Bab 34 – Rumah Juwita
Dina
menatap Wiliam dengan perasaan campur aduk antara canggung dan kagum melihat
paras Wiliam yang tampan. Wiliam juga tak kalah canggungnya dengan Dina, ia tak
memiliki adik sebelumnya apa lagi terpaut usia cukup jauh dan tak pernah
bertemu sebelumnya pula. Dina terus menempel pada Susi dan mengikutinya sembari
mengawasi Wiliam dengan penuh kecurigaan dan kewaspadaan tinggi.
“Itu Tuan
Muda, pacarnya Kakak. Gak usah takut,” bisik Susi memberitau Dina yang
memegangi dasternya.
Dina
mengerutkan keningnya lalu mengangguk. “Jahat tidak?” tanya Dina ikut berbisik
sembari terus menatap Wiliam yang duduk di sofa bersama dengan Juwita.
“Baik, sana
diajak ngomong,” jawab Susi meyakinkan Dina sembari menyiapkan makan siang.
“Gak ah,
Dina mau sama Ibu aja. Kalo baik pasti gak bikin Ibu sakit kayak sekarang,”
ucap Dina yang memilih membantu Susi daripada mendekati Juwita.
Susi
tersenyum mendengar jawaban Dina yang begitu polos. “Kalo Tuan Muda baik,
buktinya sayang sama Kakak. Dia jauh-jauh kesini cuma buat ketemu Kakak loh!”
ucap Susi meyakinkan Dina lagi.
Dina
menggeleng pelan. “Tapi orang tuanya gak baik, udah bikin Ibu sakit. Ibu juga
masih di pecat juga, jahat.”
Susi
tertawa kecil mendengar Dina yang begitu kekeh dengan pemikirannya. “Tapi kan
Ibu jadi bisa bikin warung di rumah, bisa temenin Adek juga,” ucap Susi lembut
lalu memberikan piring berisi tahu goreng pada Dina untuk diletakkan di meja
makan. “Sana Kakak sama Tuan Muda diajak makan!” perintah Susi agar Dina dan
Wiliam tidak canggung.
Dina
mendengus pelan lalu berjalan mendekat ke arah Wiliam dan Juwita. “Makan!” ajak
Dina dengan ketus karena malu dan bingung harus bilang apa pada Wiliam.
Wiliam
menatap Juwita begitu mendengar perintah dari Dina. “Adekmu galak…” lirih
Wiliam mengadu pada Juwita.
Juwita
tersenyum mendengar ucapan Wiliam dan ajakan Dina. “Adek bilangnya yang baik
dong,” tegur Juwita lembut pada Dina.
Dina
terdiam sejenak, wajahnya mulai bersemu malu karena teguran kakaknya. “Sana
kalo laper boleh makan!” ucap Dina lagi yang lebih ketus dari sebelumnya lalu
berlari ke kamar karena malu.
Juwita tertawa
kecil melihat tingkah Dina, begitu pula dengan Susi. Mereka memang tak bisa
berharap Dina akan berbuat baik dan sopan seperti orang dewasa yang bekerja di
rumah keluarga Philips. Dina masih kelas 6 SD, Dina juga hampir selalu
sendirian di rumah. Kalaupun ia ikut ke
rumah om dan tantenya, mereka juga tak sempat mengajari Dina apapun karena
sibuk kerja.
“Dina
kayaknya gak suka aku…” lirih Wiliam sedih lalu cemberut.
“Enggak,
Dina itu lagi salting, gak pernah ada tamu sebelumnya nanti lama-lama
baik kok. Dia baru beradaptasi,” jelas Juwita sebelum Wiliam makin salah paham.
Wiliam
tersenyum mendengar penjelasan Juwita. “Gitu ya.”
Juwita
langsung mengangguk lalu bangun untuk makan siang bersama. Wiliam mengikuti
Juwita yang langsung mengambilkannya makanan. Sementara Dina tampak canggung
dan memilih makan di depan TV sambil menonton Si Bolang.
“Adekmu gak
suka makan bareng aku ya?” tanya Wiliam yang kembali pesimis.
Susi
tersenyum mendengar pertanyaan Wiliam. “Dina emang gitu, suka makan sambil
nonton TV. Beda sama Tuan_”
“Wiliam,
panggil Wiliam saja. Bibi kan bukan pelayanku lagi. Aku juga numpang di rumah
Bibi,” ucap Wiliam yang tak nyaman di panggil Tuan oleh Susi.
Susi
mengangguk. “Beda sama Wiliam, kalo makan harus di meja makan. Dina sering di
rumah sendirian. Jadi apa-apa temennya TV,” lanjut Susi berusaha menjelaskan
agar Wiliam kembali optimis.
“Tapikan…”
Wiliam tak jadi menyampaikan bantahannya. Ia memilih untuk memahami kultur
keluarga Juwita. Tak berapa lama juga Susi ikut makan bersama Dina.
Wiliam
memperhatikan dari meja makan. Melihat Susi yang begitu menyayangi Dina
meskipun Dina hanya anak tirinya. Susi terlihat begitu perhatian pada Dina,
begitu berbeda dengan Kartika yang jarang menemaninya. Sudah lama Wiliam tidak
merasakan keluarga yang hangat dan penuh kasih sayang seperti ini.
“Sayang
tidak suka?” tanya Juwita lembut karena Wiliam tak kunjung memakan makanannya.
“S-suka…”
jawab Wiliam gugup.
“Mau di
suapin?” tawar Juwita yang langsung di angguki Wiliam dengan ceria. “Suapin
pakek tangan ya tapi,” ucap Juwita yang kembali di angguki Wiliam.
***
Kartika
begitu panik ketika dalam perjalanan menuju rumah mertuanya tiba-tiba mendapat
kabar jika Wiliam kabur membawa koper. Kartika langsung kembali ke rumahnya dan
memastikan laporan terkait Wiliam yang kabur dengan panik. Kepanikan Kartika
semakin menjadi setelah tau jika ponsel Wiliam tak dapat di lacak juga mobil
Wiliam yang mati sehingga GPS di dalamnya tak dapat di ketahui juga.
Kartika
merasa sangat marah dan kesal karena tak memberikan pengawasan ekstra pada
Wiliam. Kartika semakin kesal lagi ketika menyadari jika Wiliam sangat
berpotensi untuk pergi ke tempat Tamara dan Antonio. Tapi ia ingat sekali, tadi
ia baru saja menemui Antonio di kantornya sebelum pergi ke rumah mertuanya.
“Wiliam
pergi kemana?!” teriak Kartika begitu marah.
Semua
pelayan saling tukar pandang ketakutan. Wiliam yang marah tadi pagi saja sudah
mengerikan, sekarang masih harus berhadapan dengan Kartika. Kartika langsung
menelfon suaminya dengan begitu panik.
“Wiliam
hilang! Kembalikan Wiliamku!!” teriak Kartika begitu histeris.
“Apa? Aku
tidak tau apa-apa,” ucap Antonio berusaha menutupi kepergian Wiliam. “Kita baru
bertemu satu jam yang lalu. Aku masih di kantor.”
Kartika
mematikan ponselnya lalu melirik satu persatu pelayan di rumahnya dengan
pandangan yang begitu tajam. “Kemana Wiliam?!” tanyanya kembali dengan penuh
amarah.