Bab 03 – Mi Instan
“Dokter
Luis sudah pulang?” tanya Bela yang datang sambil membawa dua buah mi instan
cup yang rencananya ingin ia nikmati bersama Luis.
Perawat
mengangguk. “Tuan Luis pulang dari sore,” jawab perawat itu.
Bela
langsung murung mendengarnya. Semalam ia ingat sekali jika Luis bilang kalau ia
akan disini selamanya. Memang Bela tidak berharap Luis akan ada disini
selamanya, tapi Bela juga tak menyangka jika Luis akan pergi secepat ini. Tapi
di tengah kesedihannya Bela juga sadar jika ia bukan siapa-siapa yang bisa
mengatur Luis. Ia bukan dokter yang menangani Luis dan menentukan kapan Luis
harus pulang atau masih harus tinggal, ia hanya seorang perawat magang.
“Ah
begitu…” ucap Bela berusaha terlihat baik-baik saja.
“Bela?”
terdengar suara Luis yang mengejutkan Bela dari belakang.
“Dokter
Luis!” seru Bela dengan senyumnya yang benar-benar sumringah lalu menunjukkan
dua cup mi intan yang ia bawa.
Luis juga
menunjukkan sebuah plastik berisi cemilan lalu tersenyum. “Kau mencariku?”
tebak Luis.
Bela
langsung mengangguk sambil memamerkan giginya yang putih dan berjajar rapi. “Aku
melihat ini diskon, beli satu gratis satu. Dokter sudah makan malam?”
Luis
menggelengkan kepalanya lalu mempersilahkan Bela masuk kedalam ruangannya.
Berbeda dari biasanya kali ini Luis tidak datang dengan membawa tumpukan buku
tapi ia hanya datang dengan membawa cemilan saja. Luis juga membawa sepatu
larinya, jelas Luis akan memulai kehidupannya kembali dan menyudahi masa
isolasinya.
Luis melemparkan
senyuman pada perawat yang berjaga untuk pertama kalinya sebelum ia menutup
pintu kamarnya. Bela di dalam sudah mulai menyiapkan minya, menyeduhnya dengan
air panas dari dispenser air. Bela juga menata cemilan yang Luis bawa kedalam
rak yang ada di dekat dispenser.
“Aw!” pekik
Bela refleks ketika Luis mengelus kepalanya, Luis langsung menjauhkan tangannya
lalu menatap Bela dengan penuh selidik. “A-ah…kepalaku tadi terbentur. Sepertinya
benjol jadi sakit,” ucap Bela dengan gugup.
Luis tertawa
kecil jelas ia sudah tau apa yang Bela alami terlebih ia tadi sempat mengamati tempat
tinggal Bela juga.
“Dari
lukanya tidak seperti terbentur,” ucap Luis lalu duduk di sofa menunggu minya
matang.
Bela
tersipu malu, ia sering berbohong pada Luis. Padahal Bela tak bermaksud
membohongi dokter yang sudah menolong nyawa ibunya itu.
“Sudah diobati?”
tanya Luis.
Bela mengangguk
pelan. Luis tertawa kecil melihat reaksi Bela, jadi ia tetap mengambil kotak
P3Knya dan mengobati Bela.
“Dokter!”
pekik Bela berusaha menolak namun akhirnya tetap pasrah menerima pertolongan
Luis untuk mengobatinya.
“Siapa yang
menarik rambutmu?” tanya Luis setelah selesai mengobati.
“A-ayahku…t-tapi
dia tidak sengaja!” jawab Bela yang tidak ingin membuat ayahnya terlihat buruk
dimata Luis.
Luis
tersenyum lalu mengangguk menerima kebohongan yang meluncur dari bibir Bela. Jelas
Bela bukan pembohong yang baik. Dia selalu terbata-bata dan gugup setiap kali
berbohong. Tidak hanya itu, Bela juga akan langsung memalingkan wajahnya juga
setiap kali ia berbohong. Jadi jelas ia terlalu mudah untuk di tebak.
Bela ikut
tersenyum dengan canggung lalu menyodorkan mi instan untuk Luis. Bela langsung
menyantap mi instannya yang masih panas dengan terburu-buru. Ia sudah kelaparan.
Tangannya yang kurus dan memiliki banyak bekas luka juga terlihat gemetar.
“Aku beli
sosis,” ucap Luis sambil menunjuk rak disamping dispenser. “Ambilah kalo mau,” lanjutnya
yang memang sengaja membeli semua cemilan untuk dinikmati bersama Bela.
Bela
tersenyum lalu mengangguk dan langsung mengambil dua buah sosis. Jika awalnya
Luis mengira Bela mengambil sosis-sosis itu untuknya sendiri, ia salah. Bela mengambilkan
untuknya juga.
“Hah…lagi-lagi
aku selalu merepotkan Dokter,” ucap Bela sambil menghela nafas.
Luis menatapnya
lalu tersenyum. “Tidak masalah,” jawab Luis santai sembari menikmati mi instannya.
Sudah lama
ia tidak menikmati makanannya seperti sekarang, sudah lama juga Luis tidak
menikmati mi instan seperti sekarang.
“Kenapa
tidak melapor pada polisi saja jika kau terus di pukul?” tanya Luis penasaran
dengan Bela.
Bela
menggeleng pelan. “Aku masih ingin hidup,” jawab Bela dengan mata yang langsung
berkaca-kaca.
Luis
terdiam heran dengan jawaban Bela. Luis menganggap Bela adalah pribadi yang
cukup mandiri. Meskipun menjadi perawat dan masih magang tidak menghasilkan
banyak uang. Tapi rasanya itu pasti sudah cukup jika hanya untuk menghidupi Bela
seorang diri. Toh sepertinya Bela bukan wanita yang menggilai pakaian mahal dan
haus akan kemewahan.
“Ibu pernah
melaporkan Ayahku ke polisi. Mereka hanya menahannya sebentar. Setelah itu Ayah
pulang dan langsung menhajar ibuku yang baru masa pemulihan pasca oprasi itu
hingga meninggal. Ahh…aku sangat membencinya. Dia sudah sakit-sakitan, tapi
kenapa umurnya panjang sekali,” lanjut Bela yang keterusan jadi curhat dan mengeluh.
“Kau ingin
Ayahmu mati?” tanya Luis dengan sebelah alis terangkat.
Bela
tersenyum kikuk. “Kedengaran jahat ya?” Bela balik bertanya.
Luis
tersenyum, ia merasa memiliki sebuah kesamaan dengan Bela sekarang.
“Aku hanya
lelah mengurusnya, menerima kemarahannya, membersihkan rumah dan kotorannya,
lalu aku masih harus mencari uang dan dia akan merampas semuanya. Hidup terasa
tidak adil. Aku perlu istirahat.”
Luis mengangguk.
“Kau ingin sikap buruk ayahmu hilang atau ayahmu hilang?” tanya Luis sambil
membuka sosisnya.
Bela
tersenyum mendengar pertanyaan Luis. “Entahlah, semuanya terdengar menyebalkan.
Mungkin aku ingin menyingkirkannya saja,” jawab Bela lalu tertawa pelan namun tak
berapa lama senyumnya hilang.
“Apa
tetanggamu tidak tau kalau kau di aniaya?” tany Luis memastikan.
“Mereka
tau, tapi diam saja. Semua orang tau,” jawab Bela lalu terdiam dalam
lamunannya.
Ia seperti terpental ke saat-saat Ayahnya masih sehat dan ia dipukuli habis-habisan hanya karena tidak mendengar teriakannya saat memanggil Bela. Semua orang hanya diam, beberapa menertawakannya. Bahkan saat ia terpincang-pincang meminta tolong, semua orang seolah buta dan tuli mengabaikannya.