Bab 39 – Perhitungan
Wiliam
terlihat begitu sumringah dan jelas sudah mau makan dengan lahap di temani
Juwita dan ibu kandungnya. Wiliam juga lebih leluasa dan berani bermesraan
bersama Juwita karena tau Tamara mendukung hubungannya. Wiliam juga bisa lebih
leluasa bercerita pada Tamara seperti dulu lagi meskipun kadang Wiliam secara
tidak sadar menjaga jarak seperti apa yang ia lakukan dulu pada Kartika.
“Yakin mau masuk?”
tanya Antonio saat melihat Wiliam sudah rapi dengan seragamnya dan ikut sarapan
bersama.
Wiliam
mengangguk. “Kalo aku ga masuk nanti Juwita gimana?” saut Wiliam lalu duduk
disamping Juwita lalu mengecup keningnya yang membuat Juwita bersemu malu di
cium di depan Antonio dan Tamara sekaligus.
Tamara
tersipu melihat betapa hangat dan penyayangnya Wiliam. Wiliam terlihat begitu
ceria ketika bersama Juwita. Wiliam begitu berbeda dari foto yang di kirimkan
Antonio biasanya atau saat ia lihat di acara-acara dulu. Wiliam terlihat
bahagia dan lebih hidup.
“Wiliam mau
bawa bekal gak?” tanya Tamara yang sudah lama ingin membawakan bekal untuk
Wiliam selama ini.
Wiliam
mengangguk sambil mengunyah sarapannya. “Ibu bawakan buat Juwita juga,” pinta
Wiliam lalu bangun mengikuti Tamara ke dapur meninggalkan Juwita dan Antonio
sendiri.
Antonio
menoleh pada Tamara yang begitu sumringah dan ceria bisa bersama dengan Wiliam
kembali, lalu ia kembali menatap Juwita. “Kabari Ibumu, setelah kamu lulus akan
segera meresmikan pernikahan dengan Wiliam,” ucap Antonio yang di angguki
Juwita.
“Baik
Tuan,” jawab Juwita patuh sembari menghentikan makannya.
“Mungkin
tidak bisa membuat pesta, kasus ini akan berjalan lama. Sebatas sah saja, tidak
masalah kan?”
Juwita
langsung mengangguk sambil tersenyum sumringah.
“Apa yang
Ayah bicarakan dengan Juwitaku?!” sergap Wiliam yang langsung menaruh curiga
pada ayahnya ketika melihat Juwita mengangguk setelah bicara dengannya.
“Pernikahanmu,
kamu mau kan menikah dengan Juwita? Atau mau ganti yang lain?”
“Hus! Ayah,
tentu saja aku akan menikahi Juwita!” sahut Wiliam lalu duduk dan kembali
melanjutkan sarapannya. “Aku ingin mewujudkan pernikahan impiannya Juwita,”
lanjut Wiliam sambil mengecup pipi Juwita dengan lembut.
Juwita
tersenyum lalu menggenggam tangan Wiliam. “Aku ingin kita segera sah saja,
tidak perlu pesta. Aku hanya bermimpi kita punya buku nikah saja, tidak lebih.”
Wiliam
cemberut mendengar jawaban Juwita. Wiliam sudah memimpikan pernikahan yang
indah seperti kebanyakan pesta resepsi yang ia hadiri.
“Wiliam…”
Tamara mengelus bahu Wiliam dengan lembut lalu tersenyum.
“Kamu
bilang gitu karena Ayah?” tanya Wiliam pada Juwita.
Juwita
menggeleng pelan lalu mengelus perutnya sembari menatap Tamara, berharap Tamara
dapat membantunya menjelaskan pada Wiliam.
“Kita bisa
membuat pesta lain nanti…” ucap Tamara lembut sembari mengelus punggung dan
bahu Wiliam.
Wiliam
mengangguk dengan lesu lalu beranjak dari meja makan untuk berangkat ke sekolah
bersama Juwita. Bila Juwita mengira Wiliam akan dapat di ajak bicara saat
perjalanan ia salah. Kini Wiliam di buat kesal karena dua hal, pertama Doni
yang sudah main tangan dengan Juwita yang kedua pernikahannya yang tidak akan
di buatkan pesta meriah.
“Minum
susumu, tidak usah mengikutiku…” ucap Wiliam lalu melepaskan cincin di jari
manisnya dan memberikannya pada Juwita.
Wiliam
langsung mengeluarkan knuckle dari tasnya dan pergi mencari Doni sendirian.
Wiliam langsung berjalan menuju ruang club golf yang biasa menjadi basecampnya
bersama Doni dan Daren. Wiliam langsung menghampiri Doni yang tengah merayu
seorang gadis dari club renang dan tengah bercumbu dengannya.
“H-hai bro…”
Bugh! Wiliam langsung menghantam wajah Doni
hingga ia terjungkal jatuh ke lantai dengan sekuat tenaga. Gadis yang baru di
cumbu Doni itu menjerit ketakutan dan langsung berusaha menyelamatkan Doni.
Wiliam sempat menghentikan pukulannya pada Doni ketika gadis itu menahannya.
Doni yang ketakutan memilih untuk kabur dan
lari meninggalkan gadis itu bersama dengan Wiliam sendirian disana. Gadis itu
gemetar ketakutan dan merasa di khianati oleh Doni yang langsung berlari
meninggalkannya setelah ia pasang badan melindunginya. Wiliam menatap gadis itu
dengan kesal, gadis yang tak tau menau soal masalahnya yang tiba-tiba ikut
campur.
“Lihat! Apa pria yang meninggalkanmu sendirian
itu masih pantas kamu bela?!” bentak Wiliam begitu marah. “Perempuan bodoh!”
maki Wiliam lalu keluar mengejar Doni.
Wiliam berlari mengejar Doni yang sudah kembali
ke kelas berencana meminta perlindungan pada Juwita atau pada siapapun yang
bisa menyelamatkannya dari amukan Wiliam. Namun sayangnya Wiliam jauh lebih
cepat dari Doni, Wiliam langsung menyeret Doni keluar dari kelas dengan wajah
bengisnya tak peduli dengan kondisi Doni yang sudah babak belur.
“T-Tuan Wiliam!” seru Juwita yang kaget dan
khawatir melihat Doni yang sudah babak belur.
Putri yang melihat Wiliam tiba-tiba mengamuk
pada Doni langsung mengejarnya berusaha menghentikan amukan Wiliam sebelum
semakin menjadi-jadi.
“Wiliam berhenti!” jerit Putri.
Wiliam
bangun dari posisinya yang sudah menduduki Doni sembari menghajar
wajahnya.
“Tuan Wiliam… sudah… jangan di teruskan. Aku
sudah memaafkan Doni,” ucap Juwita yang langsung mendekat pada Wiliam dan
membawanya menjauh dari Doni beberapa langkah.
“Aku hanya sedang menghajar seorang pengecut
dan penjahat kelamin yang terus menggoda gadis-gadis di sekolah!” geram Wiliam
kesal dengan nafas menderu menahan emosi dan tangan yang masih terkepal.
Putri langsung menatap Wiliam dengan alis
bertaut dengan heran lalu menatap Doni yang terkapar dengan kondisi celana yang
sudah berantakan dan ada sebuah bungkus kondom yang ada di kantong celananya.
“Tuan…” Juwita menggenggam erat tangan Wiliam
sembari menariknya menjauh. Sementara Putri membantu Doni pergi ke UKS untuk
mengobati lukanya sekaligus menanyainya soal apa yang Wiliam katakan barusan.
***
Juwita
terus memegangi tangan Wiliam selama di kelas. Doni dan Putri memutuskan untuk
bolos bersama hari itu setelah kejadian Wiliam yang mengamuk pagi tadi. Doni
perlu mengobati lukanya sementara Putri menuntut penjelasan dari Doni. Camila
sesekali mencuri pandang pada Wiliam yang dengan mudah patuh pada Juwita dengan
iri, namun karena ia sudah memutuskan hubungannya Camila memilih untuk fokus
pada kehidupannya saja.
“Tuan,
jangan seperti itu lagi. Masalah kita masih terlalu banyak, jangan menambah
lagi ya…” ucap Juwita lembut sembari menatap Wiliam yang sedari tadi diam di
sampingnya.
“Kamu
khawatir sama Doni ya?” tanya Wiliam setelah lama diam mendengar Juwita
mengatakan hal yang sama berulang-ulang.
Juwita
mendengus kesal. “Aku khawatir padamu,” jawab Juwita lalu mengusap wajahnya
dengan gusar. “Ini semua membuatku stres,” lanjut Juwita lalu menyandarkan
tubuhnya di kursi.
Wiliam
menatap Juwita lalu menggenggam tangannya. “Jangan, kasihan anakku…” bisik
Wiliam lalu mencium tangan Juwita. “Aku marah kamu di tampar seperti itu. Aku
tidak suka dia semena-mena padamu. Dia kira jadi jagoan apa?!” jelas Wiliam
mencoba membenarkan perbuatannya.
Juwita
hanya mengangguk tanpa menanggapi Wiliam lalu mencoba kembali fokus pada
pelajaran sembari menahan tangisnya karenaa di selimuti kekhawatiran pada
Wiliam. Wiliam yang semula ingin merajuk dan sedikit minta di manja oleh Juwita
ikut memperhatikan pelajaran hingga selesai. Namun ketika kelas selesai Juwita
langsung pergi ke toilet duluan tanpa mengucapkan apapun pada Wiliam.
Samar
Wiliam mendengar Juwita yang muntah-muntah dari dalam toilet. Juwita sudah
begitu pucat ketika keluar dan langsung di sambut Wiliam yang memeluknya agar
tidak terjatuh.
“Lemas?”
tanya Wiliam khawatir yang di angguki Juwita dengan pelan.
Wiliam
langsung membawa Juwita ke UKS namun baru beberapa langkah saja Juwita sudah
mulai lemas hingga tak kuat manahan keseimbangannya. Dengan sigap Wiliam
langsung membopongnya ke UKS. Tak ada dokter yang berjaga disana hari ini, jadi
Wiliam dan Juwita bisa berduaan dengan tenang kali ini.
“Lepas
korsetmu,” ucap Wiliam sembari membantu Juwita melepaskan korsetnya lalu
langsung mencium perut Juwita.
Juwita
hanya diam pasrah membiarkan Wiliam melepas korset di perutnya lalu menyamankan
posisinya. Juwita mengelus perutnya lalu memejamkan mata sembari menggenggam
tangan Wiliam. Airmata Juwita mulai mengalir, Juwita mulai menangis sembari
menggenggam tangan Wiliam.
“Ada apa?
Sakit? Nyeri? Mau muntah lagi?” tanya Wiliam panik.
Juwita
menggeleng. “Jangan berkelahi lagi…” ucap Juwita lalu mencubit tangan Wiliam
sambil menangis.
Wiliam
tersenyum senang mendengar Juwita yang menangis karena mengkhawatirkannya.
Wiliam langsung memeluk Juwita dan mendekapnya dengan erat sembari mengelus
punggung dan pinggangnya dengan lembut.
“Aku takut
kita berpisah lagi, aku takut kita ga bisa sama-sama lagi…” tangis Juwita
sambil membenamkan wajahnya pada dada bidang Wiliam.
Wiliam
mengangguk pelan lalu mengecup kening Juwita dengan lembut. “Maaf… ini yang
terakhir aku janji, kita gak bakal pisah lagi,” lirih Wiliam.
“Jangan
bohong, aku tidak mau semakin banyak masalah,” ucap Juwita sambil memukul
Wiliam pelan.
Wiliam
mengangguk lalu kembali mencium kening Juwita dengan lembut. “Iya Sayang…
janji.”
Juwita
menyeka airmatanya sendiri lalu menatap Wiliam. “Aku terus mengkhawatirkanmu
setiap waktu, Dokter bilang aku tidak boleh terlalu banyak pikiran. Tapi kita
terus terseret masalah, bagaimana bisa aku tidak banyak pikiran…” ucap Juwita
menyampaikan semua isi hatinya pada Wiliam.
Wiliam
terdiam tak dapat berkata apa-apa lagi. Ia tak bisa membela diri kali ini atau
berkelit agar Juwita seperti biasanya karena tak mau kalah dengannya dalam
beradu argumen. Tapi kali ini Wiliam tak bisa berkata apa-apa, ia sadar sudah
banyak membuat Juwita khawatir dan berada pada masa-masa yang sulit.
***
Doni tak
bisa berkutik lagi. Di hajar Wiliam habis-habisan di tambah dengan Putri yang
tak lagi menaruh kepercayaan padanya. Padahal sebentar lagi ia akan meresmikan
pertunangannya sebagai jaminan bisnis keluarga. Doni benar-benar di posisi yang
sulit.
Beberapa
kali ia mencoba merayu dan menjelaskan pada Putri namun Putri sudah terlanjur
kecewa padanya. Daren juga tak bisa menolongnya karena Karin yang tak mau jika
mereka ikut bermasalah dengan Wiliam. Doni sempat terpikir untuk menuntut
Wiliam, tapi ia ingat hutang keluarganya yang cukup besar pada perusahaan milik
keluarga Wiliam. Tentu saja itu akan menimbulkan masalah yang jauh lebih besar
lagi jika ia melakukannya.
Doni juga
meminta bantuan pada Camila untuk mendamaikannya dengan Wiliam. Tentu saja
Camila tidak mau dan sudah tidak sudi lagi berurusan dengan Wiliam. Hanya
Juwita yang bisa mendamaikannya namun Juwita jelas tak bisa di dekati karena
terus bersama dengan Wiliam. Wiliam sendiri juga sebenarnya setelah kejadian
itu hanya diam dan memilih mematuhi Juwita untuk tidak membuat masalah baru,
jadi ia meredam hasratnya untuk menghajar Doni setiap kali melihatnya di kelas.
Sampai hari
ujian tiba. Wiliam masih tak mau bicara dengan Doni dan hanya mendiamkannya
saja seolah tak pernah saling kenal sebelumnya. Wiliam terlihat hangat dan
ramah namun sialnya itu hanya terjadi saat Wiliam bersama Juwita saja, sisanya
Wiliam akan kembali terlihat menyeramkan seperti biasanya. Semakin sulitlah
kesempatan Doni kembali memperbaiki keadaan.
“Tuan tidak
ingin berbaikan dengan Doni?” tanya Juwita lembut sembari berjalan bersama
Wiliam ke ruang rahasia di perpustakaan.
Wiliam
menggeleng. “Menurutku membuangnya adalah jalan terbaik,” jawab Wiliam lalu
mempersilahkan Juwita masuk duluan. “Aku ingin kita bisa segera pindah kerumah
agar bisa bercinta dengan lebih nyaman,” keluh Wiliam lalu mengunci pintu
sementara Juwita mulai melepaskan korsetnya dan duduk di tempat tidur sembari
membiarkan perutnya yang buncit bebas begitu saja.