Bab 15 – Cinta Terlarang
Juwita
berjalan cukup lama karena kakinya yang benar-benar masih terasa nyeri dan
ngilu ketika ia berjalan ke kelas. Wiliam terus menemaninya meskipun Juwita
sudah menolaknya dan memintanya untuk pergi duluan. Wiliam juga membawakan
barang bawaan Juwita karena Juwita menolak untuk di bantu kembali ke kelas.
“Terimakasih
Tuan,” ucap Juwita begitu sampai di kelas.
Semua mata
tertuju pada Juwita dan Wiliam. Wiliam tak bereaksi apapun dan hanya diam
seperti biasa. Tak berapa lama orang-orang tak memperhatikan Juwita lagi. Tapi
berbeda dengan Camila dan gengnya yang masih saja menatap dengan pandangan
sinis pada Juwita.
“Aku bisa
menghancurkan sepedanya,” ucap Rio menawarkan diri untuk memberi pelajaran pada
Juwita.
Camila
menggeleng. “Tahan dulu,” lirihnya lalu tersenyum menyambut Wiliam yang kembali
duduk di sampingnya. “Aku sudah bilang sama Ibumu, katanya nanti bisa sekalian
mau main tenis di rumahmu. Aku jadi ga sabar,” ucap Camila manja pada Wiliam.
Wiliam mengangguk
tanpa bicara apapun lalu kembali melirik Juwita yang memperhatikan pelajaran
kali ini.
***
Wiliam
terus mengirimi pesan pada Juwita mengiriminya pesan sepanjang perlajaran
berlangsung. Meskipun Juwita begitu lama saat membalas pesannya dan hanya
membalas dengan singkat. Wiliam sangat khawatir pada Juwita meskipun sudah
susah payah berpura-pura cuek padanya namun gesturnya tetap terlihat jelas jika
ia begitu perhatian pada Juwita.
“Lama…”
keluh Wiliam yang sampai rumah lebih awal daripada Juwita yang masih harus
mengayuh sepedanya pulang.
“Sabar,
pasti Camila sedang mempersiapkan diri,” ucap Kartika yang sama-sama sedang
menunggu.
Wiliam
menoleh ke arah ibunya lalu kembali memasang wajah datarnya dan memilih kembali
ke kamarnya untuk mengirim pesan pada Juwita. Sampai ia di panggil karena
Camila sudah datang dan Juwita juga sudah pulang dan bersiap menyambut Camila.
Camila
tampak begitu bahaia dan berseri-seri saat datang ke rumah keluarga Phillips
dengan kaos dan rok tenisnya yang begitu pendek dan sexy. Camila tampak begitu
jelas ingin menggoda Wiliam. Sayangnya Wiliam sudah menambatkan hatinya pada
Juwita sejak lama dan Wiliam juga bukan tipe pria yang suka menduakan hatinya.
“Ini ku
bawakan baju-baju lamaku,” ucap Camila lalu memberikan baju bekasnya pada
Juwita.
“Terimakasih
banyak, aku tidak menyangka akan dapat sebanyak ini,” ucap Juwita sambil
tersenyum sumringah lalu mengangguk dan membawa tas besar yang dibawa Camila
kedalam kamarnya.
Wiliam
mendengus kesal melihat Juwita yang begitu senang meneriman pemberian Camila.
Ia merasa gagal menjadi seorang pria yang mapan dan bisa mensejahterakan
kekasihnya itu sampai harus diberi orang lain seperti ini.
“Om
kemana?” tanya Camila basa-basi.
“Om keluar
kota,” jawab Kartika berusaha menutupi kepergian Antonio yang jelas sedang
menghabiskan waktu bersama gundiknya.
Camila
mengangguk lalu berjalan bersama Kartika menuju lapangan tenisnya, namun belum
jauh ia melangkah tiba-tiba ada tamu yang tak di sangka-sangka datang. Seorang
wanita muda dengan rambut panjang mengenakan gaun berwarna merah datang membawa
sebuah lukisan.
“M-maaf aku
lancang…” ucap wanita itu sambil menatap Camila yang sedang di rangkul Kartika
bergantian.
Kartika
langsung melepaskan Camila dan berlari mengejar wanita muda yang baru masuk ke
rumahnya tersebut. Camila menaikkan sebelah alisnya heran dengan apa yang di
lakukan Kartika yang bisa begitu panik karena kedatangan tamunya barusan.
“Lila
tunggu!” ucap Kartika lalu mengejar Lila keluar.
“Ehm…”
deham Wiliam. “Kita bisa bermain tenis sendiri?” tawar Wiliam yang di angguki
Camila.
Wiliam tau
siapa Lila dan hubungan terlarang yang di jalani Kartika dengannya. Wiliam
tidak suka dan merasa aneh sebenarnya pada hubungan lesbi yang di jalani ibunya
tersebut. Tapi ia memilih membiarkannya selama itu bisa membuat ibunya bahagia.
“Yang tadi
itu siapa?” tanya Camila penasaran.
“Bukan
siapa-siapa, dia hanya seniman yang di kontrak galeri Ibuku,” jawab Wiliam
tenang dan tak memberi celah untuk Camila bertanya lagi agar tak banyak
kecurigaan yang timbul.
Camila
mengangguk paham. “Apa Juwita bisa ikut bermain bersama kita?” tanya Camila.
“Dia tidak
enak badan,” jawab Wiliam yang tak mau bila Juwita harus ikut menemani Camila
lagi setelah tadi di sekolah sakit.
Camila
mendengus kesal. “Apa Juwita bisa di pecat? Jujur aku sudah bosan padanya,”
ucap Camila yang sebenarnya sudah menaruh curiga pada Juwita dan Wiliam.
Wiliam yang
menggenggam raket dan bersiap memulai servis menurunkan tangannya. “Aku akan
memintanya kembali bersekolah di sekolah lamanya atau di pindah ke kelas lain,”
ucap Wiliam.
“Tidak, aku
ingin dia di pecat. Aku benar-benar muak melihatnya hari ini,” ucap Camila
sambil mendekat ke arah Wiliam.
“Kenapa? Ku
kira kalian dekat?” tanya Wiliam kaget.
Camila
mengangguk pelan. “Awalnya, ku rasa aku perlu menyingkirkan duri sebelum itu
melukaiku,” ucap Camila penuh arti lalu tersenyum manis.
“Apa
maksudmu? Duri bagaimana maksudmu? Dia cukup baik dan melayanimu dengan baik.
Kenapa tiba-tiba begini?” tanya Wiliam yang terlihat marah dan panik.
“Aku bilang
aku muak melihatnya hari ini, apa itu tidak jelas di telingamu?” ucap Camila
menaikkan nada bicaranya.
Wiliam
menghela nafas lalu mengusap wajahnya. “Juwita tidak membuat kesalahan…”
“Dia salah
karena menggodamu hari ini!” bentak Camila untuk pertama kalinya menunjukkan
sikap aslinya pada Wiliam.
“Menggodaku?
Kapan?” tanya Wiliam kaget.
“Di UKS, di
sekolah, kalian berjalan bersama ke kelas. Mungkin juga melakukan hal lain yang
lebih mencurigakan di rumah ini!” ucap Camila menyampaikan isi hatinya.
“Kenapa
kamu terus berprasangka buruk padaku? Pada Juwita yang hanya pelayan juga?”
tanya Wiliam heran.
“Dia terus
mendekatimu, aku tunanganmu! Aku bahkan tak tinggal serumah denganmu, tentu aku
curiga!”
“Kamu tidak
akan curiga dan dia tidak akan mendekatiku kalau kamu tidak memaksanya
memata-mataiku!” bentak Wiliam membuka kartu lebih awal untuk menyudutkan
Camila.
Camila
membelalakkan matanya kaget dan berkaca-kaca mengetahui jika Wiliam tau apa
yang ia perintahkan pada Juwita. “B-ba-bagaimana kamu tau?” tanya Camila.
“Gampang
saja, tidak ada pelayan di rumah ini yang begitu kepo dan menanyai masalah
pribadiku. Tidak ada pula pelayan yang bisa bergabung dengan gengmu, bahkan
orang buta sekalipun dapat mencurigaimu!” jawab Wiliam yang memilih menumpahkan
kesalahan pada Camila daripada harus membuat Juwita dalam masalah.
Camila
memalingkan wajahnya. Ia makin benci dengan Juwita sekarang. “Aku mau pulang!”
kesalnya lalu berjalan pergi meninggalkan Wiliam sendiri.
“Nona mau
pulang?” tanya Juwita yang baru akan menyusul ke lapangan tenis sambil
membawakan minuman dingin.
Camila
mendengus kesal sambil menatap Juwita tajam penuh kebencian lalu berjalan
dengan kesal kembali ke mobilnya.
“Aku akan
membuat perhitungan dengan pelayan tidak tau diri itu!” geram Juwita kesal.