Bab 04 – Jarak Aman
Wiliam
kembali melihat Juwita dipagi hari. Sedikit berbeda dari biasanya, kali ini ia
tak memakai seragam SMAnya. Juwita masih memakai seragam pelayannya dan tengah
berjalan membantu para pegawai dapur membawa bahan masakan hari ini. Namun
berbeda dari biasanya Juwita tak tersenyum seperti sebelumnya, Juwita juga
menghindari tatapan Wiliam.
Wiliam tak
keberatan akan hal tersebut, merasa hal itu jauh lebih baik daripada tidak
melihat Juwita sama sekali. Wiliam juga merasa lebih tenang meskipun ia belum
mendapat pesan sama sekali dari Juwita semalam. Perasaannya juga masih saja
berdebar-debar tiap kali bertemu Juwita.
“Juwita!”
panggil Antonio dari lantai dua begitu melihat Juwita yang membawa keranjang
besar berisi kentang.
“Iya Tuan,”
saut Juwita.
“Ke
ruanganku,” perintah Antonio yang membuat Wiliam yang tak sengaja mendengarnya
jadi was-was.
Salah satu
pelayan langsung mengambil alih keranjang yang Juwita bawa agar Juwita bisa
segera pergi keruangan Antonio. Wiliam terus menatap Juwita, sementara Juwita
langsung berlari kecil menuju ruangan Antonio. Wiliam sudah was-was dan takut
jika ia ketahuan memberi ponsel jadul itu pada Juwita, Wiliam langsung
memikirkan beribu jalan keluar dan alasan agar Juwita bisa tetap aman di
sepanjang perjalanannya menuju ke sekolah.
“Jangan
bicarakan hal aneh-aneh di sekolahan nanti, jangan bergosip, jadilah anak baik,
mungkin pekerjaanmu jadi lebih banyak. Kamu tidak datang hanya untuk menjadi
pelajar tapi juga pelayan untuk Wiliam, jadi jangan membuat masalah,” ucap
Antonio sambil memberikan tote bag berisi seragam sekolah Juwita yang
baru.
“Baik
Tuan,” jawab Juwita patuh dengan kepala tertunduk.
“Wiliam
sudah punya tunangan, jadi jangan terlalu akrab dengannya juga,” ucap Antonio
memperingatkan Juwita karena teringat jika Juwita adalah teman pertama
sekaligus sahabat masa kecil putranya.
“Baik
Tuan,” jawab Juwita dengan patuh kembali sebelum pergi meninggalkan Antonio.
Begitu
Juwita keluar dari ruangannya Antonio mengambil sebuah ponsel rahasianya dari
bawah lacinya. Tak berselang setelah ia mengirim pesan dari ponsel itu, Antonio
langsung pergi dari ruangannya.
“Kamu mau
kemana?” tanya Kartika yang melihat suaminya tiba-tiba terburu-buru pergi.
“Kantor,”
jawab Antonio yang tak berbalik sedikitpun.
“Kamu mau
ketemu sama gundik simpananmu?” tebak Kartika yang membuat Antonio tak bisa
berkata-kata lagi. “Sebentar lagi acara pertunangan anakmu, setidaknya fokuslah
pada acara itu terlebih dahulu,” tahan Kartika dengan tangan terkepal menahan
emosinya.
“Aku
mengerti,” jawab Antonio lalu berjalan menuruni tangga tanpa menoleh sedikitpun
pada Kartika yang sudah meneteskan airmatanya.
Rasa sakit
hati dan cemburu yang tak akan pernah bisa di mengerti oleh Antonio yang selalu
saja pergi ke rumah gundik simpanannya. Kartika mengelus perutnya pelan dengan
wajah tertunduk berusaha menguatkan hatinya lalu pergi ke kamarnya kembali.
Kartika terdiam menatap dua ranjang yang ada dalam satu kamar.
Tak
seharusnya suami istri tidur di ranjang yang berbeda. Tapi begitulah yang ia
dapati sekarang. Antonio yang tampan dan selalu ia kagumi sejak awal mereka di
jodohkan. Nyatanya sampai sekarang masih saja tak dapat mencintainya dengan
tulus. Antonio tetap asik dengan dunianya dan tetap setia mencintai wanita yang
sama sejak dulu.
“Permisi
Nyonya, ada tamu,” ucap Juwita sambil mengetuk pintu kamar Kartika.
Kartika
langsung membuka pintu kamarnya dan menarik Juwita masuk kedalam. “Jangan
pernah sekalipun mencoba untuk merayu Wiliam! Bersikaplah tau diri jika masih
ingin selamat!” gertak Kartika memperingatkan Juwita karena tak mau calon
menantunya mengalami hal yang serupa dengannya.
Juwita
mengangguk dengan badan yang sudah gemetaran. Ia benar-benar takut pada Kartika
yang menggertaknya. Juwita takut ibunya akan dipecat atau dirinya yang akan
mengalami hal buruk lainnya. Juwita tak mau memperburuk keadaan.
Usai merasa
puas dengan reakasi Juwita saat sedang di gertak, Kartika melangkah keluar
dengan senyum sumringahnya untuk menyambut tamunya. Juwita terlihat masih
begitu ketakutan dan memilih untuk kembali ke kamarnya untuk menenangkan diri. Susi
jelas tau apa yang di lakukan Kartika pada putrinya. Namun ia hanya diam dan
memilih untuk pura-pura tidak tau.
***
“Bagaimana
kabar Wiliam?” tanya Tamara begitu Antonio datang ke apartemennya.
“Baik, dia
sehat, seperti biasa,” ucap Antonio sambil memeluk Tamara melepaskan
kerinduannya pada cinta pertamanya itu. “Sebentar lagi dia akan meresmikan
pertunangannya.”
“A-apa itu
tidak terlalu terburu-buru?” tanya Tamara kaget mendengar kabar jika putranya
akan segera meresmikan pertunangannya.
“Kartika
yang memintanya, kurasa Ibuku juga ikut mengaturnya,” ucap Antonio yang hanya
bisa pasrah.
Tamara
menghela nafas sedih dengan keputusan keluarga Phillips yang begitu mengekang
kebebasan putranya. “Semoga dia bahagia dengan keputusan itu,” ucap Tamara
sedih.
Antonio
tersenyum mendengarnya. “Juwita, anak pembantuku kembali kerumah. Kurasa Wiliam
menyukainya. Belakangan ini aku melihatnya bangun lebih awal dan banyak
mengamati pelayan di rumah,” ucap Antonio lalu menghela nafas dan menarik
Tamara untuk duduk di pangkuannya.
Tamara
tersenyum. “Dia persis sepertimu, kamu sudah tidak perlu lagi melakukan tes
DNA,” sindir Tamara sambil mengelus dada Antonio.
Antonio
tertawa terbahak-bahak mendengarnya. “Tapi aku sudah mencoba memberinya
batasan. Aku tidak mau Wiliam bernasip sama sepertiku dan Juwita akan
menderita…”
“Sepertiku?”
Antonio
menggeleng lalu mengecup bibir Tamara. “Lebih buruk lagi, dia tidak hanya
berhadapan dengan ibuku tapi juga dengan Kartika,” ucap Antonio yang membuat
Tamara jadi prihatin.
“Aku
berharap putraku bisa kembali ke pelukanku dan memilih jalannya sendiri,” harap
Tamara yang di angguki Antonio yang menginginkan hal serupa.
“Kita lihat
saja kedepannya nanti,”ucap Antonio lalu melumat bibir Tamara.
Tamara juga
membalas lumatannya dengan lembut sambil mengelus dada dan bahu Antonio.
Sementara Antonio mengelus pinggangnya dan mulai menyingkapkan lingerie
sexy yang sengaja Tamara gunakan tiap kali Antonio datang ketempatnya untuk
melepas rindu.