Bab 24 – Air Tenang
"#dasp98 #dasp.98 #GundikRahasiaTuanMuda #NovelIndo #Wattpad"
“Camila…”
panggil Hilda yang menyadari ada yang tidak beres setiap kali tau jika Camila
sedang mengurung diri di kamarnya.
Camila
hanya diam memunggungi Hilda yang masuk ke kamarnya. Ia benar-benar tak siap
menghadapi ibunya apalagi menceritakan apa yang ia alami. Terlalu memalukan dan
menyakitkan baginya sudah kehilangan kendali atas Wiliam hingga berani
terang-terangan menunjukkan hubungannya seperti ini.
“Bagaimana
hubunganmu dengan Wiliam?” tanya Hilda dengan senyum sumringahnya merasa jika
cara itu akan selalu mempan untuk memperbaiki perasaan Camila yang biasanya
akan selalu membaik dan kembali ceria setiap membahas Wiliam.
Camila
menggeleng pelan. “Aku tidak tau Bu, hubunganku memburuk belakangan ini,” jawab
Camila pelan lalu memeluk Hilda.
Hilda
mengerutkan keningnya ikut prihatin atas apa yang di alami putrinya. Meskipun
ia belum tau secara pasti dan spesifik atas apa yang tengah di hadapi dalam
hubungan percintaan putrinya.
“Semua
pasangan pasti ada cobaannya, ada ujian cintanya. Mau ketemu sama Tante
Kartika? Ngobrol sama dia biar biasa bantuin hubunganmu,” saran Hilda lalu
tiduran di belakang Camila sambil memeluknya.
Camila
menggeleng. “Aku sudah mengabari Tante Kartika, aku juga sudah sering curhat
dengannya,” ucap Camila murung. “Aku mau menenangkan diriku, aku mau sendirian
Bu,” lanjut Camila sambil menyingkirkan tangan Hilda yang memeluknya dari
belakang.
Hilda
menghela nafas lalu mengecup kening putrinya sebelum keluar dari kamarnya.
Camila menunggu sampai ibunya pergi ia baru mulai mencari tau siapa gadis yang
menerima cincin baru dari Wiliam itu. Kecurigaan Camila memang sudah langsung
tertuju pada Juwita, namun Juwita tak memiliki akun Instagram sama sekali,
terakhir ia melihat ponsel yang di bawa Juwita juga begitu jadul.
Camila
ingat sekali saat ia berpapasan dengan Juwita di UKS dan setiap kali
memperhatikan Juwita bermain ponsel di kelas, ia hanya memakai ponsel motorola
flip jadul yang di hiasi stiker-stiker kecil murahan. Camila juga sering
melihat Juwita yang hanya melihat ponsel android milik Rani dan Adi saja, atau
kadang milik Wiliam ketika Juwita menerima perintah darinya.
Meskipun
Camila menaruh kecurigaan besar pada Juwita tapi disisi lain ia juga ragu jika
Juwita akan mampu membujuk Wiliam sejauh itu. Mengingat Wiliam memang tidak
suka adanya pembullyan di sekolah, ditambah lagi Juwita memang pelayannya jadi
wajar jika dekat dengan Wiliam. Jika ia ingat kembali saat jam olahraga
beberapa waktu lalu Wiliam juga terlihat biasa saja dan Juwita tetap
menjalankan tugasnya menjadi pelayan yang memunguti bola saat bermain tenis.
Camila
berusaha menolak fakta jika memang Juwita yang melakukan ini padanya. Ia
berusaha menolak kenyataan jika Juwita memang gundik simpanan Wiliam yang sudah
mencuri seluruh hatinya. Juwita begitu penurut dan menyenangkan, selalu mau
menjadi pendengar yang baik, tak pernah berusaha menjadi sorotan dan mencuri
perhatian. Camila begitu nyaman pada Juwita dan sudah berharap dapat
menjadikannya sebagai sahabat.
Tapi Camila
juga ingat jika segala kemungkinan dalam hidup bisa saja terjadi. Entah itu
dari tempat yang dapat ia duga maupun tidak. Bahkan air yang tenang pun dapat
menghanyutkan. Semua berpeluang menyakitinya dan menjadi pengkhianat termasuk
Juwita.
Camila
terus mencoba mencari tau soal Wiliam dan memata-matainya dari internet. Tapi
sialnya Wiliam sama seperti kebanyakan anak keluarga old money lainnya.
Ia begitu tertutup, bahkan namanya juga terbilang cukup pasaran. Wiliam, nama
itu ada begitu banyak di dunia ini. Pengguna nama Juwita juga begitu banyak,
kesalnya lagi setiap ia memasukkan nama Juwita ke mesin pencarian di internet
ia malah mendapati sinetron-sinetron dengan judul Juwita.
“Kenapa
namanya begitu pasaran…” gumam Camila kesal lalu terus melakukan pencarian di
internet atas Juwita.
Susi menatap Juwita yang tiduran sambil terus berkirim pesan dengan Wiliam. Juwita tak terlihat ceria setelah mendengar perseteruan orang tua Wiliam dan Wiliam yang begitu berkeras untuk mempertahankannya. Susi mulai merasa menyerah sekarang, sepertinya ia tak akan bisa membalas dendam pada Kartika atas kematian suaminya.
“Kita
pindah saja yuk, ke kampung. Kita bikin bisnis sendiri di kampung. Buka warung,
biar Dina ada temennya. Kita bareng-bareng lagi sama Dina, hidup tenang
disana,” ucap Susi tiba-tiba.
Juwita
langsung meletakkan ponselnya dan menatap ibunya dengan penuh tanya dan
keterkejutan. “K-kenapa? Aku yakin bisa dapetin Wiliam. Kenapa harus mundur?
Ibu apa gak pengen punya mantu hebat dari keluarga ini?” tanya Juwita yang
merasa jalannya sudah dekat dan sebentar lagi dapat memenangkan Wiliam
seutuhnya.
Susi
menggeleng. “Kamu gak paham…”
Air mata
Juwita sudah langsung mengalir. Ia paham jika status sosialnya dengan Wiliam
begitu berbeda jauh. Ibunya hanya kepala pelayan, mendiang ayah tirinya juga
hanya sopir. Tapi beberapa waktu lalu ketika Juwita hendak mundur dan menyerah
atas Wiliam, ibunya adalah orang pertama dan satu-satunya yang memberikan
dukungan padanya.
“Aku udah
mau jauhin Tuan kemarin, tapi Ibu bilang gapapa. Aku harus yakin bisa dapetin
Tuan Muda. Terus kenapa sekarang aku harus mundur? Aku sudah melalui banyak hal
bersama Tuan, bahkan Nona Camila juga membenciku. Kenapa aku harus mundur?”
Juwita tak terima dan mulai menangis kecewa.
Susi
memeluk Juwita. “Maaf, tapi Ibu gak bisa kalo berkorban lebih banyak lagi.
Nyonya lebih mengerikan dari yang bisa kamu bayangkan. Nyonya itu kejam dan
berani menghalalkan segala cara. Ibu gak mau kamu bernasip sama kayak Bapak,”
ucap Susi jujur menyampaikan kekhawatirannya.
Juwita
hanya bisa menangis dalam diam. Sebentar lagi sekolahnya selesai, ia juga sudah
begitu nyaman dengan Wiliam. Rasanya tidak adil ia harus terus mengalah dan
menyingkir sementara sudah jelas jika Wiliam mencintainya.
“Aku bakal
pergi, tapi aku gak bakal ninggalin Tuan Wiliam,” ucap Juwita di sela
tangisnya.
Susi
menggeleng. “Jangan Nak, keserakahan tidak akan membuatmu merasa lebih baik…”
“Lalu apa?
Kenapa aku harus meninggalkan pria yang begitu mencintaiku? Kenapa aku harus terus
di singkirkan dan mengalah Bu?”
Susi
menggeleng. “Ibu paham…”
“Kalo Ibu
paham kenapa kita harus terus pergi Bu?” untuk pertama kalinya Juwita melawan
perintah.
“Ibu gak
bisa berkorban lebih banyak lagi, ibu gak mau kehilangan kamu,” tangis Susi
menjelaskan kondisinya pada Juwita sambil memeluk putrinya dengan erat.
Juwita menggeleng pelan ia tak paham. Juwita merasa jika kematian suami ibunya sebatas kecelakaan kerja saja. Selain itu Juwita merasa jika apa yang sekarang di dapatkan ibunya sudah lebih dari konpensasi yang seharusnya. Sementara Susi merasa sudah egois dan terlalu gegabah menyertakan Juwita dalam rencana balas dendamnya pada Kartika.