Tak ada Juwita yang menyiapkan makan malam kali
ini. Semua masih sama seperti sebelumnya. Wiliam sempat kecewa dan sedih sampai
akhirnya ia melihat Juwita kembali yang merapikan ruang makan setelah
keluarganya selesai makan malam. Wiliam terus memastikan jika Juwita masih di
rumahnya hampir di setiap kesempatan mulai sejak itu.
Wiliam terus memperhatikan Juwita di kejauhan
meskipun sering ketahuan oleh Juwita yang akan langsung tersenyum manis sambil
menatapnya dan kembali mengerjakan pekerjaannya. Wiliam akan langsung memasang
wajah angkuh dengan pandangannya yang dingin seperti biasa seolah tak terjadi
apapun dan tak mengenal Juwita. Meskipun Wiliam tetap berdebar-debar dan
memiliki perasaan yang sama setiap kali ia melihat senyum Juwita yang selalu
sama.
Pagi-pagi Wiliam akan melihat Juwita berangkat
sekolah naik sepeda dengan seragam SMA dan ranselnya yang terlihat penuh dengan
buku-bukunya. Pemandangan menyenangkan yang tak pernah Wiliam lewatkan
belakangan ini. Bahkan rasanya memandangi Juwita dengan seragamnya jauh lebih
menarik daripada memandangi Camila yang mencoba gaun untuk acaranya nanti.
“Tuan, ini tehnya,” ucap Juwita yang datang ke
taman belakang tempat Wiliam sedang menikmati sore sembari memandangi rusa
peliharaan keluarganya.
Wiliam mengangguk lalu mengulurkan tangannya.
“Aw!” pekik Wiliam berpura-pura kepanasan agar
gelasnya jatuh dan pecah.
“Maaf Tuan!” seru Juwita yang berusaha dengan
sigap membereskan kekacauan dari pecahan gelas dan tumpahan teh milik Wiliam.
Wiliam memalingkan wajahnya untuk tersenyum.
Akhirnya ia memiliki waktu untuk berdua dengan Juwita dan mungkin bisa
mengobrol dengannya juga. Tapi baru Wiliam hendak membuka mulut untuk memulai
pembicaraan Antonio datang menemuinya.
“Aku tidak sengaja menjatuhkan gelas,” ucap Wiliam
sebelum Juwita dimarahi oleh Ayahnya.
Antonio hanya diam. Bukan soal Juwita yang
ingin ia bicarakan, tapi karena Wiliam mengatakan itu ia jadi memperhatikan
Juwita yang membersihkan lantai dan memunguti pecahan gelas. Juwita begitu
gugup berhadapan dengan Antonio. Ia takut kesalahan kali ini akan membuatnya
terusir dari istana megah ini.
Antonio menunggu Juita pergi sebelum memulai
pembicaraan dengan Wiliam. Wiliam juga hanya diam dan kembali memasang wajah
datarnya sambil memperhatikan Juwita yang sedang mengelap lantai. Juwita
terlihat begitu gugup dan terburu-buru hingga Wiliam dapat melihat beberapa
tetes darah mengalir di tangan kecilnya yang terlihat begitu mulus.
Mati-matian Wiliam menahan dirinya untuk tenang
dan tidak mendekat sejengkalpun pada Juwita untuk mengobati lukanya. Beruntung
Juwita langsung bergegas pergi begitu selesai membersihkan lantai. Antonio juga
memulai pembicaraannya pada Wiliam soal perusahaan milik keluarga Tanoe yang
sebentar lagi menjadi besannya. Pembicaraan yang paling membuat Wiliam muak,
namun harus tetap ia lakukan karena ini perintah dari Kakeknya.
***
Pagi-pagi kali ini berbeda. Juwita tak terlihat
dengan sepedanya berangkat ke sekolah. Wiliam hafal di jam berapa Juwita pergi
ke sekolahnya, kadang ia juga keluar rumah lebih awal untuk sekedar melihat
senyum manis Juwita yang membangkitkan semangatnya sembari melihat gadis
bertubuh kurus itu mengayuh sepedanya menuju sekolah. Tapi kali ini ia sama
sekali tak terlihat.
“Berkas-berkas milik Juwita sudah saya taruh di
meja, Tuan,” lapor Susi seketika membuat Wiliam tercekat.
Ingatan Wiliam langsung melayang menuju masa
lalunya saat Juwita tiba-tiba pulang dan tak kembali lagi ke rumahnya. Wiliam
ingat betul kata-kata itu juga terucap dari kepala pelayannya yang dulu saat
menyerahkan berkas-berkas milik Juwita sebelum ia pindah dari TK elit yang sama
dengan Wiliam ke TK yang entah ada dimana.
Tangan Wiliam mulai bekeringat. Ia begitu takut
Juwitanya akan pergi lagi dan sekali lagi menghilang dari hidupnya karena
ulahnya lagi. Lagi untuk yang kedua kalinya. Wiliam ingin menangis, ia menyesal
memecahkan gelas hanya untuk mencuri waktu agar bisa mengobrol dengan Juwita,
ia menyesal membuat Juwita mengelap teh panas yang membasahi lantai, ia
menyesal membuat tangan mulus Juwita terluka karena pecahan gelasnya.
“Tuan, mobilnya sudah siap…” lapor supir
pribadi Wiliam yang membuat Wiliam terpaksa berangkat sekolah kali ini.
Wiliam langsung beranjak dari duduknya sebelum
matanya berkaca-kaca dan mengundang curiga dari orang tuanya. Wiliam masih
berharap bisa melihat Juwita kembali kali ini. Namun sia-sia, Juwita sama
sekali tidak terlihat kali ini. Entah kemana perginya gadis itu.
Tak ada senyum ceria yang menghiasi wajah
tampan William lagi. Wajah dan sorot matanya lebih suram dari biasanya. Camila
yang sempat mengira jika beberapa hari lalu Wiliam terlihat ceria dan penuh
senyum karena akan segera meresmikan pertunangannya kini terheran-heran. Waktu
terus berjalan dan semakin dekat dengan hari peresmiannya, tapi Wiliam malah
terlihat begitu murung dan dingin.
“William…”
“Shut up! Left me alone!” geram Wiliam
ketika Camila dan teman-teman gengnya yang ingin memamerkan kemesraannya
seperti sebelumnya.
Camila mengerutkan keningnya, Wiliam biasa
bersikap dingin padanya namun tak pernah Wiliam sekasar ini padanya. Camila
cukup kaget, namun ia hanya bisa diam, teman-temannya pun begitu. Suasana yang
semula ceria jadi canggung karena Wiliam.
Wiliam menghela nafasnya lalu menatap Camila.
“Aku ingin sendiri, aku sedang banyak pikiran,” ucap Wiliam lebih lembut sadar
jika geramannya berpotensi menimbulkan masalah baru dalam hidupnya.
Camila langsung tersenyum lalu mengangguk.
“Kamu bisa menceritakan masalahmu padaku kapanpun, aku akan berusaha
membantumu,” ucap Camila yang kembali ceria lalu pergi bersama teman-temannya.
Sampai akhir kegiatannya di sekolah Wiliam
terus saja memikirkan Juwita. Memikirkan cara terbaik untuk menahan gadis itu
agar tetap dekat dengannya. Memikirkan cara yang tepat juga untuk bisa
berkomunikasi dengan Juwita. Sampai matanya tiba-tiba teralihkan melihat
temannya yang duduk di bangku sebelahnya yang sedang berkirim pesan menggunakan
ponsel jadul.
“Kenapa kamu masih pakai itu?” tanya Wiliam
heran.
Temannya hanya tersenyum lalu menunjukkan apa
yang sedang ia lakukan. “Kalo aku kirim pesan pakai HP ini ga ada yang bisa
nyadab, HP ini juga ga ada GPSnya jadi aku ga mungkin di lacak sama Mamiku!”
ucapnya memamerkan kelebihan ponsel jadulnya sebelum pergi meninggalkan Wiliam
untuk menelfon kekasihnya.
Wiliam yang sedari tadi terlihat begitu suram
langsung tersenyum sumringah. Ia langsung mendapat pencerahan dan tau apa yang
harus ia lakukan sekarang. Wiliam yang semula terburu-buru ingin segera pulang
sekarang terburu-buru pergi mencari toko yang masih menjual ponsel jadul. [Next]
0 comments