Bab 30 – Apartemen
"#dasp98 #dasp.98 #GundikRahasiaTuanMuda #NovelIndo #Wattpad"
Wiliam
murung dan hampir diam sepanjang perjalanan ketika Juwita selesai menjelaskan
soal rencana kehidupannya dimasa depan. Juwita juga sudah berusaha menjelaskan
pada Wiliam jika itu tidak akan terjadi dalam waktu dekat karena kontrak kerja
ibunya yang baru di perbarui awal tahun lalu. Tapi tetap saja Wiliam merasa
sedih dan takut jika di tinggalkan sewaktu-waktu oleh Juwita.
“Tuan,
masih marah?” tanya Juwita kembali membuka pembicaraan.
Wiliam
mendengus kesal mendengar Juwita masih memanggilnya Tuan saat sedang
merayunya seperti ini. Wiliam merasa sudah susah payah menghamili Juwita,
hubungannya juga sudah jelas lebih dari sekedar pacar. Toh meskipun mereka
tidak menikah mereka akan menjadi orang tua untuk bayi tersebut. Tapi Juwita
malah terus memanggilnya Tuan meskipun mereka hanya berdua seperti
sekarang.
“Bagaimana
bisa aku percaya kalau kamu tidak akan meninggalkanku? Kamu saja masih
memanggilku Tuan! Padahal jelas kita adalah pasangan, kamu masih menaruh jarak
di antara kita. Tentu saja aku marah,” omel Wiliam yang masih saja merajuk.
Juwita
menahan tawanya mendengar omelan Wiliam yang lebih terdengar manja daripada
galak. Wiliam sebelumnya tak pernah mempermasalahkan panggilan yang Juwita
lakukan padanya. Baru kali ini Wiliam protes seperti ini.
“Kamu
memanggil Doni Tuan, Daren juga begitu, aku juga. Apa istimewanya aku kalau
begitu? Menyebalkan sekali. Padahal aku sudah menyatakan perasaanku berulang
kali setiap hari. Ternyata aku tidak di anggap istimewa!” lanjut Wiliam yang
masih saja mengomel meskipun sebenarnya ia hanya ingin menunjukkan
kecemburuannya saja.
“Sayang…”
“Berhenti
memanggilku seperti itu jika kamu masih menggunakan panggilan yang sama dengan
temanku yang lain!”
“Sayang…”
Juwita kembali mengulangi ucapannya.
Wiliam
menginjak rem secara mendadak. “S-sayang?” ulangnya seiring dengan suara
klakson mobil di belakangnya yang bersautan kaget melihat mobil yang Wiliam
kendarai mengerem secara mendadak.
“Iya aku
memanggilmu Sayang, Ibuku dulu sering memanggil mendiang ayahku seperti itu.
Itu terdengar lembut dan cocok untukmu juga,” ucap Juwita setelah memikirkan
cara menyelesaikan masalahnya kali ini.
Wiliam
langsung tersipu malu mendengarnya. Begitu sulit bagi Wiliam untuk
menyembunyikan rasa senangnya ketika pertama kali Juwita memanggilnya Sayang
untuk merayunya. Wiliam benar-benar merasa berbunga-bunga.
“Sayang
jangan marah dong, aku jadi sedih,” bujuk Juwita lagi lalu menggenggam tangan
Wiliam yang menggenggam setir.
“J-jangan
ganggu aku lagi nyetir, nanti nabrak bahaya!” ketus Wiliam berusaha
menyembunyikan rona bahagianya sembari menyetir masuk ke salah satu parkiran
apartemen yang akan mereka cek kali ini.
Juwita
menarik tangannya perlahan lalu membiarkan Wiliam selesai memarkir mobilnya.
Seorang seles penjual apartemen sudah melambaikan tangan menanti kedatangan
Wiliam. Wiliam yang semula masih ingin jual mahal pada Juwita langsung
menggandeng dan merangkulnya terlebih karena seles kali ini seorang laki-laki.
“Tuan
Wiliam?” sapa Seles dengan ramah pada Wiliam.
“Ya,” jawab
Wiliam lalu menjabat tangan Seles itu dan kembali menjabat tangannya lagi
begitu si Seles hendak menyalimi Juwita. “Saya saja,” ucap Wiliam mencoba
menutupi rasa posesifnya pada Juwita di depan si Seles.
Seles yang
hanya mencoba untuk ramah pada calon pembelinya ini hanya bisa meringis
canggung lalu mulai menunjukkan apartemen yang ia jual pada Wiliam. Sebuah
apartemen dengan tiga kamar dan dua kamar mandi, ukurannya cukup besar jika
hanya di gunakan oleh Wiliam dan Juwita saja tanpa pembantu atau pelayan. Fasilitas
dan ornamen di dalamnya juga tak kalah mewah dengan yang ada di rumah Wiliam.
Juwita
memperhatikan sekeliling dan memeriksa beberapa detail kecil disana dengan
teliti. Sementara Wiliam menemani dan memperhatikan Juwita yang memeriksa dapur
juga memastikan kompor dan kulkas beberapa penutup lemari dan nakas juga laci.
“Suka?”
tanya Wiliam pada Juwita sembari merangkul pinggangnya.
Juwita
langsung mengangguk. “Disini juga dekat dengan supermarket dan sekolah, jadi
aku nanti bisa pergi naik sepeda kesana,” ucap Juwita sembari menunjuk letak
sekolah mereka dan supermarket dari jendela.
Seles itu
mengangguk setuju. “Kami bisa memberikan bonus sepeda jika langsung melakukan
pelunasan,” ucap Seles itu yang sudah langsung melihat peluang sebelum Wiliam
dan Juwita berubah pikiran.
Wiliam dan
Juwita saling tukar pandangan memikirkan akan membeli apartemen ini atau pindah
ke apartemen yang lain. Sampai tiba-tiba ada seorang tetangga yang mengetuk
pintu karena melihat pintu apartemen yang terbuka lebar setelah ia belanja.
“Wiliam…”
panggil Tamara begitu terkejut melihat Wiliam dan Juwita yang ada di samping
tempatnya tinggal hingga tak sengaja melepaskan genggamannya pada dua plastik
besar belanjaannya.
“Bibi
Tamara…” ucap Wiliam yang masih mengingat wajah Tamara meskipun ada sedikit
perbedaan pada rambutnya yang pendek dan tubuhnya yang sedikit lebih kurus dari
terakhir pertemuan mereka dulu.
“Wiliam!”
Tamara langsung berlari memeluk Wiliam sambil menangis haru. Setelah sekian
lama ia menunggu kesempatannya untuk bertemu, setelah sekian lama hanya bisa
melihat Wiliam dari foto yang Antonio tunjukkan atau ada di sosial medianya
saja sambil berharap bisa memeluk Wiliam kembali sekarang akhirnya benar-benar
terwujud.
Wiliam
memang hanya diam tak bisa membalas pelukan Tamara. Ia memang ingat dengan
Tamara, tapi ucapan Ayahnya soal kebenaran status Tamara sebagai ibu
kandungnya, masih begitu sulit ia terima. Wiliam juga belum sempat menceritakan
semuanya pada Juwita, Juwita juga cukup bingung dengan kondisi saat ini.
Baca juga :
Namun
Juwita tidak cemburu, Wiliam biasa di peluk pelayan-pelayan di rumah seperti
ibunya atau pelayan lain dari kecil dulu ketika Tamara tiba-tiba di pecat.
Begitu Juwita mendengar nama Tamara di sebut ia juga langsung merasa tidak
asing dan tidak keberatan jika Wiliamnya di peluk begitu erat. Toh ia juga
mantan pengasuh Wiliam saat kecil, wajar bila memeluk Wiliam.
“Anak Ibu
udah besar sekarang!” ucap Tamara yang langsung menangkup wajah Wiliam sambil
mendongakkan kepalanya memandangi wajah angkuh Wiliam yang menatapnya begitu
dingin.
“K-kamu
bukan Ibuku…” lirih Wiliam lalu melepaskan tangan Tamara yang menyentuhnya.
“Kalo kamu ibuku harusnya kamu gak pergi ninggalin aku!” ucap Wiliam lalu
menggenggam tangan Juwita dan menariknya untuk pergi darisana sambil berlari.
“Wiliam!
Wiliam tunggu Nak! Ibu bisa jelasin!” teriak Tamara yang berusaha mengejar
Wiliam.
Namun
langkah Wiliam jauh lebih cepat, Juwita juga berusaha keras mengikuti
langkahnya sampai ia masuk kedalam lift. Meninggalkan apartemennya juga Seles
yang ikut mengejarnya. Wiliam menangis begitu liftnya tertutup. Ia langsung
berjongkok dan meluruh kelantai.
“Tuanhhh…hhh…ada
apa?” tanya Juwita yang ngos-ngosan setelah di ajak berlari begitu kencang oleh
Wiliam.
Begitu
Wiliam mendengar pertanyaan Juwita ia langsung tersadar jika ia sudah mengajak
Juwita yang sedang hamil muda berlari begitu kencang. Juwita mulai memucat
sementara tangis Wiliam langsung terhenti dan berganti dengan kekhawatiran akan
konsidi Juwita.
“Maaf
Sayang, aku mengajakmu berlari begitu kencang,” ucap Wiliam yang langsung
bangun dan mendekap Juwita.
Juwita
tersenyum lalu mengangguk. “Tuan aku pusing,” ucap Juwita pelan dan sudah mulai
lemas.
Wiliam
langsung menggendong Juwita di depan. Juwita memang sedikit menolak, tapi ia
sudah merasa begitu lemas dan tidak kuat untuk berjalan jauh ke parkiran lagi.
Jadi ia hanya pasrah saat Wiliam menggendongnya.
“Perutmu
bagaimana?” tanya Wiliam memastikan kondisi janin dalam kandungan Juwita agar
tetap baik-baik saja.
“Entahlah,
kurasa baik-baik saja…” lirih Juwita yang pasrah duduk di belakang sementara
Wiliam menyetir di depan.
“Sabar
jangan panik, kita ke klinik,” ucap Wiliam yang sudah begitu takut dan panik
jika Juwita kenapa-napa.