Bab 19 – Puding
“Tuan, Tuan
Wiliam mulai menanyakan soal Nyonya Tamara…” ucap Susi melapor pada Antonio
setelah pagi tadi saat sarapan Wiliam tiba-tiba bertanya soal Tamara padanya.
“Kenapa
tiba-tiba dia bertanya soal Tamara?” tanya Antonio dengan sebelah alisnya yang
terangkat dan terdengar cukup kaget mengetahui Wiliam masih mengingat Tamara.
Susi
menggigit bibir bawahnya sambil meremas ibu jarinya. “J-Juwita dan Tuan Wiliam
mengobrol di taman belakang, keduanya mengobrol dan mengingat soal masa
kacilnya. Tiba-tiba saja Tuan Wiliam teringat pada Nyonya Tamara,” jawab Susi
yang takut jika Juwita akan di marahi.
Antonio
terdiam cukup lama, ia benar-benar tak menyangka jika Juwita akan membawa
ingatan Wiliam kembali ke masa kecilnya sejauh itu. Bukan Antonio tak suka jika
Wiliam mengingat ibu kandungnya lagi, tapi tinggal beberapa bulan lagi
pertunangannya akan diresmikan. Semuanya akan kacau dan berantakan jika Wiliam
memilih untuk ikut bersama Tamara dan membangkang nantinya.
“S-saya
akan memulangkan Juwita kembali Tuan…”
“Jangan!”
tahan Antonio yang masih ingin tau sejauh apa Juwita mampu mengembalikan
ingatan Wiliam. “Biarkan saja mereka bersama seperti dulu,” ucap Antonio yang
ingat betapa sedihnya Wiliam saat ditinggal Tamara dan Juwita di saat
bersamaan.
Antonio tak
mau memperburuk suasana kembali. Wiliam kembali menanyakan soal Tamara saja
rasanya kurang baik. Terutama jika sampai Kartika mendengarnya, bila di tambah
dengan kepergian Juwita lagi. Antonio sudah tidak bisa membayangkan betapa
sedih dan susahnya ia mengatur putranya nanti.
***
Juwita
tiba-tiba menerima banyak perintah dari Camila dan gengnya. Mulai dari sekedar
memintanya membelikan minuman ringan sampai sengaja menyuruhnya mendekat
sebatas mengambilkan barang yang jatuh ke lantai. Wiliam tentu sudah mencoba
menghentikannya tidak hanya sekali namun hampir setiap kali Camila memanggil
Juwita untuk memberinya perintah. Meskipun itu tetap tidak mempan menghentikan
keisengan Camila dan gengnya untuk mengerjai Juwita.
“Sikapmu
semakin hari semakin memuakkan…” ucap Wiliam sambil menatap Camila yang makan
siang bersamanya setelah terus menerus memerintah Juwita.
Senyum
ceria di wajah Camila yang baru saja merasa puas setelah mengerjai Juwita
langsung pudar begitu mendengar ucapan Wiliam yang begitu menusuk. Doni dan
Daren yang berada dalam satu meja saat makan siang ikut terdiam lalu mencoba
menahan senyumnya mendengar Wiliam yang berani begitu frontal mengucapkan isi
hatinya pada Camila.
“I-ini
Nona, tadi aku harus mengantri dulu,” ucap Juwita sambil membawakan puding susu
yang diminta Camila.
Camila
bangun lalu memukul kepala Juwita dengan kemasan puding susu yang baru Juwita
bawakan untuknya dengan sekuat tenaga.
“Juwita!”
teriak Wiliam yang langsung pasang badan memeluk Juwita dan menghalangi Camila
untuk meluapkan kemarahannya.
“Maaf, aku
tidak sengaja tanganku licin,” ucap Camila dengan pandangan angkuh dan
merendahkan menatap Juwita tanpa rasa penyesalan sedikitpun lalu pergi
meninggalkan kantin begitu saja di ikuti Putri dan Karin.
Juwita
gemetar ketakutan mendapat perlakuan yang begitu buruk dari Camila dan di
saksikan hampir semua orang di sekolahnya. “A-aku baik-baik saja Tuan,” ucap
Juwitta lalu memunguti sisa-sisa puding di lantai sebelum pergi ke toilet untuk
membersihkan dirinya.
Wilaim
menghela nafas lalu meninggalkan makan siangnya untuk menemani Juwita. Tak ada
yang berani mendekat atau mengganggu, semua orang memilih menjauh dari Wiliam
maupun Camila. Mengingat keluarga Phillips yang memiliki kekuasaan atas sekolah
dan Camila adalah tunangan dari Wiliam. Semua orang tak mau terkena masalah
atau terlibat dalam masalah yang ada di antara Wiliam dan Camila.
“Kamu
gapapa?” tanya Wiliam khawatir pada Juwita begitu ia keluar dari toilet.
Juwita
mengangguk sambil tersenyum. “Aku baik-baik saja Tuan,” ucap Juwita lembut lalu
berjalan melewati Wiliam untuk makan siang bersama Rani dan Adi.
Wiliam
terus mengawasi Juwita yang terlihat mulai di kucilkan dari pertemanannya. Tak
satupun anak pelayan yang mau duduk di sampingnya setelah Camila memukul Juwita
tadi. Semua langsung menjaga jarak dan mulai menjauhi Juwita. Tak satupun orang
yang mau berurusan dengan Camila dan dengan semua orang yang menjadi sasaran
bullyannya.
“Maaf
Juwita…” lirih Adi sebelum mengikuti Rani meninggalkan Juwita.
Adi dan
Rani juga langsung pergi tak berapa lama setelah selesai makan. Meninggalkan
Juwita sendirian, sendirian melewati makan siangnya dan tatapan tajam dari
semua orang yang ada di kantin. Meskipun Adi dan Rani sebenarnya juga tidak
tega meninggalkan Juwita, tapi mereka juga sadar diri jika mereka tidak kuat
dan tidak sebanding dengan Camila dan anggota gengnya.
“Kenapa
kalian bisa tahan bersama perempuan seperti Putri dan Karin?” tanya Wiliam pada
Doni dan Daren yang bernasip sama sepertinya yang harus menerima perjodohan
dari keluarga.
“Aku tidak
tahan, makannya aku membiarkannya. Bayangkan saja hidup bersama wanita yang
begitu cerewet dan terus mengkritikmu, telingaku bisa mengajukan pengunduran
diri bila lama-lama,” ucap Doni yang mengingat betapa cerewetnya Karin.
Daren ikut
mengangguk setuju. “Kurasa Camila yang terbaik dari geng itu,” ucap Daren yang
sukses membuat Wiliam heran. “Setidaknya dia tidak mengomel padamu dan
membandingkan dirimu dengan artis-artis yang dia tonton,” lanjut Daren.
Wiliam
menghela nafas lalu beranjak hendak mengejar Juwita yang akan pergi kembali ke
kelas.
“Besok kita
jadi kan tanding basket?” tanya Doni sebelum Wiliam pergi.
Wiliam
mengangguk. “Tentu saja,” jawabnya lalu mengejar Juwita yang berjalan menuju
kelas.
“Tuan,
sudah. Kita bisa bertemu lagi nanti di rumah,” ucap Juwita tak enak hati jika
Wiliam terus mengejarnya di sekolah.
“Kenapa
tidak memakai kalung dariku?” tanya Wiliam begitu menyadari Juwita tak memakai
kalung pemberiannya.
“Aku takut
kalungnya hilang jadi ku simpan di kamar,” jawab Juwita jujur sambil menatap
Wiliam sejenak.
Wiliam
menghela nafas kesal. “Ikut aku!” ajak Wiliam yang langsung menggandeng Juwita
secara paksa menuju tempat persembunyiannya.