Bab 16 – Caffee
Wiliam
menghampiri Juwita yang baru akan berlari mengejar Camila. Wiliam tak mau
Juwita semakin di rendahkan oleh Camila yang selalu semena-mena dan egois. Wiliam
tak suka dengan permintaan Camila untuk memecat Juwita hanya berdasarkan alasan
yang begitu sederhana dan sepele.
“Biarkan
saja…” ucap Wiliam lalu mengambil alih nampan di tangan Juwita.
“Tuan,
jangan begitu nanti Nona Camila marah,” bujuk Juwita lembut lalu berjalan
mengikuti Wiliam.
“Biarkan
saja, aku tidak peduli,” Wiliam keras kepala.
Juwita
menghela nafas lalu menatap Wiliam yang duduk sambil memandangi lapangan yang
di siapkan untuk bermain tenis kali ini.
“Bagaimana
jika…”
“Aku akan
melindungimu sekuat tenaga, aku akan melakukan segala macam cara agar kita bisa
terus bersama,” ucap Wiliam lalu menarik Juwita agar duduk di pangkuannya.
Juwita
pasrah duduk di pangkuan Wiliam dan membiarkannya untuk memeluk pinggang juga
menciumi bahunya.
“Sudah
makan siang?” tanya Wiliam yang di angguki Juwita. “Kapan? Tadi kamu begitu
sampai langsung menyambut Camila.”
“Di sekolah
tadi,” jawab Juwita lembut lalu menggenggam tangan Wiliam yang melingkar di
pinggangnya.
“Makan
lagi, istirahat. Tidak usah banyak bekerja hari ini,” ucap Wiliam lalu mengecup
pipi Juwita. “Aku sangat khawatir pada kondisimu,” lanjut Wiliam.
Juwita
tersenyum lalu menatap Wiliam lembut. “Aku sudah baik-baik saja Tuan, kakiku
juga sudah baik-baik saja. Tidak usah khawatir, aku akan kembali ke dapur untuk
makan. Setelah itu istirahat agar Tuan tidak khawatir, oke?” tawar Juwita.
“Aku ingin
melihatmu makan, makan bersamamu seperti dulu,” ucap Wiliam sambil mengeratkan
pelukannya di pinggang Juwita.
Juwita
terdiam memikirkan cara untuk mewujudkan permintaan Wiliam. “Nanti kalau Tuan
dan Nyonya Besar tidak di rumah. Kita bisa makan bersama,” ucap Juwita lembut
menenangkan hati Wiliam.
Wiliam
mengangguk paham lalu melepaskan Juwita agar ia bisa pergi kembali ke dapur.
“Aku mencintaimu,” ucap Wiliam sambil mengecup bibir dan kening Juwita sebelum
gadis itu melangkah pergi.
Juwita
tersenyum lalu mengangguk. Ia juga mencintai Wiliam dan perasaannya itu terasa
kian hari kian membesar dan tumbuh begitu subur karena pupuk cinta yang terus
Wiliam berikan padanya.
***
Kartika
membawa Lila ke salah satu Caffee baru di tengah kota. Kartika tak mungkin
bicara soal perasaannya dan hubungan terlarangnya dengan seorang seniman yang
di kontrak galerinya ini. Perasaannya begitu kalang kabut setelah sekian lama
akhirnya ia bisa kembali di pertemukan dengan wanita yang membuatnya
benar-benar bisa merasakan cinta ini.
“Aku
mencarimu terus mencarimu Lila…”
“Setelah
kamu mengabaikanku untuk mengejar suamimu lagi? Dan yang tadi?” cecar Lila tak
percaya dengan penjelasan Kartika.
Kartika
mengusap wajahnya dengan gusar. “Tadi calon menantuku, kita sudah membahasnya
dari dulu. Masalah suamiku pun begitu. Kenapa kita harus terus melihat
kebelakang?” ucap Kartika berusaha membela dirinya sambil menggenggam tangan
Lila dan menariknya dalam pelukannya.
“Begitu
sulit aku mencarimu, menahan perasaanku sendirian, terus di singkirkan oleh
keluargamu…”
Kartika
menggeleng pelan. “Aku janji kita akan terus bersama, aku akan berusaha agar
kita bisa bersama,” tahan Kartika.
Lila
menggeleng tak percaya. “Kamu pengecut Kartika, kamu terus menjadikanku sebagai
bayanganmu. Padahal aku yang paling mencintaimu, aku yang paling mengerti
perasaanmu. Aku selalu di sembunyikan seolah aku ini adalah aib bagimu!” kesal
Lila yang akhirnya menangis dalam pelukan Kartika.
“Sabar,
setelah Wiliam menikah. Kita akan bebas untuk bersama…”
“Kartika?”
panggil Antonio yang baru datang bersama Tamara ke dalam caffee.
“Antonio?!”
kaget Kartika dan Lila bersamaan.
Antonio
menatap Lila lalu menatap Kartika bergantian dengan penuh keterkejutan dan rasa
heran juga bingung. “J-jadi… selama ini…”
“Aku bisa menjelaskan
semuanya…” ucap Lila yang tetap berusaha melindungi Kartika.
“I-ini
tidak seperti yang kamu lihat…” ucap Kartika kelabakan sambil menyisir
rambutnya kebelakang dengan jemarinya.
“Aku bisa
percaya dan membiarkanku jika ingin bersenang-senang dengan banyak pria muda di
bar. T-tapi…tapi ini?” ucap Antonio yang benar-benar terkejut dengan laporan
dari supir pribadinya yang diminta mengawai Kartika tadi pagi.
“Aku yang
harusnya tak percaya disini. Kamu menghabiskan malamu dengan gundik murahan
ini!” Kartika berusaha mengalihkan kesalahannya pada Tamara dan Antonio.
Antonio
menggeleng. “Kita sudah sepakat sebelumnya. Kamu mendapatkan Wiliam dan aku
bisa hidup bersama Tamara. Jangan mencoba membalikkan keadaan!” ucap Antonio
tegas.
Kartika tak
dapat berkata apa-apa lagi. Ia benar-benar terpojok sekarang. Ia tak bisa
melawan Antonio, namun ia juga tak bisa melepaskan Lila jika Antonio ingin
memisahkannya. Kartika benar-benar berada dalam posisi yang sulit sekarang, ia
jelas tak bisa menggunakan statusnya sebagai istri sah yang tersakiti setelah
kepergok seperti ini.
“Setelah
sikap suci yang kamu pamerkan selama ini…” Antonio mendengus pelan lalu tertawa
miris melihat Kartika.
“A-aku
tidak akan seperti ini jika bukan karena kamu!” bentak Kartika.
“Kita sudah
selesai membahas Tamara! Berhentilah menyalahkan Tamara! Dia korban atas
keegoisanmu!” Antonio balas membentak Kartika.
Tamara
menggenggam tangan Antonio berusaha menenangkannya. “Sayang…” lirih Tamara
membujuk Antonio agar tidak meneruskan pertengkarannya.
Lila ikut
menggenggam tangan Kartika menahannya agar tidak terus melanjutkan pertengkaran
keluarganya disini dan menjadi tontonan.
“Kita
bicarakan ini di rumah!” ucap Antonio lalu pergi bersama Tamara dengan kesal
setelah melihat sekeliling caffee dimana beberapa pegawai dan pengunjung
melihat ke arahnya.
***
Juwita
memilah-milah pakaian pemberian Camila yang ada di kamarnya. Semua terlihat
mahal, namun tak satupun yang sesuai dan bisa ia gunakan dengan nyaman. Terlalu
sexy dan terbuka. Juwita tak bisa menggunakan pakaian seperti ini di tempat ia
bekerja atau di kampungnya. Juwita tak mau di cap sebagai gadis nakal.
“Ini
bagus,” ucap beberapa pelayan yang ikut masuk ke kamar Juwita dan ikut memilah
pakaian pemberian Camila.
Juwita
mengangguk lalu tersenyum. “Kalo mau ambil aja Mbak, gapapa,” ucap Juwita yang
begitu ringan untuk berbagi.
Kling!
Sebuah pesan masuk ke ponsel Juwita. Wiliam pamit pergi tiba-tiba, pergi
seorang diri tanpa di temani supir. Perasaan Juwita jadi tidak enak, tapi ia
hanya diam dan tak berani melapor pada Ibunya karena semua pelayan dedang
berkumpul di kamarnya dan sedang asik ikut memilih-milih pakaian dari Camila
yang bisa mereka ambil.