemas.

“Eh!” pekik Bela kaget sembari menepuk bahu Luis lembut.

Luis langsung sadar kesalahan yang ia ucapkan. “A-aku akan menunggu disini,” jawabnya gugup.

Bela tersenyum lalu mengangguk.

“B-Bela, aku tidak akan mengintip. T-tapi kalau aku memintamu untuk tidak mengunci pintunya apa kau akan marah?” pinta Luis dengan gugup.

Bela menghela nafasnya lalu mengangguk patuh menuruti permintaan Luis. Bela bersiap mandi dan Luis terdengar samar dari dalam kamar mandi sedang menyalakan musik. Claire de Lune yang selalu menemaninya selama entah berapa lama itu mulai beralun. Dari luar Luis samar mendengar suara air yang mulai menyala.

“Bela…” panggil Luis.

“Ya?” saut Bela yang tak mendapat jawaban lagi dari Luis yang memanggilnya. “Sebentar lagi,” ucap Bela lalu segera menyelesaikan mandinya.

Luis berdiri di samping pintu kamar mandi bersandar di tembok dan tampak begitu cemas.

“Ah! Astaga!” pekik Bela kaget begitu keluar kamar mandi mendapati Luis yang berdiri disana menantinya.

Luis tersenyum melihat reaksi Bela. “Maaf, aku hanya ingin memastikan kau tidak pergi,” ucap Luis lalu memeluk Bela.

Baca juga 29. Vol. 3 : Chapter 12

Bela menghela nafas lalu tertawa pelan. “Sudah mandi?” tanya Bela.

Luis mengangguk pelan lalu mengikuti langkah Bela masuk ke kamarnya sendiri. Luis memperhatikan apapun yang Bela lakukan, mulai menyisir rambutnya, memakai lotion, mengobati tiap lukanya sendiri sampai akhirnya Luis mendekat untuk membantu.

“Ambilah cuti lebih lama, aku akan membayar gajimu full jika kau mengambil cuti,” pinta Luis sambil menutup salep setelah mengobati Bela.

“Nanti aku dipecat…” lirih Bela.

“Kau bisa bekerja untukku,” ucap Luis santai lalu menggenggam tangan Bela membawanya ke kemarnya.

Bela sudah khawatir dan takut jika Luis akan melakukan sesuatu yang buruk padanya. Meskipun Bela menyukai Luis ia merasa masih belum cukup dekat jika harus seintim ini. Kekhawatiran jika Luis akan memperkosanya juga langsung terbersit di pikirannya. Selain itu meskipun Luis begitu baik padanya bukan berarti ia tak memiliki hasrat sexsual. Bela sudah begitu ketakutan sampai akhirnya Luis hanya tiduran sambil memeluk lengannya, hanya sebatas mematikan jika Bela masih bersamanya, disampingnya.

“Maaf ya…” lirih Bela lalu memiringkan tubuhnya untuk menatap Luis yang tidur di sampingnya.

“Kenapa?” tanya Luis dengan alisnya yang bertaut.

“Tadi, aku terpikir untuk memiliki tempat tinggal sendiri...”

“Jangan…disini saja,” sela Luis.

Bela mengangguk. “Tadi aku hanya khawatir jika aku terus disini akan membebanimu, jadi aku berfikir untuk pindah.”

“Tidak, jangan bilang begitu!” Luis mengerutkan keningnya lalu memeluk tubuh Bela. “Obatku mulai bekerja, aku mengantuk.”

***

 Alan melihat putranya yang terus mencuci tangan belakangan ini. Seluruh pegawai di rumah sakit baik dokter maupun perawat bahkan sampai petugas kebersihan dan satpam tau jika Erik baru saja melakukan tindakan malpraktik. Gosip seputar pembedaan sikap rumah sakit pada Erik dan Luis juga Stiven bergulir bagai bola salju.

Semua orang ingat betul bagaimana Luis yang langsung di keluarkan, meskipun ia mengoprasi ibunya sendiri dan jelas tak ada yang menuntutnya. Begitu pula dengan Stiven yang tak mendapat tuntutan tapi harus mengundurkan diri dan sekarang harus memulai semua dari awal. Tatapan orang-orang juga terlihat aneh dan tak sehangat dulu lagi pada Erik begitu rumah sakit mengeluarkan Bela.

Memang tak banyak yang peduli pada Bela. Tapi mereka semua tau jika Bela adalah perawat yang rajin, sabar dan punya semangat kerja yang tinggi. Bela juga cukup pintar dan mudah menerima masukan juga arahan. Sangat tidak masuk akal ketika ia tidak terpilih karena sempat mengambil cuti. Padahal selama ia magang hampir tak pernah mengambil jatah liburnya dan ia gagal karena cuti di hari pemakaman ayahnya. Kejam.

“Hati-hati, keluarga dokter Alan yang memegang kendali,” celetuk tiap orang di sudut rumah sakit yang terdengar seperti lebah yang berdengung.

“Tidak punya malu ya…” ucap orang-orang yang berbisik di belakang Erik maupun Alan.

Erik jelas tau, ia mendengar semuanya dengan begitu jelas. Itu sebabnya ia merasa begitu kotor dan bersalah sekarang. Bahkan tiap kali ia melihat tangannya ia masih bisa merasakan darah saat ia melakukan oprasi. Entah berapa kali ia mencuci tangannya, bahkan hingga lecet sekalipun ia tetap tak mau berhenti. Di matanya ia masih begitu kotor hingga jadi bahan gunjingan.

 

Bab 10 – Paranoid

Bela kembali tinggal di rumah Luis. Ia dapat uang konpensasi atas tindakan malpraktik yang dilakukan Erik, juga tidak perlu membayar biaya rumah sakit dan pemakaman selama tidak membawa masalah ini ke jalur hukum. Tentu Bela dengan senang hati menyetujuinya, toh ia juga memang tak ingin menuntut rumah sakit dari awal.

“Kau bisa istirahat saja Bela, tidak usah terlalu memaksakan diri,” ucap Luis begitu melihat Bela menyiapkan makan malam setelah banyak masalah yang harus ia hadapi di rumah sakit hari ini.

Bela mengangguk sambil tersenyum. “Aku sudah lega sekarang,” ucap Bela lalu menyajikan masakannya dan duduk bersama Luis untuk makan malam kali ini.

Luis tersenyum ikut senang mendengar ucapan Bela.

“Setidaknya aku dapat konpensasi, aku bisa mencari tempat tinggal baru,” ucap Bela.

Luis langsung tersedak mendengar rencana Bela. Ia merasa sudah memberi tempat tinggal yang baik dan nyaman untuk gadis itu. Tapi kenapa Bela malah menginginkan tempat tinggal baru lagi? Apa ini masih kurang?

“Maaf…” ucap Bela yang sadar sudah membuat Luis kaget dengan ucapannya barusan sambil mengambilkannya minum.

Baca juga 28. Vol.3 : Chapter 11

“Pindah kenapa?” tanya Luis setelah berhenti tersedak sambil menggenggam tangan Bela.

Bela menundukkan pandangannya sejenak. Dihatinya ia begitu nyaman bersama Luis, namun ia juga khawatir kalau bergantung pada Luis dan akan membebaninya.

“J-jangan pergi. Disini saja…aku tidak mau sendirian Bela…” ucap Luis yang terdengar memohon pada Bela dengan suara bergetar.

Bela terdiam kaget tak percaya dengan apa yang ia dengar dari mulut Luis.

“Aku sengaja keluar dari rumah sakit agar aku bisa dekat denganmu, kita bisa menghabiskan banyak waktu bersama, kau bisa tinggal dengan lebih baik dan aman denganku. Kumohon jangan pergi.” Luis mulai berkaca-kaca dan tampak begitu depresi.

Bela langsung mendekat pada Luis dan memeluknya begitu Luis mulai sesak nafas dan gemetar dengan airmatanya yang siap mengalir kapanpun ia berkedip itu. Luis langsung memeluk erat tubuh Bela, membenamkan wajahnya di tengkuk Bela dengan perasaan yang begitu rapuh dan selalu tersisihkan.

“Aku hanya memilikimu Bela, kalau kau juga pergi aku tidak tau harus bagaimana lagi…”

“T-tidak, aku tidak pergi…” ucap Bela menenangkan Luis sembari mengelus punggungnya.

Luis mengangguk lalu tersenyum meskipun airmatanya masih mengalir dan tampak begitu enggan melepaskan Bela.

“Aku akan terus disini, menemanimu,” ucap Bela lalu menyeka airmata Luis dengan ibujarinya.

“Janji?” tanya Luis penuh harap.

Bela langsung mengangguk dan mengecup kening Luis dengan lembut. “Janji.”

“Kau tidak boleh menarik ucapanmu lagi! Kau sudah berjanji! Jadi selamanya harus bersamaku!” ucap Luis yang masih terdengar merengek dan begitu rapuh seperti seorang anak kecil.

Bela tersenyum lalu mengangguk sebelum ia dan Luis akhirnya melanjutkan makannya. Luis juga makan bersamanya, meskipun ia tampak jauh lebih cemas sekarang dan beberapa kali tampak berusaha tetap menggenggam tangannya. Bela tak keberatan sama sekali dengan apa yang Luis lakukan, ini kali pertamanya ada orang lain selain mendiang ibunya yang begitu menyayanginya.

Luis juga membantu Bela mencuci piring dan merapikan dapur sebelum keduanya bersantai di ruang tengah.

“Aku mau mandi dulu,” ucap Bela setelah semua selesai.

“Ikut…” lirih Luis dengan cemas.

“Eh!” pekik Bela kaget sembari menepuk bahu Luis lembut.

Luis langsung sadar kesalahan yang ia ucapkan. “A-aku akan menunggu disini,” jawabnya gugup.

Bela tersenyum lalu mengangguk.

“B-Bela, aku tidak akan mengintip. T-tapi kalau aku memintamu untuk tidak mengunci pintunya apa kau akan marah?” pinta Luis dengan gugup.

Bela menghela nafasnya lalu mengangguk patuh menuruti permintaan Luis. Bela bersiap mandi dan Luis terdengar samar dari dalam kamar mandi sedang menyalakan musik. Claire de Lune yang selalu menemaninya selama entah berapa lama itu mulai beralun. Dari luar Luis samar mendengar suara air yang mulai menyala.

“Bela…” panggil Luis.

“Ya?” saut Bela yang tak mendapat jawaban lagi dari Luis yang memanggilnya. “Sebentar lagi,” ucap Bela lalu segera menyelesaikan mandinya.

Luis berdiri di samping pintu kamar mandi bersandar di tembok dan tampak begitu cemas.

“Ah! Astaga!” pekik Bela kaget begitu keluar kamar mandi mendapati Luis yang berdiri disana menantinya.

Luis tersenyum melihat reaksi Bela. “Maaf, aku hanya ingin memastikan kau tidak pergi,” ucap Luis lalu memeluk Bela.

Bela menghela nafas lalu tertawa pelan. “Sudah mandi?” tanya Bela.

Luis mengangguk pelan lalu mengikuti langkah Bela masuk ke kamarnya sendiri. Luis memperhatikan apapun yang Bela lakukan, mulai menyisir rambutnya, memakai lotion, mengobati tiap lukanya sendiri sampai akhirnya Luis mendekat untuk membantu.

“Ambilah cuti lebih lama, aku akan membayar gajimu full jika kau mengambil cuti,” pinta Luis sambil menutup salep setelah mengobati Bela.

“Nanti aku dipecat…” lirih Bela.

“Kau bisa bekerja untukku,” ucap Luis santai lalu menggenggam tangan Bela membawanya ke kemarnya.

Bela sudah khawatir dan takut jika Luis akan melakukan sesuatu yang buruk padanya. Meskipun Bela menyukai Luis ia merasa masih belum cukup dekat jika harus seintim ini. Kekhawatiran jika Luis akan memperkosanya juga langsung terbersit di pikirannya. Selain itu meskipun Luis begitu baik padanya bukan berarti ia tak memiliki hasrat sexsual. Bela sudah begitu ketakutan sampai akhirnya Luis hanya tiduran sambil memeluk lengannya, hanya sebatas mematikan jika Bela masih bersamanya, disampingnya.

“Maaf ya…” lirih Bela lalu memiringkan tubuhnya untuk menatap Luis yang tidur di sampingnya.

“Kenapa?” tanya Luis dengan alisnya yang bertaut.

“Tadi, aku terpikir untuk memiliki tempat tinggal sendiri...”

“Jangan…disini saja,” sela Luis.

Bela mengangguk. “Tadi aku hanya khawatir jika aku terus disini akan membebanimu, jadi aku berfikir untuk pindah.”

“Tidak, jangan bilang begitu!” Luis mengerutkan keningnya lalu memeluk tubuh Bela. “Obatku mulai bekerja, aku mengantuk.”

***

 Alan melihat putranya yang terus mencuci tangan belakangan ini. Seluruh pegawai di rumah sakit baik dokter maupun perawat bahkan sampai petugas kebersihan dan satpam tau jika Erik baru saja melakukan tindakan malpraktik. Gosip seputar pembedaan sikap rumah sakit pada Erik dan Luis juga Stiven bergulir bagai bola salju.

Semua orang ingat betul bagaimana Luis yang langsung di keluarkan, meskipun ia mengoprasi ibunya sendiri dan jelas tak ada yang menuntutnya. Begitu pula dengan Stiven yang tak mendapat tuntutan tapi harus mengundurkan diri dan sekarang harus memulai semua dari awal. Tatapan orang-orang juga terlihat aneh dan tak sehangat dulu lagi pada Erik begitu rumah sakit mengeluarkan Bela.

Memang tak banyak yang peduli pada Bela. Tapi mereka semua tau jika Bela adalah perawat yang rajin, sabar dan punya semangat kerja yang tinggi. Bela juga cukup pintar dan mudah menerima masukan juga arahan. Sangat tidak masuk akal ketika ia tidak terpilih karena sempat mengambil cuti. Padahal selama ia magang hampir tak pernah mengambil jatah liburnya dan ia gagal karena cuti di hari pemakaman ayahnya. Kejam.

“Hati-hati, keluarga dokter Alan yang memegang kendali,” celetuk tiap orang di sudut rumah sakit yang terdengar seperti lebah yang berdengung.

“Tidak punya malu ya…” ucap orang-orang yang berbisik di belakang Erik maupun Alan.

Erik jelas tau, ia mendengar semuanya dengan begitu jelas. Itu sebabnya ia merasa begitu kotor dan bersalah sekarang. Bahkan tiap kali ia melihat tangannya ia masih bisa merasakan darah saat ia melakukan oprasi. Entah berapa kali ia mencuci tangannya, bahkan hingga lecet sekalipun ia tetap tak mau berhenti. Di matanya ia masih begitu kotor hingga jadi bahan gunjingan.

 

39
Posting Komentar
Search
Menu
Theme
Share