Bab 31 – Ibu
"#dasp98 #dasp.98 #GundikRahasiaTuanMuda #NovelIndo #Wattpad"
Wiliam diam
disamping Juwita yang kelelahan setelah ia ajak berlari dan seharian sibuk
mengikuti aktivitasnya. Juwita juga masih terlelap sembari menunggu infusnya
habis di tempat tidur UGD kali ini. Semuanya baik-baik saja, janinnya sehat,
dan Juwita hanya perlu istirahat mengingat ia juga memiliki tekanan darah yang
cukup rendah.
“Tuanhh…”
lirih Juwita ketika bangun dari tidurnya karena perawat yang melepaskan
infusnya.
“Besok lagi
aku gak bakal ngajak kamu lari-larian,” ucap Wiliam lalu menggenggam tangan
Juwita.
Juwita
tersenyum lalu mengusap pipi Wiliam dengan lembut. “Aku baik-baik saja,” ucap
Juwita lalu mengelus rambut Wiliam dengan lembut begitu Wiliam memeluk
pinggangnya dan menempelkan kepalanya pada perut Juwita. “Tadi kenapa? Mau
cerita?” tanya Juwita lembut.
Wiliam
menatapnya lalu bangun untuk mengecup keningnya. “Kita pergi makan yuk! Beli
sushi biar si Adek dapet asupan bergizi,” ajak Wiliam mencoba mengalihkan
pembicaraan.
Juwita
menghela nafas lalu tersenyum getir. “Boleh,” jawab Juwita singkat lalu turun
dari tempat tidur dan berjalan bersama Wiliam kembali ke mobil.
“Jangan
pulang ya hari ini,” ucap Wiliam begitu sampai di mobil.
Juwita
menatapnya heran, lalu menggenggam tangan Wiliam.
“Aku gak
mau di rumah sendirian, aku sedih,” ucap Wiliam merengek pada Juwita.
Juwita mengangguk
pelan. “Sedih kenapa?” tanya Juwita.
“Ibuku,
Kartika…ternyata dia bukan ibuku. Bibi Tamara selama ini ternyata ibu
kandungku, sedikit membingungkan. Aku bingung harus cerita darimana. Tapi aku
pasti akan menceritakan padamu jika aku sudah merasa jelas, kita
bersenang-senang saja hari ini ya,” ucap Wiliam menjelaskan sekilas pada Juwita
lalu menarik dagu Juwita untuk mengecup bibirnya.
“Tadi aku
memeluk Wiliam, Wiliam datang kemari…” ucap Tamara begitu Antonio pulang ke
apartemennya sambil menangis tersedu-sedu.
“Tamara,
apa maksudmu?” tanya Antonio bingung dan langsung memeluk Tamara mencoba
menenangkannya.
Tamara tak
bisa berkata-kata lagi. Perasaannya begitu campur aduk, sedih dan senang
bercampur jadi satu. Setelah sekian lama akhirnya ia bisa memeluk Wiliam, namun
setelah mendengar respon Wiliam yang marah padanya dan tak mengakuinya sebagai
Ibu, saat itu pula perasaannya hancur.
“Tenang,
jelaskan dulu pelan-pelan,” ucap Antonio sembari mengelus punggung Tamara.
“T-tadi aku
melihat pintu unit apartemen sebelah terbuka, aku mendatanginya. Ku kira aku
akan mendapat tetangga baru, aku berniat menyapa seperti biasa…” Tamara
berhenti untuk menangis. “T-ternyata Wiliam. Wiliam dan teman wanitanya ada
disana, aku memeluknya. Aku benar-benar senang bisa memeluknya, menyentuh
wajahnya yang tampan, tapi dia marah padaku. Aku sangat sedih.”
Antonio tak
bisa berkata-kata lagi. Ia hanya bisa mendekap Tamara sembari mencoba
menenangkannya. Antonio ingin membantah apa yang sudah Tamara lihat namun
mengingat Tamara yang begitu yakin dan Wiliam yang seharian belum juga pulang
bahkan sampai saat ia pergipun masih belum pulang, ia mengurungkan niat untuk
meragukan Tamara.
“Aku takut
Wiliam membenciku,” tangis Tamara yang takut tak bisa memiliki kesempatan lagi
untuk bertemu dengan Wiliam.
Susi mengemasi barang-barangnya dan berencana untuk pulang bersama dengan Juwita. Susi sudah duduk di depan pos satpam menunggu Juwita pulang bersama Wiliam. Ia sudah kelewat sakit hati dengan cara Kartika memperlakukannya ditambah pemecatan dari Antonio juga membuatnya semakin tak tahan dengan keluarga ini.
Memang ia
pernah berencana untuk balas dendam, memanfaatkan kedekatan Juwita dan akan
menghancurkan keluarga itu dari dalam. Namun ternyata perencanaannya masih belum
cukup matang dan ia masih belum cukup kuat untuk menghancurkan keluarga Philips
seorang diri. Belum lagi sekarang Juwita hamil dan masih belum menamatkan
sekolahnya.
“Tuan!
Berhenti… itu Ibuku!” seru Juwita begitu melihat ibunya.
Wiliam
menghentikan mobilnya lalu membiarkan Juwita turun. Wiliam melihat barang
bawaan Susi yang cukup banyak. Ia ingat Susi akan pulang kampung, mengambil
liburannya. Karena ini sudah malam Wiliam jadi mengira jika Susi baru pulang.
“Bibi mau
di antar masuk?” tawar Wiliam.
Susi
tersenyum lalu menggeleng. “Tidak apa-apa Tuan,” ucap Susi menolak kebaikan
Wiliam.
“Biar aku
bantu Ibu,” ucap Juwita menawarkan diri.
Wiliam
mengerutkan keningnya sedikit tidak setuju dengan apa yang Juwita lakukan
mengingat Juwita baru saja pingsan dan juga belum pulih sepenuhnya. Namun
Wiliam tak bisa berkeras, samar-samar di kejauhan ia melihat asisten Kartika
yang melihatnya jadi Wiliam memilih untuk pergi duluan.
“Nanti
temui aku lagi,” ucap Wiliam sebelum melaju.
Juwita
hanya diam begitupula dengan Susi. Keduanya sama-sama menatap mobil yang di
kendarai Wiliam menjauh.
“Ibu
kenapa? Ini luka kenapa?” tanya Juwita khawatir pada ibunya begitu melihat
bekas perbanan di kepala ibunya.
“Ibu di
pecat, Kartika khawatir kalo Ibu sekongkol sama Gundik simpanannya Tuan
Antonio. Ibu sudah hampir mau dibunuh tadi. Kita harus cepat pergi dari sini,”
ucap Susi lalu mengajak Juwita berjalan menuju ke halte bus.
Juwita
mengerutkan keningnya. Ia jadi ingat kembali dengan kematian Ayah sambungnya
yang terbunuh karena tuduhan serupa oleh Kartika dengan kekhawatiran serupa.
Sesekali Juwita memang menoleh kebelakang, namun ia memilih untuk patuh
mengikuti Ibunya, ia sadar tak bisa berlama-lama di neraka berkedok istana itu.
“Sudah
tidak apa-apa, nanti kita memulai hidup lagi di kampung. Kita bisa hidup bareng
Dina juga,” ucap Susi begitu melihat bus malam yang ia tunggu datang.
Juwita
mengangguk, ia masih menoleh kebelakang memandang pepohonan besar di rumah
keluarga Philips yang masih terlihat di kejauhan. Ia tak memikirkan dirinya
atau kehamilannya, jujur saja ia malah memikirkan Wiliam yang akan sangat sedih
dan terpukul atas kepergiannya. Ia sudah berjanji untuk menemani Wiliam dan
mendengarkan ceritanya. Juwita juga tau jika Wiliam tengah menghadapi masalah
serius, Wiliam sedang membutuhkan suport dan dukungan darinya. Tapi
keadaan tak bisa ia bantah dan ia harus tetap pergi.
Wiliam begitu tidak nyaman di kamarnya. Ia ingin memeluk Juwita saat tidur, atau paling tidak sebentar saja mengobrol dengannya lagi di taman belakang. Toh besok masih libur dan ia bisa sedikit begadang. Tapi Wiliam juga tak bisa memaksa, mungkin Juwita sudah tidur karena kelelahan pikir Wiliam.
Juwita
sedang hamil, kondisinya tadi juga drop. Kalau Wiliam memaksanya untuk mengobrol
saja di taman belakang Juwita jelas akan datang, tapi belum tentu ia akan bisa
istirahat cukup dan nyaman. Wiliam merasa tak bisa egois kali ini. Ia ingin
Juwita sehat agar calon buah hatinya juga sehat.
“Wiliam…”
panggil Kartika lalu memasuki kamar Wiliam.
Wiliam yang
masih bangun mengangkat sebelah alisnya melihat Kartika yang masuk ke kamarnya
dan langsung duduk di tempat tidurnya.
“Bagaimana campingnya?”
tanya Kartika lembut.
Wiliam
mengangguk pelan. “Seperti biasa, makan, mengobrol, basa-basi. Tidak ada yang
istimewa,” jawab Wiliam sambil menghela nafas.
“Bagaimana
dengan Camila, dia datang kan?” tanya Kartika yang sebenarnya bingung harus
menanyakan apa pada Wiliam karena sama sekali tak mengenal Wiliam dengan baik.
“Aku tidak
suka Camila, Bu. Menurutku dia bukan wanita yang baik, dia suka membully.
Menurutku itu sangat buruk dan tidak elegan. Aku tidak mau punya istri tukang
bully,” jawab Wiliam jengah karena Kartika malah membahas soal Camila dan
perjodohan tak bermutunya.
“O-oh kalo
begitu di batalkan saja ya? A-aku tidak mau membuatmu merasa tidak nyaman. Ibu
juga tidak suka pembully, wanita arogan yang tidak memiliki etika, tidak
elegan!” ucap Kartika yang tiba-tiba memihak pada Wiliam.
Wiliam
sedikit terkejut melihat Kartika yang tiba-tiba mendukungnya dan sama sekali
tak membela Camila yang biasanya ia banggakan.
“Besok Ibu
akan mengurusnya ya. Maaf Sayang, Ibu tidak pernah mendengarkanmu,” ucap
Kartika lalu memeluk Wiliam sebelum pergi keluar dari kamarnya.
Wiliam
langsung tersenyum sumringah lalu buru-buru mengunci pintunya dan langsung
berjoget selebrasi dengan begitu ceria. Ia begitu senang akhirnya ia bisa
melepaskan Camila tanpa ada rasa bersalah karena sudah mulai dapat pembelaan
dari Kartika. Wiliam ingin langsung mengabari Juwita, tapi ia mengurungkan
niatnya. Wiliam berpikir akan lebih seru mengatakannya langsung besok ketika
sarapan bersama Juwita, ini pasti akan menjadi kejutan besar yang begitu hebat.