Bab 38 – Perpisahan
Sesuai apa
yang dikatakan Camila pada Juwita, ia benar-benar memutuskan hubungannya dengan
Wiliam yang terbilang sudah cukup serius. Keluarganya sempat menolak keinginan
Camila sebelumnya dan memaksa untuk menerima Wiliam selagi kasus ini belum
jelas muaranya kemana. Tapi dilain sisi Camila tak mau berkorban lebih banyak
lagi.
Camila terlalu
banyak makan hati dan di tampar kenyataan jika Wiliam tak pernah memiliki
perasaan padanya. Semua sudah jelas dan sudah cukup. Bahkan ketika Camila
mencoba meluapkan kekesalannya pada Juwita, ia tetap tak merasa puas karena tau
bukan Juwita yang merebut Wiliam sejak awal namun memang pilihan Wiliam untuk
bersama Juwita.
“Aku tidak
pernah seyakin ini sebelumnya, aku merasa terlalu lelah bersama Wiliam.
Menghabiskan waktu seumur hidup bersama orang yang tak pernah bisa mencintaiku
adalah waktu yang terlalu panjang. Aku tidak mau memaksakan kehendak, Wiliam…
mengatur Wiliam dan membuatnya patuh padaku adalah sesuatu di luar kapasitasku.
Aku tidak bisa,” ucap Camila menjelaskan kondisinya pada orang tuanya.
Hilda dan
Surya saling tatap. Surya menghela nafasnya, ia juga menolak perjodohan saat
masih muda dulu dan lebih mementingkan istrinya sekarang. Surya merasa apa yang
di sampaikan putrinya ada benarnya juga. Mungkin bila ia dulu memilih untuk
menikah dengan calon yang dipilihkan keluarganya, ia tak yakin dapat
mempertahankan rumah tangganya hingga sekarang.
Hilda
berusaha tersenyum untuk menguatkan suami dan putrinya. Pilihan yang di ambil
Camila memang berat dan Hilda juga menilai ini adalah langkah yang baik untuk
Camila menata hidupnya kembali.
“Ibu bangga
kamu udah mengambil keputusan, Ibu tidak memaksa agar kita masuk dalam keluarga
Philips. Selama kamu bahagia dan bisa mencapai cita-citamu Ibu tidak masalah,”
ucap Hilda sambil menggenggam tangan Camila.
Surya
menghela nafas lalu mengangguk dan tersenyum setuju dengan apa yang di
sampaikan istrinya. Toh memaksakan kehendak juga tak akan membuahkan hasil
apa-apa.
***
“Pipimu
kenapa?” tanya Wiliam setelah sekian lama memandangi Juwita yang ada di
sampingnya.
“T-tidak
apa-apa…” lirih Juwita berusaha menutup-nutupi.
“Jujur
Juwita!” geram Wiliam lalu menarik Juwita kedalam pelukannya.
“D-Don-Doni..menamparku…”
lirih Juwita.
“Doni?!
Doni menamparmu?!” tanya Wiliam kaget bukan main begitu mengetahui kekasihnya
di tampar oleh temannya sendiri. “K-kenapa?”
“Aku
menolaknya, lalu dia marah…” lirih Juwita sambil memeluk Wiliam yang langsung
membuat Wiliam emosi dan marah.
“Apa yang
sudah dia lakukan padamu?” tanya Wiliam yang langsung berusaha bangun untuk
membuat perhitungan dengan Doni.
“D-dia
hanya mendekatiku, awalnya baik. Ku kira dia baik padaku karena dia temanmu.
Tapi dia mulai mengabaikan Putri. A-aku tidak paham apa maksudnya. Namun ketika
aku enggan menurutinya dan menerima kebaikannya, dia mulai memakiku dan
menamparku. T-tapi aku baik-baik saja…” jelas Juwita berusaha menenangkan
Wiliam yang sudah begitu marah.
“Baik-baik
saja apanya?! Aku bahkan tidak pernah memakimu! Aku juga tidak pernah
menamparmu. Berani sekali dia melakukan itu padamu!”
“Tuan…
tenang dulu…” sela Juwita sambil menggenggam tangan Wiliam.
Wiliam
menatap Juwita lalu mengelus pipinya dan kembali memeluknya erat. “Maaf aku
tidak bisa melindungimu,” lirih Wiliam penuh sesal.
Tamara
masuk ke kamar Wiliam membawakan beberapa makanan lalu duduk di samping tempat
tidur Wiliam. “Mau makan?” tawar Tamara yang akhirnya di angguki Wiliam.
“Bu lihat,
Juwita di tampar Doni!” adu Wiliam pada Tamara dengan sedih. “Besok aku akan
membuat perhitungan dengannya,” lanjut Wiliam sambil menerima suapan dari
Tamara sembari menggenggam tangan Juwita dengan alis yang sudah mengkerut.
“Sebelum
mulai membuat perhitungan harus sehat dulu,” ucap Tamara lembut.
“Aku ganti
baju dulu ya,” ucap Juwita lalu bangkit dari duduknya untuk mengambil dasternya
dan ganti baju di kamar mandi.
“Ibu benci
Juwita?” tanya Wiliam sedikit berbisik.
“Tentu saja
tidak, Ibu menyayangi Juwita juga sepertimu,” jawab Tamara yang membuat Wiliam
tersenyum senang. “Wiliam khawatir ya kalau Juwita pergi lagi?” tebak Tamara.
Wiliam
langsung mengangguk pelan. “Kok ibu bisa tau?” tanya Wiliam kaget karena
tebakan ibunya yang benar.
“Tentu saja
Ibu tau bagaimana perasaan anak Ibu,” jawab Tamara membanggakan dirinya
sendiri.
***
Kartika
langsung di rawat di rumah sakit setelah jatuh dari tangga beberapa waktu yang
lalu. Pihak keluarga Kartika langsung datang untuk merawat dan melihat kondisi
Kartika. Pihak keluarga Kartika sudah sempat akan marah dan menuntut Antonio.
Namun Antonio memiliki terlalu banyak bukti yang cukup kuat.
Tidak hanya
karena Kartika yang menjadi seorang penyuka sesama jenis dan memiliki masalah
dalam pengendalian emosi. Namun Kartika juga mencoba melukai Antonio dan Wiliam
berulang kali yang dapat di buktikan dengan adanya CCTV dan para pelayan yang
siap bersaksi. Tak cukup sampai disitu kasus pembunuhan yang Kartika lakukan
pada Budi mantan supir Antonio juga masih bisa bergulir, di tambah dengan
tindakan penganiayaan Kartika pada Susi dan banyak pekerja di rumah lainnya.
“Aku akan
bercerai dan membongkar semuanya. Aku sudah terlalu muak,” ucap Antonio lalu
meninggalkan Kartika yang baru sadar dan keluarganya yang ada disana.
Tak
berselang lama kuasa hukum keluarga Philips sudah langsung bergerak dan
melayangkan setumpuk laporan pada pihak berwajib atas segala perbuatan Kartika.
Sementara Kartika sendiri yang baru sadar dan hendak melawan tiba-tiba hilang
penglihatan, tubuhnya juga tiba-tiba mati rasa dan tak bisa di gerakkan.
Petugas
medis langsung datang ke ruang rawat Kartika. Tekanan darah yang tinggi di
tambah dengan kebiasaannya merokok dan konsumsi beberapa obat membuat
kondisinya memburuk. Pihak rumah sakit langsung melakukan ct scan dan
pemeriksaan lanjutan lainnya. Sementara Kartika yang mulai kesulitan bicara
terus menggeram dan berteriak meluapkan emosinya yang tak bisa di kontrol.