0
Home  ›  Chapter  ›  Poison

Bab 21 – Perangkap

 

Bab 21 – Perangkap-1

“Kau bahkan lebih buruk dari dr. Luis, jauh lebih buruk. Bahkan hatimu juga penuh rasa dengki dan iri! Kau iblis Stiven!” jerit Ema tak kuasa menahan amarahnya lagi.

Luis mendelik bingung dengan segala makian yang Ema berikan pada Stiven. Entah apa yang Stiven katakan pada Ema sebelumnya, tapi yang jelas Luis jadi tau jika Stiven coba menghasut orang-orang.

“Aku tidak mau mengganggu pertengkaran kalian, tapi tolong keluar jika tidak memiliki keperluan lain selain berdebat disini,” usir Luis yang membuat Stiven tak berkutik dan Ema hanya bisa diam dalam tangisnya.

“Ema…” lirih Stiven.

“Pergi! Aku mau disini!” usir Ema yang mau tak mau membuat Stiven hanya bisa mengalah dan pergi dari sana.

Luis menghela nafas, sementara Rey bingung harus bagaimana. Ia bukan seorang malaikat apalagi Tuhan, kuasanya hanya sebatas perantara penyembuh bagi para hewan. Ini jelas bukan porsinya sebagai dokter untuk memberi nyawa, meskipun ia tau betapa sedihnya Ema sekarang apalagi Ciko juga sudah sampai mengalami pembusukan.

“Ema, aku bingung harus apa. Kami hanya dokter biasa, kami hanya perantara untuk menyembuhkan. Ini juga hanya pet shop bukan toko keajaiban,” ucap Luis bersimpati sembari menatap Ciko yang mengenaskan lalu memakai maskernya.

Ema hanya diam lalu memilih setuju untuk proses pemakaman Ciko yang di bantu oleh Luis dan Rey. Karena sadar semua sudah terlanjur, Luis juga tak meminta biaya sepeserpun atas bantuannya kali ini. Sementara Rey pergi menemani Ema untuk memakamkan Ciko.

“Rey, pizamu ku letakkan disini,” ucap Bela yang sudah membagi tiga pizanya.

Rey hanya mengangguk lalu pergi bersama Ema. Sementara Luis dan Bela menunggu kios bersama dan tak keberatan sama sekali dengan apa yang Rey lakukan.

“Kasian ya Ciko,” ucap Bela sembari menikmati pizanya.

Luis mengangguk setuju namun terlihat biasa saja dengan insiden barusan.

“Coba saja masih di titipkan disini, pasti masih hidup, masih sehat,” ucap Bela lagi yang kembali di angguki Luis.

“Kau tau, ternyata Ema memindahkan Ciko waktu itu karena Stiven menceritakan hal buruk tentangku padanya. Ku rasa Stiven bukan teman yang baik untuk kita,” ucap Luis lalu menghela nafas.

Bela langsung berhenti mengunyah sejenak lalu menghela nafasnya dengan begitu berat sebelum akhirnya mengangguk. “Kurasa begitu, ibunya juga selalu memintanya menjauhiku dari dulu,” ucap Bela setuju lalu kembali makan. “Oh iya, bagaimana tadi?” tanya Bela antusias dengan kehidupan Luis hari ini.

“Biasa, aku datang lalu duduk, mengobrol. Rasanya seperti melihat diriku dimasalalu lagi,” ucap Luis sambil mengangguk dan tersenyum canggung.

Baca juga 29. Vol. 3 : Chapter 12

Bela menghentikan makannya lalu mendekat pada Luis untuk mendekapnya. Bela khawatir pertemuan singkat Luis dan Erik di rumah sakit tadi bisa memicu traumanya kembali.

Luis tersenyum menyambut pelukan Bela lalu memangku gadisnya itu sambil mencium keningnya. “Menurutmu aku perlu mengundang Erik?” tanya Luis sembari mengambil tisu.

“Terserah, kalau itu memicu traumamu tidak usah,” jawab Bela lalu bersandar di dada Luis.

Luis tersenyum lalu mengangguk dan mengelus pinggang Bela. “Ah, tadi harusnya aku beli makanan yang lebih sehat,” ucap Luis mengalihkan pembicaraan.

***

Rey menemani Ema ke tempat kremasi binatang yang sudah di booking sebelumnya. Ema hanya diam sementara Rey juga bingung harus menghiburnya bagaimana. Selama hampir dua jam ia menemani Ema di sana hingga semua selesai dan abu Ciko masuk dalam gucinya.

“Apa kau bisa menemaniku mengambil barang-barangku di tempat Stiven?” tanya Ema yang jelas di angguki Rey.

Stiven tak tampak di apartemennya ketika Ema datang bersama Rey. Ema langsung mengambil barang-barang Ciko dan makanan anjing yang ia kirim dua hari lalu yang belum di buka sama sekali oleh Deby. Tentu Deby tidak membukanya karena ia memberikan makanan anjing yang di kirim Luis bukan Deby yang datang terlambat.

“Loh…” gumam Ema pelan heran karena makanan yang ia kirim tak dibuka sama sekali ketika ia masuk ke dalam mobil.

Lalu Ema melihat ke tong sampah disamping tempatnya parkir. Ia melihat sampah berisi bungkus sisa makanan anjing dan suntikan juga tub obat dan langsung memungutnya. T61 hanya tulisan itu yang terbaca oleh Ema sebelum membawanya masuk.

“Ow! Apa Ciko sakit sebelumnya?” tanya Rey pada Ema begitu melihat tub obat yang ia bawa masuk.

“T-tidak…” jawab Ema gugup.

“T61, biasanya di gunakan untuk anjing yang sudah sakit parah atau tua. Kami akan menyuntikkannya agar anjing-anjing itu mati dengan tenang tanpa rasa sakit,” ucap Rey menjelaskan tub obat yang Ema bawa.

“Hah?!” pekik Ema kaget. “C-Ciko baru berusia 4 tahun, dia juga sehat. Kemarin memang dia sempat ada luka karena berkelahi, tapi dia sehat,” ucap Ema tak percaya.

Baca juga 28. Vol.3 : Chapter 11

Rey mendelik kaget, sekarang semua jadi terasa janggal. Rey yang sebelumnya mengira jika Ciko kemungkinan mati karena perawatan yang buruk dan sempat mengira keracunan biasa karena ya…anjing biasanya memakan makanan secara sembarangan jika tidak dalam pengawasan dan sedang kelaparan. Ini naluri alaminya sebagai hewan. Kini Rey jadi curgia pada Stiven karena hanya dokter yang paham soal penggunaannya dan obat juga suntikan itu.

Rey langsung meraih tub obat dan suntikan yang di pungut Ema. “Hanya dokter yang bisa melakukannya serapi ini,” ucapnya sembari mengamati bekas suntikan di tutup tubnya.

Tak berselang lama suara telfon Rey berbunyi. Rey langsung mengangkat telfonnya, terdengar suara Bela yang memintanya cepat kembali karena ada pasien.

“Aku harus kembali ke kios,” ucap Rey yang di angguki Ema.

Ema masih ikut ke kios menemani Rey. Ema juga masih teringat cerita soal Luis yang katanya aneh dan kemungkinan membunuh ayah Bela menurut cerita dari Stiven. Tapi sekarang ia jadi curgia pada Stiven juga karena ia seorang dokter dan tiba-tiba memintanya memindahkan Ciko, juga baru melakukan mal praktek.

“A-aku tidak berani…” ucap Luis yang gemetar memegang suntikan dan tub vitamin untuk kucing yang datang hari ini.

Sementara Bela tak berani karena kucingnya begitu agresif dan hanya berani menyiapkan peralatan saja. Rey langsung bersiap-siap dengan tugasnya yang akhirnya sesuai dengan studinya. Sementara Ema yang kembali datang dan melihat betapa gemetarnya Luis hingga matanya yang berkaca-kaca karena masih trauma, terlihat jauh dari dugaan dan tuduhan yang Stiven tuduhkan padanya.

“dr. Luis masih trauma, jadi dia hanya bisa sebatas meneteskan vitamin, memotong kuku, grooming, sebatas itu saja,” ucap Bela pada Ema yang dari tadi melihat Luis.

“Ah seperti itu,” ucap Ema lalu mengangguk paham dan semakin yakin ketika melihat Luis memeluk Bela mencari ketenangannya.

“Sudah tidak apa-apa, kan ada Rey,” ucap Bela menenangkan Luis.

“Aku khawatir kalau nanti anjingnya kenapa-napa setelah dari sini,” ucap Luis yang terlihat khawatir.

“Aman, semuanya aman terkendali!” ucap Rey penuh rasa percayadiri.

Ucapan Stiven soal Luis sekarang terdengar bagai omong kosong bagi Ema. Belum lagi saat ia melihat Luis dan Bela yang kembali menjaga peliharaan yang di titipkan disana dengan penuh kasih sayang. Semakin sulit baginya melihat Luis sebagai orang yang berbahaya atau psychopat gila seperti yang Stiven katakan.

“K-kalau dr. Luis tidak bisa menyuntik lalu kenapa membuka klinik juga?” tanya Ema memberanikan diri.

Luis langsung meringis dengan polosnya. “Awalnya ku kira hanya perlu memberi vitamin saja. Tapi setelah ada Rey dan klinikku bisa menerima banyak dokter hewan aku jadi tenang. Aku dan Bela juga suka bermain dengan hewan, mereka membuat kami lebih rileks,” ucap Luis sembari mengelus kucing yang selalu naik ke pangkuannya.

Ema mengangguk paham, penjelasan Luis masuk akal. Terdengar lebih masuk akal lagi karena Stiven sempat bilang kalau Luis pernah di rawat di bangsal jiwa. Tapi terlepas dari itu semua Luis terlihat baik. Mungkin memang masuk bangsal jiwa terdengar horor, tapi bisa saja masuk ke sana karena traumanya setelah mal praktik bukan karena kondisi kejiwaan ekstrim lainnya.

“Oh iya, tadi Ema menemukan botol T61 di tempat sampah apartemen,” ucap Rey sembari berjalan ke dapur untuk mengambil pizanya dan berencana membaginya dengan Ema.

“Oh ya?” saut Luis kaget lalu Ema menunjukkan botol yang ia temukan. “Dari bekasnya ini pasti sudah berpengalaman,” ucap Luis yang tidak beda jauh dengan statement Rey.

Ema mengerutkan keningnya lalu menatap Luis sebelum ia mulai melihat ke tempat sampah dan sudah ada dua suntikan patah juga tub obat yang terbuang percuma. Jelas bukan Luis pelakunya, melihat kejadian sebelumnya tadi di tambah bekas obat di tempat sampah jelas tak mungkin Luis yang melakukannya.

“Apa disini juga menjual ini?” tanya Ema kembali memastikan.

Luis mengangguk. “Aku hanya menyediakan 1 saja, jika ada kebutuhan yang sangat darurat. Ku rasa tidak ada orang yang ingin membunuh hewan peliharaannya juga, jadi ya…ada…hanya satu,” jawab Luis lalu bangun untuk menunjukkan tub obat T61nya.

“Apa perlu izin untuk membeli ini?” tanya Ema yang kembali di angguki Luis.

“Ini kan racun, berbahaya. Selain itu ini harus memakai suntikan,” jelas Luis yang di ikuti Rey yang mengangguk setuju dengan penjelasannya. “Tapi kalau kau seorang dokter atau tenaga medis tidak perlu ijin,” lanjutnya lalu menghela nafas.

“Luis, aku mau ke swalayan sebentar,” ucap Bela.

“Ikut!” seru Luis tanpa pikir panjang. “Rey aku pergi dulu, kau bawa kuncinya tidak masalah. Kalau Ema mau ikut menjaga kios juga boleh,” ucap Luis lalu buru-buru menyusul Bela.

Tak mungkin Luis pelakunya, tak mungkin Luis seburuk cerita dan kecurigaan Stiven. Hanya itu yang terlintas di benak Ema. Luis begitu penyayang meskipun punya trauma. Luis juga terlihat begitu manja pada Bela yang selalu menguatkan dan menutupi kerapuhannya. Tidak masuk akal orang seperti Luis melakukan hal sekeji itu.

39
Posting Komentar
Search
Menu
Theme
Share