Bab 32 – Kecewa
Wiliam
menemani Kartika sarapan pagi ini. Ayahnya tidak pulang lagi, dulu Wiliam masih
suka menebak-nebak dimana Ayahnya bermalam. Namun setelah kejadian di apartemen
kemarin, ia sudah tau jawabannya. Kartika berusaha keras membuat Wiliam nyaman
di rumah bersamanya, Kartika terus berusaha memanjakan Wiliam karena bagi
Kartika hanya Wiliam yang bisa membuat semuanya bisa bertahan seperti
sediakala.
“Nanti Ibu
bicara sama Kakekmu, kebetulan kata Kakek nanti Ayahnya Camila mau ketemuan,”
ucap Kartika dengan suara yang lebih lembut dan hangat. “Ibu janji bakal
singkirkan perempuan mengerikan itu buat kamu, anak Ibu harus bahagia,” lanjut
Kartika lalu menuangkan air mineral kedalam gelas Wiliam.
Wiliam
mengangguk. “Makasih Bu sudah mengerti aku,” ucap Wiliam yang merasa senang dan
lega setelah sekian lama akhirnya ibunya bisa memahami apa yang ia mau.
“Hari ini
apa aktivitasmu?” tanya Kartika memastikan sebelum ia pergi mengurus urusannya.
“Main PS,
aku belum mencoba PSku,” jawab Wiliam yang sudah memikirkan untuk seharian
menghabiskan waktu berdua bersama Juwita sambil main PS. Kegiatan santai dan
menyenangkan sekaligus bisa berduaan seharian ini.
Kartika
mengangguk lalu tersenyum. “Kabari Ibu jika ingin pergi keluar ya,” pesan
Kartika sebelum ia pergi.
Wiliam
hanya mengangguk lalu mulai mencari Susi yang dari tadi tak melayaninya. Juga
Juwita yang tak ada di dapur seperti biasanya. Wiliam memang sempat merasa
curiga saat tak melihat pelayan satupun yang menemaninya sarapan bersama Ibunya
tadi. Namun kecurigaannya sempat hilang begitu sadar jika Kartika hanya ingin
banyak menghabiskan waktu berdua saja dengannya.
Tapi belum
lama kecurigaannya hilang, perasaan aneh dan kekosongan mulai menyelimutinya
lagi. Susi tiba-tiba tidak ada di rumahnya, begitu pula dengan Juwita. Keduanya
hilang begitu saja. Padahal semalam Wiliam ingat betul jika ia berpapasan
dengan Susi.
“Kemana Bi
Susi?” tanya Wiliam sambil berteriak pada gerombolan pelayan yang sedang
mengelap perabotan di rumah.
Semua
pelayan membeku di tempat begitu Wiliam berteriak. Semua ketakutan mendengar
pertanyaan Wiliam yang membuat semuanya dilema dan serba salah. Jika menjawab
Kartika akan marah, namun jika diam Wiliam yang akan marah. Keduanya bukan
pilihan yang baik.
“Kemana Bi
Susi? Kemana Juwita?!” Wiliam mengulangi pertanyaannya dengan nada lebih tinggi
lagi lalu memuruni tangga mendekat ke arah salah satu pelayannya.
“Apa semua
orang disini tuli? Apa kalian begitu bodoh atau cacat sampai tidak bisa
menjawab pertanyaanku?!” Wiliam semakin emosi karena semua diam membisu. “Ku
tanya sekali lagi…”
“S-Su-Susi
di pecat Tuan!” jawab seorang pelayan yang sudah begitu ketakutan karena
posisinya begitu dekat dengan Wiliam.
“Di pecat?
Siapa yang memecatnya?” tanya Wiliam dengan pandangan tajam dan senyuman
mengerikannya menahan gemeletuk giginya yang menahan amarah.
“T-Tuan…Tuan
Besar…” jawab pelayan itu lagi dengan badan yang sudah gemetar tak berani
menatap Wiliam sedikitpun.
“Ayahku?!”
kaget Wiliam yang kembali di angguki pelayan itu. “Kenapa Ayahku memecatnya?”
tanya Wiliam yang kesekian kalinya sembari mencengkram bahu pelayannya.
“N-Nyonya
s-sem-sempat marah besar ketika Susi meminta ijin cuti pulang. Nyonya tiba-tiba
marah dan menyebut nama Tamara sambil memukul kepala Susi dengan guci Tuan.
S-saya hanya tau itu…S-saya juga tidak tau soal Tamara,” jelas pelayan itu yang
sudah pucat dan berkeringat dingin begitu ketakutan dengan Wiliam.
Wiliam
melepaskan cengkraman tangannya. Ia benar-benar terpukul, semalam ia memang
sempat melihat ada perban di kepala Susi. Wiliam harusnya lebih peka kemarin
dan membawa Susi juga Juwita kembali kerumah. Wiliam benar-benar merasa hancur,
satu-satunya orang yang ia cintai kembali disingkirkan dari hidupnya kembali.
Wiliam
langsung berlari menuju kamarnya dengan begitu terburu-buru. Ia terus
menghubungi Juwita berharap ia masih memiliki kesempatan untuk bertemu
dengannya. Wiliam sudah begitu panik dan ketakutan di tambah juga dengan
postingan Juwita di twitternya saat berada di bus.
|
|
|
“Sayang,
plis angkat…” lirih Wiliam begitu panik dan ketakutan mencoba menghubungi
Juwita beberapa kali. Entah sudah berapa banyak pesan pula yang Wiliam kirimkan
menanyakan dimana Juwita saat ini meskipun belum ada balasan.
Wiliam
semakin panik ketika tau tak hanya Juwita yang tak bisa ia hubungi tapi juga
Susi. Kedua ponsel perempuan itu sama-sama tidak aktif. Sudah begitu banyak hal
buruk yang terlintas di benaknya. Apalagi Wiliam tau Kartika adalah tipe orang
yang nekat dan bertangan dingin.
“Ayah! Ayah
kenapa pecat Bi Susi?!” bentak Wiliam begitu Antonio mengangkat telfonnya.
“Ada apa?
Kenapa langsung berteriak seperti ini?” saut Antinio bingung karena tiba-tiba
di bentak anaknya sendiri di pagi hari.
“Bi Susi
gak di rumah! Ayah pecat dia kan?! Ngaku!” bentak Wiliam yang tak memberi celah
untuk ayahnya mengelak.
Antonio
menghela nafas lalu terdiam sejenak mencoba menjelaskan kondisi kali ini yang
sangat rumit. “Kartika terus mencurigai Susi. Ayah tidak tega melihat perempuan
itu di hajar tanpa bisa membalas bahkan membela dirinya sendiri juga tidak
bisa. Jadi Ayah memecatnya sebelum Kartika semakin kalab dan berbuat semakin
nekat.”
“Tapi
Juwita ikut pergi juga Ayah!” bentak Wiliam yang kini lebih terdengar panik dan
khawatir daripada marah seperti sebelumnya.
“Tidak
apa-apa, memang sebaiknya begitu. Toh kalau tidak begitu Kartika bisa berbuat
nekat pada Ibumu. Aku tidak tega…”
“Tapi dia
bisa melukai anakku! Juwita hamil! Sekarang dia pergi dari rumah!”
“Anakmu?
Hamil? Kamu menghamili Juwita?!” Antonio benar-benar terkejut.
“Dimana
rumah Bi Susi? Biar aku mencari Juwita sendiri?” Wiliam enggan membahas soal
kehamilan Juwita.
“T-tunggu…
sejak kapan? Maksudku kapan kalian melakukannya?”
“Itu bukan
urusan Ayah! Tidak penting! Sekarang aku mau mengejar Juwita. Aku tidak mau
kehilangan anakku!” putus Wiliam.
Kling!
Sebuah pesan dari Juwita masuk ke ponsel Wiliam. Wiliam langsung ambruk lemas
begitu lega tau Juwita baik-baik saja dan sudah sampai di kampung halamannya
dengan selamat. Tak lama Wiliam juga mendapat pesan dari Susi yang mengabari
lokasi rumahnya saat ini.
Wiliam
langsung mengemasi barang-barangnya dan bersiap pergi meninggalkan rumahnya.
“Bilang
saja pada Ibu aku pergi ke rumah Daren,” ucap Wiliam pada para pelayan sebelum
pergi dari rumahnya untuk mengejar Juwita dan mempertahankan hubungannya.