Bab 3 - Perayaan Kecil
Suasana ramai sangat terasa di rumah orang tua Bara. Bukan karena Aya yang rajin main ke rumah, bukan juga karena Lisa asik bermain dengan keponakannya juga Leo. Tapi karena Tina
datang berkunjung ke rumah orang tua Bara.
"Hai Bara. Apa kabar?" sapa Tina basa-basi
dan berjalan ke luar dari dapur dengan sup matahari di nampannya.
"Kamu ngapain di sini?" tanya Bara.
"Bunda yang panggil dia ke sini. Kebetulan dia
dah selesai kemo dah sembuh jadi bunda ajak bikin perayaan kecil," ucap
Anna lalu berjalan bersama Tina ke ruang makan.
Lisa dan Aya juga sudah menunggu Tina di ruang makan
dengan mangkuk kosongnya.
"Kamu ikut sini. Makan sekalian," ajak Anna.
"Aku kangen banget loh tante sama suasana di
sini. Pasti rame. Seru. Apalagi ada Lisa sama Aya," ucap Tina lalu
melepaskan apronnya.
"Tante juga suka kamu main ke sini. Rajin-rajin
ya main ke rumah tante," ucap Anna lalu memeluk Tina.
"Kak Tina auranya merah," ucap Lisa.
"Apa Sa?" tanya Tina.
"Bukan apa-apa lupakan," ucap Lisa lalu
mengambilkan sup untuk Aya.
Bara hanya diam dan enggan ikut dalam obrolan Tina dan
bundanya yang begitu akrab, bahkan lebih akrab daripada saat bersama Clara.
Bara hanya fokus pada makanannya dan ingin cepat pergi.
"Bunda, aku pergi dulu. Mau ke kampus,"
pamit Bara pada bundanya.
"Loh bukannya kamu gak ada kelas?" tanya Tina
yang merasa semua sama seperti setahun yang lalu.
"Hati-hati ya nak," ucap Anna lalu mengecup
pipi kiri dan kanan Bara.
Bara terus mengabaikan ucapan Tina dan bundanya, lalu
langsung melangkahkan kakinya pergi. Tak selang lama Tina langsung berlari
mengejar Bara ke depan.
"Hey Bara! Aku mau bicara sama kamu," tahan
Tina sambil menarik tangan Bara.
"Apa?" tanya Bara memberikan kesempatan pada
Tina untuk bicara.
"Aku kangen kamu! Aku yakin kamu juga kangen aku!
Iya kan! Gak usahlah kamu coba tutupin perasaanmu!" ucap Tina penuh
penekanan pada Bara dengan matanya yang berkaca-kaca.
"Aku dah punya istri Tina. Aku bentar lagi jadi
ayah. Aku gak mau keluargaku hancur. Tolong berhenti mendesakku," tolak Bara
lalu masuk ke dalam mobilnya meninggalkan Tina begitu saja.
Kak Clara harus tau, batin Lisa saat mendengar dan melihat apa
yang dilakukan Tina pada Bara.
"Kak Tina," panggil Lisa.
"Oh Lisa, ayo lanjut makan," ajak Tina
sambil menggendeng Lisa.
Lisa langsung menepis tangan Tina yang menggandengnya.
"Kamu mau apa sama kak Bara tadi?" tanya
Lisa sedikitnya ketus.
"Ah itu. Aku hanya, ya bukan apa-apa," ucap
Tina berusaha menutupi perasaannya.
"Jangan
main api kalau tidak mau terbakar," ucap Lisa lalu kembali ke ruang makan
mendahului Tina.
***
Sepanjang jalan Bara terus memikirkan ucapan Tina.
Tidak ia pungkiri kalau ia merindukan Tina juga dan ingin kembali nakal. Tapi
Bara juga tak mau kehilangan Clara dan anaknya nanti.
"Aku harus menjauh dari Tina. Aku suami. Aku
ayah. Aku harus jadi contoh baik buat anak istriku," ucap Bara
menyemangati dirinya sendiri.
Tapi memang Tina lebih matang
dari Clara. Aish apa sih!
Batin Bara yang mulai berkonflik.
"Tina jelek!" umpat Bara lalu melaju lebih
cepat ke kampusnya.
Sepanjang jalan Bara terus berusaha keras menjaga
pikirannya agar hanya fokus pada istrinya. Hingga Bara rela menunggu Clara
selesai di luar kelas istrinya agar ia tetap waras.
"Kakak," panggil Clara lalu melangkah
mendekati suaminya.
Bara langsung memeluk erat tubuh Clara dan membenamkan
kepalanya di bahu istrinya. Bara bahkan tak peduli pada tatapan semua mahasiswa
teman-teman istrinya yang melihat salah satu guru killernya bertingkah manja dan terlihat rapuh.
"Ada apa kak?" tanya Clara yang masih
memeluk suaminya.
Bara hanya menggeleng lalu menghirup aroma tubuh
istrinya lebih dalam lagi dan lagi, berusaha menenangkan pikirannya yang mulai
terkontaminasi dan hatinya yang mulai tergoda.
"Kakak kita dah janji kan gak boleh main rahasia
lagi," ucap Clara sambil mengelus punggung suaminya.
"Sayang, aku mau kita, kita liburan berdua. Cuma
aku sama Clara aja," ajak Bara mendadak pada istrinya.
Pasti ada apa-apa tadi. Duh
jadi curiga. Apa kak Bara ketemu sama kak Tina lagi ya? Batin Clara lalu mengangguk pelan mengiyani
ajakan suaminya.
"Kakak, dah makan belum?" tanya Clara
mengalihkan pembicaraan karena melihat kepanikan suaminya.
"Sudah, tadi di rumah bunda," jawab Bara
lalu menggenggam tangan istrinya.
"Aku laper banget. Si adek juga deh kayaknya. Apalagi
sering ku ajak belajar sama nugas," ucap Clara sambil mengelus perutnya.
"Cla, aku cinta kamu aja, sama anak-anak kita
nanti. Clara istriku terus ya," ucap Bara terbata-bata sambil menatap istrinya
dengan intens.
"Iya kakak. Hm kakak kenapa sih? Abis ketemu kak
Tina ya?" tanya Clara menebak-nebak.
Bara langsung mengangguk dengan pelan dan lesu, takut
bila Clara akan marah atau sedih.
"Asal ayahnya adek gak macam-macam sama kak Tina.
Aku gapapa kok," ucap Clara lembut dan berusaha tidak mengekang suaminya.
"Clara gak
marah? Cemburu?" tanya Bara sambil mengelus perut istrinya.
"Kalo marah sih dikit ya, aku juga bisa maklum,
kalo cemburu aku jelas cembur suamiku deket sama mantannya."
"Aku gak deket! Dia yang deketin!" potong Bara
membela diri.
"Ah iya. Kalo aku deket sama mantanku kamu gimana
perasaannya kak?" tanya Clara lalu menggandeng tangan suaminya ke kantin.
"Aku jelas cemburulah. Banget. Jangan deket sama
mantanmu ya. Jangan sama Bob juga," jawab Bara sambil mengikuti istrinya
melangkah.
"Kakak cari tempat gih. Aku mau pesen dulu,"
ucap Clara lalu memesan batagor, siomay, bakwan malang juga tela-tela karena
sudah lapar mata. Clara juga memesan dua es teh manis untuknya dan Bara.
"Lama amat," ucap Bara sambil menunggu
istrinya.
"Adek sama aku lapar mata nih kak. Jadi agak lama
deh. Hihihi semua ku pesen," jawab Clara lalu meletakkan tasnya di bangku
sebelahnya yang kosong.
"Nih kamu bawa aja. Biar Tina gak ganggu aku,"
ucap Bara sambil menyerahkan ponselnya.
"Iya lagian aku baru mau minta ponselmu kak. Aku
khawatir kalo kamu kegoda. Terus poligami. Jadiin aku yang kedua padahal aku
istri pertama," ucap Clara sedikit menyindir suaminya.
"Apa sih kamu, enggak lah," ucap Bara
menepis sindiran istrinya itu.
Tak selang lama setelah Clara mengecek ponsel suaminya
dan menyimpannya di tas. Pesanan Clara satu persatu datang dan seperti biasanya
Bara langsung marah-marah bila istrinya memesan makanan yang tidak sehat.
"Kak aku makan sedikit aja ya tela-telanya. Please," ucap Clara memohon pada
suaminya.
"Ini banyak micinnya Cla. Adek nanti jadi anak
micin gimana?" tanya Bara yang berusaha melarang istrinya.
"Berarti bukan anak kakak," jawab Clara yang
sangat ingin makan tela-tela.
***
"Apa?" tanya Robi begitu Tina selesai
menangis di depannya.
"Aku mau sama Bara lagi!" jawab Tina sambil
menyeka air matanya.
"Gak bisa, dia dah ada istri. Kamu gak mau kan
jadi pelakor? Lagian apa kamu yakin Bara belum berubah? " tanya Robi
menanggapi curhatan Tina.
"Bisa lah. Dulu aja waktu kita pura-pura pacaran
dia percaya. Bara itu polos, tulus, murni. Aku juga sembuh gara-gara mau jadi
istrinya. Cuma Bara jadi nyonya Bara gak lebih dari itu," jawab Tina
bersemangat.
"Awalnya aku juga berfikir gitu. Dia cuma jatuh
cinta karena puber kedua. Tapi nyatanya. Kamu liat kan gimana dia sama
istrinya. Dia sampe pasang tato, pasrahin dompetnya full ke Clara, HP juga cuma buat game itupun kalo malem ditaruh di luar. Susah buat pisahin
dia," ucap Robi pesimis.
"Gak mungkin Bara sampe kayak gitu. Nyatanya
kemarin aku dua kali ketemu dan aku bisa pengaruhi Bara waktu pertemuan
pertama," ucap Tina bangga.
"Just lucky,"
cibir Robi.
"Terserah, tapi ya Rob aku sama sekali gak peduli
bakal jadi istrinya yang kedua atau istri sirinya. Yang jelas aku mau
Bara," ucap Tina ngotot.
"Banyak cowok yang bisa cambuk kamu waktu
bercinta."
"Tapi Bara beda!" potong Tina membela Bara.
"Apa? Dah punya istri? Mau punya anak? Iya apa
bedanya?" tanya Robi.
"Apa salah kalo seorang gadis kecil meminta
bonekanya dikembalikan?" tanya Tina memelas.
Robi hanya bisa terdiam.
"Bara itu punyaku. Punyaku! Dan kamu tau itu Bi.
Kamu paham betul gimana perasaanku. Cintaku. Pengorbananku buat dia. Dia
harusnya jadi suamiku Bi. Suamiku. Kalau saja gak ada kanker itu," ucap Tina
lalu menangis.
"Bara bukan mainan Tina. Aku tau gimana
perasaanmu. Tapi Bara sudah punya istri. Bagaimanapun yang seharusnya terjadi
ke kamu! Nyatanya gak bakal mungkin! Dan gak bakal terjadi!" ucap Robi
berusaha menyadarkan Tina dimana dan bagaimana situasinya saat ini.
"Enggak aku gak peduli. Toh dulu Bara juga gitu.
Dia pacarku. Tapi dia juga pacaran sama wanita lain. Jadi apa bedanya sama
sekarang?" ucap Tina membela diri.
"Jauh beda Tina. Ini sangat jauh berbeda. Kamu
sama Bara. Sudah beda status lagi. Gak kayak dulu," ucap Robi lebih
tenang.
Tina hanya menggeleng pelan sambil menyeka air mata
dan ingusnya.
"Apa kamu gak mikirin kondisi Clara? Anaknya?
Keluarga Bara nantinya?" tanya Robi.
"Kalo kamu mau aku care ke Clara soal masa depannya yang indah itu. Sekarang aku
tanya, apa Clara peduli sama aku? Apa Clara peduli kalo aku mati waktu kemo?
Enggak kan!" bantah Tina yang sudah termakan obsesinya pada Bara.
"Kamu dah gila! Oke aku gak bisa larang kamu. Tapi aku gak bakal bantu kamu lagi sesuai perjanjian kita," ucap Robi yang sudah kehabisan akal untuk menyadarkan Tina akan posisinya lalu pergi begitu saja.