Bab 10 – Makan Malam
Juwita
kembali pergi bersama Camila menemaninya bersolek di salon. Camila cukup
terbuka pada Juwita. Hampir semua hal ia ceritakan pada Juwita. Mulai kepenata
dengan tekan orang tuanya yang selalu meminta untuk diet dan menjaga tubuhnya,
sampai perasaan bosan dan kepalsuan geng pertemanannya di sekolah.
“Semua
orang akan mendekatimu ketika kamu cantik dan kaya, semua orang. sampai kamu
bingung membedakan mana yang tulus dan tidak,” ucap Camila mencurahkan isi
hatinya pada Juwita sembari menatap Juwita sejenak.
Juwita
mengangguk dengan wajah yang tertegun, baru kali ini ia mengetahui jika menjadi
cantik dan kaya ternyata tidak membuat seseorang merasa bahagia.
“Semua
orang akan mengerubungiku seperti semut yang mengerubungi tetesan sirup. Bagaimana
kehidupanmu?” Camila menatap Juwita dari pantulan cermin di depannya.
Juwita
tersenyum canggung. “Kehidpanku biasa saja Nona, tidak ada yang mendekatiku.
Aku miskin, tidak cantik, kurus. Aku harus bekerja keras siang malam kalau
ingin…”
“Hidupmu
enak,” sela Camila.
Juwita
menatap Camila heran, Camila menyunggingkan senyuman di sudut bibirnya lalu
menghela nafas.
“Setidaknya
orang yang mendekatimu tulus, tidak karena harta, tidak karena status sosial,
tidak karena fisik. Dia menyukai dirimu yang sesungguhnya, bukankah itu jadi
lebih enak? Kamu tidak perlu mengira-ngira, tidak perlu menseleksi,” ucap
Camila sedikit satir.
Juwita
tersenyum lalu mengangguk dengan ceria. “Tapi orang-orang sering memandangku
rendah,” ucap Juwita mengingat beberapa hal tidak mengenakkan yang ia alami.
“Tapi kamu
jadi tau mana bedanya orang yang memang baik padamu atau tidak. Lihat aku?
Semua yang suka dan benci padaku terlihat sama,” ucap Camila sambil melirik
Juwita.
Juwita
tersenyum, ia jadi teringat pada Adi dan Rani juga Wiliam dan para pelayan di
istana keluarga Phillips. Juwita jadi bersyukur dengan kehidupannya. Namun
senyumnya seketika mulai memudar saat teringat kematian ayah sambungnya dan perasaannya
dengan Wiliam yang harus di sembunyikan.
“Nona,
menurutmu jika aku menyatakan cinta pada pria yang kusukai tapi dia sudah
memiliki pasangan. Apa aku jahat?” tanya Juwita.
“Jahat, eh
tapi siapa yang mendekati duluan?”
“D-dia… aku
menggantung semuanya. Dia selalu bilang jika tidak bahagia dengan pasangannya.
Jadi dia menginginkan aku,” ucap Juwita gugup dan takut jika Camila akan
mengetahuinya.
Camila
mengangguk pelan. “Rebut saja sih menurutku, lagi pula pria itu juga tidak akan
berpaling jika wanitanya cukup menarik,” ucap Camila yang selalu merasa jika
hidupnya seperti sebuah kompetisi.
Juwita
mengangguk dengan ragu. “Bagaimana jika dia akan sedih?” tanya Juwita lagi.
“Aku tidak mau menyakiti hati sesama perempuan,” lanjut Juwita yang sebenarnya
sedang memikirkan Camila.
Camila
tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Juwita yang begitu penakut dan polos.
“Semuanya selalu ada resiko, kamu tinggal pilih dia yang luka apa kamu yang
luka. Lagian kamu ini kan miskin, susah, apa salahnya sekali-kali mencari
kebahagiaan?” ucap Camila enteng lalu menunjuk jus alpukat yang menjadi menu
makan siangnya kali ini.
Juwita
dengan sigap langsung mengambilkannya untuk Camila lalu duduk di sampingnya.
Juwita memperhatikan Camila yang bersolek begitu cantik dengan penuh kekaguman.
Camila suka pandangan itu, Camila juga suka dengan Juwita yang begitu patuh dan
mau ia perintah tanpa merasa di rendahkan. Selain memang karena Juwita seorang
pelayan, Juwita juga senang memiliki banyak pengalaman baru saat menemani
Camila.
“Aku punya
beberapa pakaian yang sudah tidak ku gunakan, kamu mau?” tanya Camila sambil
menatap layar ponselnya.
Juwita
langsung mengangguk dengan senyum sumringahnya. Juwita tak pernah menolak
pemberian Camila.
“Sip, sip,
kalau begitu aku bisa memenuhi lemariku dengan baju yang baru,” ucap Camila
santai.
***
Juwita
pulang lebih sore dari yang seharusnya. Orang-orang di rumah termasuk
majikannya sudah paham karena ia juga sudah minta izin sebelumnya. Juwita
pulang juga tidak di antar oleh Camila tapi naik sepeda, dari sekolah sampai ke
rumah lagi. Sepanjang jalan ia juga terus memikirkan soal ucapan Camila.
“Kenapa
baru pulang?” sambut Wiliam yang seolah kebetulan melintas di ruang tamu
menyambut Camila.
“Nona
Camila memintaku menemaninya, kami mengobrol cukup banyak,” jawab Juwita
melapor pada Wiliam dengan wajahnya yang sudah lelah dan terlihat sedih.
“Apa Camila
mengatakan sesuatu padamu? Apa dia berlaku buruk padamu?” tanya Wiliam
khawatir.
Juwita
menggeleng. “Dia bilang akan memberiku baju-baju bekasnya, aku senang. Akhirnya
aku bisa ganti dengan baju yang lebih bagus,” jawab Juwita lalu menghela nafas.
“Jangan,
aku akan membelikanmu baju sendiri. Jangan memakai baju bekas milik orang
lain,” ucap Wiliam yang tak suka jika Camila mengkasihani Juwita dan memandangnya
rendah.
“Tidak
apa-apa Tuan, Nona Camila bermaksud baik,” ucap Juwita lalu menghela nafas dan
melangkah hendak masuk dan bersiap bekerja di dapur.
“Besok kita
belanja!” tahan Wiliam sambil menarik tangan Juwita.
Juwita yang
tertahan mengibaskan tangannya lalu mengangguk dan tersenyum. Wiliam kembali
meraih tangan Juwita lalu memeluknya sejenak.
“Nanti
temui aku di taman belakang,” ucap Wiliam.
“Aku tidak
bisa menjanjikannya, tapi aku akan berusaha menemuimu,” ucap Juwita yang
membuat Wiliam merasa kehilangan dan di abaikan.
Wiliam
hanya bisa diam melihat gadis bertubuh kurus itu berjalan ke belakang. Wiliam
juga langsung kembali ke kamarnya dan bersiap untuk makan malam nanti dengan
perasaan yang begitu berkecamuk. Wiliam masih ingin menanyai Juwita, masih
ingin bicara dengan Juwita. Juwita yang tak membalas pelukannya juga membuat
Wiliam makin tidak suka dengan adanya perjodohan ini.
Juwita
terlihat melapor juga pada Kartika ketika Wiliam hendak menemuinya kembali.
Kartika terdengar begitu bahagia mendengar jika Camila menyukai Juwita dan
berniat untuk menghadiahkan Juwita pada Camila begitu resmi bertunangan. Wiliam
yang mendengar itu di balik pintu cukup kaget dan terpukul mendengar Juwita
yang di perlakukan selayaknya barang oleh ibunya.
“Semakin
banyak hal yang membuat Camila senang, semakin baik. Mungkin aku akan
menghadiahkanmu untuk menjadi pelayannya,” ucap Kartika sambil mematut dirinya
di depan cermin.