0
Home  ›  Chapter  ›  Poison

Bab 33 – Lingkaran Setan

 

Bab 33 – Lingkaran Setan-1

“Tadi aku sempat bertemu dr. Heny,” ucap Rey bercerita pada Luis yang mampir sebentar ke kiosnya sebelum pulang sekaligus mampir membeli bunga untuk Bela seperti biasanya.

Luis mengangguk dengan wajah datarnya sembari mengecek kasir dan laporan keuangan hari ini. “Apa saja yang sudah habis?” tanya Luis memeriksa persediaan di kiosnya. “Vitamin? Obat? Bagaimana?” Luis kembali memastikan kondisi persediaan di kiosnya enggan membahas soal Heny atau hal lain di luar urusan pet shopnya.

“Obat kutu, vaksin, belakangan ini vaksin sedang banyak yang perlu vaksin,” ucap Rey yang sadar jika Luis enggan membahas soal apapun terkait Stiven.

“Emm…” Luis langsung memesankan semua yang Rey minta. “Ada masalah?” tanya Luis sembari menatap Rey sekilas juga dokter hewan lain yang berkumpul di sekitarnya.

“Suntikan Dok,” jawab Rey sembari ikut memeriksa apa saja yang sudah habis.

Luis mengangguk pelan. “Ada komplain?” tanya Luis memastikan kinerja karyawannya.

“Tidak, aman,” jawab Ema dengan bangga.

Luis kembali mengangguk lalu mengacungkan jempolnya. “Oke begitu saja, aku pulang dulu. Istriku di rumah sendiriaan,” ucap Luis lalu pergi membawa uang yang ada di kasir dan menyisakan uang kecil untuk kembalian saja. “Aku pesan piza untuk kalian,” lanjut Luis lalu pergi dari kiosnya untuk mengambil bunga pesanannya sebelum pulang.

“Tampan sekali dr. Luis, lebih tampan daripada yang ada di internet,” puji dokter hewan baru yang bekerja di pet shop.

Ema mengangguk setuju. “Dia juga royal dan romantis,” Ema ikut memuji.

***

Luis memandangi surat pengunduran diri Heny yang perlu ia setujui. Luis kenal betul siapa Heny dan apa yang akan ia lakukan setelah tau sedikit banyak tentangnya. Luis hanya mengerutkan keningnya memikirkan cara terbaik untuk membungkam atau menyingkirkan Heny.

Baca juga 29. Vol. 3 : Chapter 12

“Aku pulang,” ucap Luis begitu sampai rumah.

“Sayang?” saut Bela dari dalam sembari menyiapkan makan malam dengan begitu sibuk.

“Hey, aku kan sudah bilang jangan terlalu repot menyiapkan makan malam,” ucap Luis yang melihat banyak hidangan di meja makannya dan melihat istrinya yang masih memotong melon di dapur.

Bela tersenyum lembut lalu meletakkan pisaunya untuk memeluk Luis. “Iya, tapi dari tadi aku bosan jadi aku sibuk memasak saja daripada bingung. Oh iya, tadi dr. Heny menelfonku…”

“Kenapa?” sela Luis sembari mengerutkan keningnya bingung.

“Entah, tadi dia hanya tanya bagaimana kondisimu. Kurasa hanya sebatas pemantauan kesehatan saja,” jawab Bela sembari memejamkan matanya membiarkan Luis mengecup keningnya. “Tapi kondisimu kan sudah setabil, sehat, tidak asam lambung, hanya sebatas mudah cemburu menurutku bukan masalah,” sambung Bela yang di angguki Luis dengan senyum leganya.

“Tentu saja! Bagaimana aku tidak cemburu kalau istriku di dekati pria lain? Menurutku semua pria normal akan cemburu ke istrinya,” ucap Luis sembari kembali mengecup kening Bela dengan lembut.

Bela mengangguk dengan senyum manisnya. “Mandi, setelah itu makan,” ucap Bela lembut lalu kembali melanjutkan memotong melonnya.

Luis mengangguk lalu berjalan ke kamar sembari Bela masih menyiapkan makan malam. Baru setelahnya pergi ke kamar mandi untuk cuci muka dan pipis untuk kesekian kalinya hingga Bela malas memakai celana dalamnya. Luis cukup lama mandi jadi Bela memilih untuk menunggu sembari bersantai di sofa sembari menonton chanel TV baru yang di atur Luis.

“Sayang masih lama tidak?” tanya Bela dari ruang tengah.

“Iya!” saut Luis lalu mematikan ponselnya dan meletakkannya di atas meja kerjanya sebelum makan malam bersama Bela.

Baca juga 28. Vol.3 : Chapter 11

“Sayang, kau mau aku memakai yang warna apa untuk nanti malam?” tanya Bela menggoda Luis lebih awal yang membuat suaminya tersenyum sumringah dan kembali ceria.

***

Heny merasa semua langkahnya sudah salah sekarang. Mengingat ia terlalu gegabah menelfon Bela yang jelas sedang kasmaran dengan Luis dan pasti Luis mengontrolnya. Heny benar-benar merutuki dirinya dan segala kecerobohannya. Panggilan tak terjawab dari Luis ditambah dengan pesan dari Luis yang hanya mengirim stiker tersenyum sudah cukup menggertaknya.

Tak berapa lama ia juga dapat notifikasi di emailnya kalau Luis menyetujui cuti melahirkannya bukan pengunduran dirinya. Bahkan Luis juga mengirimkan perpanjangan masa kerjanya sebagai dokter yang membuat Heny semakin terancam. Keinginannya untuk menguak kebenaran mulai goyah.

Luis punya segala hal yang memungkinkannya untuk datang kapanpun tanpa ada yang mencurigainya. Statusnya sebagai direktur, namanya yang seketika jadi bersih, wajah dan perilakunya di depan umum yang begitu mempesona. Luis begitu mudah lepas dari segala kecurigaan.

“Sayang, dr. Luis mantanmu itu. Dia mau datang ke acara makan malam perusahaanku…”

Habis sudah Heny yang jadi ikut terseret masuk kedalam kegilaan Luis. Hilang sudah kesempatannya untuk kabur atau mencari alasan untuk menjauh. Suaminya juga tampak senang dengan Luis sekarang karena usahanya sebagai penyedia alat kesehatan akan sangat menguntungkan jika bisa bekerja sama dengan rumah sakit yang di pimpin Luis.

“A-ah…begitu…” Heny benar-benar kikuk dan gugup sekarang.

***

Jemari Erik mulai bergerak, berangsur-angsur membaik seiring terkumpulnya kesadarannya setelah sekian lama koma. Vivi yang setia selalu disampingnya begitu tak percaya melihat keajaiban yang akhirnya datang pada putranya. Vivi langsung menekan bel untuk memanggil perawat maupun dokter jaga.

“I-ibu…” lirih Erik untuk pertama kalinya mencari ibunya.

Kondisi Erik terus membaik, setelah kesadarannya. Detak jantungnya, oksigennya, kesadarannya, ingatannya. Semua membaik benar-benar membaik dan Vivi terus menangis bahagia dan lega karena doanya terjawab. Putranya masih diberi kesempatan untuk bersamanya.

“Ayo kita mulai hidup baru, hanya Ibu dan putra kesayangan Ibu saja. Tidak usah memikirkan apapun lagi, tidak usah mengejar sesuatu yang semu lagi,” ucap Vivi yang di angguki Erik sembari menggenggam erat tangan Vivi.

“Ibu…jangan meninggalkanku lagi…” lirih Erik dengan airmatanya yang mulai berlinangan.

Vivi langsung mengangguk dengan cepat dan dengan penuh keyakinan menandatangani berkas perceraiannya dengan Alan. Tak ada ketakutan lagi dalam hatinya, tak ada kekhawatiran lagi dalam pikirannya. Entah soal gaya hidupnya atau segala fasilitasnya yang akan hilang.

Vivi hanya ingin menebus kesalahannya, membawa Erik bersamanya. Merawat putranya kembali dari awal dengan baik. Tanpa memaksanya untuk menjadi dokter, memaksanya menjadi robot yang harus memenangkan segala pertandingan dengan Luis. Tanpa ada persaingan lagi, hanya Vivi dan putranya yang mengejar mimpi sederhana dengan hidup yang sederhana juga.

“Ibu…” panggil Erik begitu melihat ibunya sibuk menandatangani berkas-berkas.

“Iya…” saut Vivi lalu meletakkan berkasnya dan mulai menggenggam tangan Erik lagi. “Ibu disini, Ibu selalu disini, bersamamu…” ucap Vivi menguatkan putranya, mengusir segala kekhawatirannya.

“Ibu jangan pergi ya… aku takut sendirian…” ucap Erik begitu lirih bahkan nyaris berbisik namun cukup jelas bagi Vivi untuk mendengar permohonan putranya itu.

“Iya, iya sayang. Ibu disini…” jawab Vivi lalu mengecup kening Erik dengan begitu berhati-hati.

39
Posting Komentar
Search
Menu
Theme
Share