Bab 11 – Kamar Tamu
Wiliam
hanya diam murung memikirkan Juwita yang entah kapan akan di hadiahkan untuk
Camila dan keluar dari rumahnya. Tak ada interaksi dari Wiliam sepanjang makan
malam. Wiliam bahkan terlihat beberapa kali mendengus dan terlihat begitu bosan
dengan makan malam kali ini. Sampai Camila mulai bicara soal Juwita.
“Tebak aku
punya teman baru yang menyenangkan sekarang,” ucap Camila di tengah jamuan
makan malam.
Semua orang
menatapnya termasuk Wiliam. Camila tersenyum sumringah begitu semua mata
tertuju padanya sesekali ia melirik Kartika seolah sudah saling paham.
“Aku
berteman dengan anak pelayan di rumah keluarga Phillips, namanya Juwita. Dia
baik sekali, dia selalu menurutiku dan mengikutiku seperti anak anjing,” ucap
Camila lalu tertawa pelan di iringi tawa kecil dari yang lainnya.
Wiliam
menatapnya tajam. Wiliam tak suka ada yang menyamakan Juwitanya dengan
binatang. Juwitanya yang lemah lembut dan berhati suci itu tak sepantasnya di
samakan dengan anjing.
“Aku banyak
mengobrol dengannya, dia pendengar yang baik. Besok aku akan mampir ke rumah
Tante Kartika, aku ingin memberi Juwita beberapa pakaianku. Tidak apa-apa kan?”
tanya Camila meminta ijin.
“Tentu
saja, datanglah kapanpun kamu mau. Anggap saja rumah sendiri. Apa mau menginap
sekalian?” tawar Kartika dengang begitu hangat.
Camila
langsung tersenyum dengan malu-malu sambil menggeleng pelan.
Wiliam
begitu muak dengan sikap Camila yang selalu berpura-pura rendah hati di tiap
acara pertemuan. Wiliam tau betul bagaimana Camila dan sikap arogannya.
Melihatnya berpura-pura seperti ini benar-benar memuakkan.
“Aku akan
mengganti gaya berpakaianku sesuai dengan seleramu, aku ingin kamu bisa lebih
menyukaiku,” ucap Camila pada Wiliam setelah membahas Juwita.
“Aku tidak
memiliki selera yang spesifik,” jawab Wiliam yang hanya menyukai Juwita.
Kartika
merasa tidak enak dengan jawaban Wiliam langsung meringis. “Kita bisa
berbelanja bersama kalau begitu,” ucap Kartika yang di setujui Helga.
“Ah benar,
cinta pertama anak laki-laki adalah ibunya. Pasti seleranya mirip,” ucap Hilda ikut
mencairkan suasana karena jawaban Wiliam yang terdengar begitu acuh tak acuh
pada Camila.
Antonio
yang mendengarnya dibuat teringat pada Tamara, ibu kandung Wiliam yang hanya
dapat bertemu dengan Wiliam selama 2 tahun saja. Antonio yang semula bisa
tersenyum mengikuti basa-basi dalam jamuan kali ini mulai memudarkan senyumnya.
Rasa bersalahnya pada Tamara mulai menyelimuti.
***
“Aku tidak
ikut pulang, ada urusan,” pamit Antonio yang meminta di turunkan di halte bus
dan memilih untuk pulang ke rumah gundik simpanannya.
“Apa harus
sekarang?” tanya Kartika berusaha menahan suaminya untuk pergi.
Antonio
hanya diam dan langsung turun dari mobil lalu menghentikan taxi dan pergi
begitu saja.
“Aku bisa
pulang sendiri jika Ibu mau menenangkan diri,” ucap Wiliam pengertian sambil
menggenggam tangan Kartika.
Kartika
mengangguk pelan lalu membiarkan Wiliam turun dari mobilnya. “Ibu pulang besok
pagi,” ucap Kartika yang di angguki Wiliam.
Wiliam
terus mengirim pesan pada Juwita. Memintanya untuk mempersiapkan diri untuk
bertemu dengannya di taman belakang. Wiliam merasa lebih bebas dan bisa menjadi
dirinya sendiri ketika tidak ada Kartika maupun Antonio di sampingnya. Wiliam
benar-benar tak sabar bertemu dengan Juwita dan bermanja-manja dengannya.
Tapi ketika
Wiliam sampai tak ada sambutan dari Susi apalagi Juwita. Tapi karena ia sudah
janjian dengan Juwita sebelumnya ia jadi memutuskan untuk bersiap-siap
menemuinya ditaman belakang. Wiliam menunggu dengan perasaan harap-harap cemas,
sampai tak berselang lama Juwita datang mengenakan gaun bunga-bunga pemberian
Camila yang sempat ia pakai sebelumnya.
Wiliam
langsung memeluknya erat lalu mengecup kening Juwita beberapa kali. “Aku
merindukanmu,” bisik Wiliam di telinga Juwita.
Juwita
tersenyum lalu menangkup pipi Wiliam. Wajah pria tampan yang selalu mencarinya
setiap saat. Juwita memandanginya sambil meraba pipi, hidung dan bibir Wiliam,
lalu kembali tersenyum. Juwita sadar ia tak mungkin bersanding dengan Wiliam,
cepat atau lambat ia juga akan berpisah dengan Wiliam.
Wiliam
mengecup bibir Juwita dengan lembut lalu membawanya ke salah satu kamar di
dekat taman belakang yang biasanya digunakan para tamunya saat menginap.
“Tuan,
jangan. Nanti Nyonya tau,” ucap Juwita begitu ia masuk kedalam kamar.
“Tidak,
ibuku tidak pulang malam ini. Ayahku juga, sepertinya ia pergi kerumah
simpanannya,” ucap Wiliam menenangkan pikiran Juwita.
Juwita
terdiam sejenak mendengar kata simpanan ayah Wiliam, lalu menatap Wiliam
dengan ragu.
Wiliam
langsung bangkit untuk mengunci pintu kamar tersebut dan mulai menerjang tubuh
Juwita.
“Apa Ibumu
tau kalau kamu menemuiku?” tanya Wiliam.
Juwita
mengangguk pelan dengan pasrah dibawah kungkungan Wiliam.
“Apa
katanya?” tanya Wiliam was-was.
“Jangan
pergi keluar rumah, jika masih di rumah tidak apa-apa. Jangan bermain api, itu
saja,” jawab Juwita sambil menatap mata Wiliam.
Wiliam
tersenyum mendengar jawaban Juwita. Susi dan Juwita masih tak berubah.
Kekhawatiran ibunya soal para pelayan yang mungkin menikamnya jelas
terbantahkan.
“Tuan,
Nyonya bilang akan menghadiahkanku pada Nona Camila…”
“Tidak! Aku
tidak akan membiarkanmu diberikan kepada siapapun! Kamu milikku!” sela Wiliam
yang begitu panik dan posesif, begitu takut kehilangan Juwita lagi. “Aku akan
menjadikanmu miliku, dengan segala cara!” ucap Wiliam yang terdengar begitu
nekat.
Wiliam
memang sudah menguping sebelumnya, namun saat Juwita mengucapkannya langsung
masih saja terdengar menyakitkan untuknya. Juwita mengalihkan pandangannya
samar ia melihat Ibunya disana yang langsung pergi begitu bertukar pandangan
dengannya.
Juwita
mendorong tubuh Wiliam menjauh darinya lalu duduk bersandar di tempat tidur.
“Aku tidak bisa menolak perintah Nyonya Besar, Ibuku menyarankanku untuk pergi
keluar negeri atau mencari pekerjaan lain di kampung jika Nyonya memecatku
nantinya,” ucap Juwita.
Wiliam
menggeleng. “Tidak, jangan. Kamu sudah berjanji padaku!” rengek Wiliam yang
sudah begitu cinta dan nyaman dengan Juwita.
Juwita
mengusap pipi Wiliam dengan lembut. “Aku juga tidak ingin meninggalkanmu Tuan,
aku selalu di posisi yang sulit,” ucap Juwita dengan airmata yang mulai
berlinangan.
“Apa kita
kawin lari saja?” tawar Wiliam yang benar-benar sudah nekat.
“Heh!
Jangan kasihan Nona Camila,” ucap Juwita yang tertawa kecil membayangkan
tawaran nekat Wiliam.
“Sesekali
pikirkan dirimu sendiri, jangan terus memikirkan orang lain. Bahkan Camila
tanpa kita saja hidupnya sudah bahagia. Lihat dirimu, apa kamu akan bahagia
jika benar-benar pergi dariku? Sesekali jadilah egois dan tetaplah bersamaku,”
ucap Wiliam sambil memeluk tubuh ramping Juwita dan bersandari di payudara
sintalnya yang lembut.
Juwita
terdiam mendengar ucapan Wiliam yang tak jauh beda dengan Camila. Mungkin
memang benar ia harus mulai egois dan berhenti memikirkan orang lain.
“Tuan…”
lirih Juwita.
“Hmm…” saut
Wiliam yang langsung menatap Juwita.
Juwita
langsung mendekatkan wajahnya pada Wiliam dan mulai melumat bibir Wiliam
terlebih dahulu.