Bab 40 – Menikah
Wiliam
melepaskan Juwita yang perlu buang air untuk yang kesekian kalinya dan merasa
perlu membersihkan tubuhnya terutama pada bagian kewanitaannya setelah
memuaskan Wiliam. Tubuh Juwita terasa masih lemas dan pegal, staminanya sedikit
menurun terlebih karena banyak pikiran dan masalah yang masih belum tuntas
selesai.
“Mau datang
ke pesta kelulusan tidak?” tanya Wiliam sembari merangkul Juwita yang tengah
merapikan pakaiannya.
Juwita
menatap Wiliam lalu menggeleng. “Aku sudah janji pada Dina akan pulang, aku kan
sudah bilang,” ucap Juwita lembut lalu memakai sepatunya.
“Begitu
ya…”
Juwita
langsung menangkup wajah Wiliam yang cemberut dan terlihat kecewa. “Apa tidak
kasihan melihatku memakai korset terus menerus hmm?” tanya Juwita sebelum
Wiliam protes.
Wiliam
tersenyum lalu memeluk Juwita. “Aku akan pergi ke rumahmu juga, kita akan
mengurus pernikahan kita juga. Pasti ini lebih menyenangkan,” jawab Wiliam lalu
menggandeng Juwita keluar dari kamar rahasianya.
***
Wiliam dan
Juwita jelas kompak tidak datang ke acara pesta kelulusan. Camila juga ikut
tidak datang karena sudah sibuk mempersiapkan pendidikannya di Inggris. Suasana
pesta memang jadi terasa kurang lengkap, namun para anak pelayan dan anak-anak
lain yang memiliki status sosial menengah jadi bisa menikmati pesta tanpa
merasa terintimidasi.
Pesta kali
ini juga menjadi ajang menyatakan perasaan paling tepat antara Adi dan Rani.
Keduanya tidak yakin akan bisa leluasa bertemu lagi. Namun keduanya yakin jika
cinta akan dapat menyatukan mereka kembali.
Wiliam dan
Tamara ikut pulang ke rumah keluarga Juwita. Pesta pernikahan jauh lebih
sederhana dari yang di bayangkan pula. Hanya sebatas syukuran saja setelah
resmi mencatatkan pernikahan ke catatan sipil dan resmi mendapat buku nikah.
Sementara Antonio masih sibuk menunggu putusan hasil sidang terakhirnya melawan
Kartika, mantan istrinya sendiri.
“Hanya
begini saja? Ini Juwita sudah resmi jadi anggota keluargaku?” tanya Wiliam yang
masih tak menyangka jika menikah prosesnya sangat mudah.
“Iya, hanya
seperti itu,” jawab Tamara sambil mengambilkan makan untuk Wiliam.
“Huh udah
gede masih di ambilin makan!” cibir Dina yang begitu suka mencari kesalahan
pada Wiliam dengan judesnya sembari mengambil makan sendiri. “Manja!” cibirnya
lagi sebelum makan di depan TV seperti biasanya.
“Kayaknya
Dina sebel banget sama aku,” gumam Wiliam yang sudah pasrah pada apapun yang
Dina lakukan padanya.
Tamara dan
Susi yang mendengar Wiliam hanya tertawa mendengar kepasrahan Wiliam yang
selalu diejek Dina.
“Ibu berati
nanti aku bisa tidur sekamar dengan Juwita terus kan?” tanya Wiliam kembali
fokus pada pembicaraannya semula.
Tamara
mengangguk. “Biasanya kan juga sudah tidur sekamar dengan Juwita,” jawab Tamara
santai.
“Juwita,
kita bisa tidur sekamar!” seru Wiliam begitu melihat Juwita yang baru keluar
dari kamar dengan dasternya setelah mandi.
Juwita
langsung tersipu malu mendengar ucapan Wiliam yang begitu ceplas-ceplos.
“Nanti kita
bisa pindah ke Swis bersama-sama,” ucap Wiliam begitu semangat menghabiskan
waktunya bersama Juwita.
***
Kondisi
Kartika langsung drop setelah tau jika ia kalah dalam segala gugatan yang ada.
Kartika kalah telak, kondisinya juga semakin memburuk. Satu-satunya hal yang
bisa Kartika harapkan hanya keringanan hukuman karena kondisinya yang semakin
memburuk. Kartika yang biasa membalas dendam dan menyengsarakan orang lain
sekarang tak bisa berbuat apa-apa.
Kondisi
stroke yang tiba-tiba menimpanya membuatnya begitu kesulitan dalam segala hal.
Pihak keluarga Kartika juga enggan melakukan penyogokan agar ia mendapat
kelancaran dan kebebasan juga karena saham yang terus terjun bebas di pasaran.
Keluarga Kartika hanya bisa memberikan sedikit bantuan hukum dan lebih fokus
pada pengobatan demi kesehatan Kartika saja.
Begitu
banyak orang-orang yang bersorak bahagia begitu mendengar putusan. Bahkan
Antonio sampai menangis haru setelah mendengar akhirnya perang dingin selama
ini telah selesai. Susi dan keluarganya begitu bahagia mendapat kabar putusan
pengadilan tersebut. Tamara juga ikut bahagia akhirnya ia bisa bersama dengan
Antonio dan Wiliam tanpa harus ketakutan akan ada yang memisahkannya kembali.
“Bi Susi
ikut kita lagi?” tanya Wiliam setelah kabar putusan pengadilan ia terima.
Susi
menggeleng dengan senyum sumringahnya yang terlihat begitu ceria dan lega.
“Bibi mau disini, sama Dina. Sudah cukup Bibi disana. Bibi mau membangun mimpi
Bibi sendiri,” ucap Susi yang sudah merasa tanang dan lega.
Meskipun
rencana balas dendamnya gagal dan sama sekali tak sejalan dengan apa yang ia
harapkan, namun ia merasa sudah cukup puas. Ia tak perlu mengotori tangannya
sendiri untuk menuntut keadilan. Susi juga merasa begitu lega semuanya kembali
berjalan sebagaimana yang seharusnya. Putrinya yang menikahi Tuan Muda pewaris
keluarga Philips, Tamara yang selalu menanyakan Wiliam juga akhirnya bisa
bersama, dan ia akhirnya bisa memberikan keadilan untuk Dina atas kematian Budi
ayahnya dulu.
“Tidak ada
orang jahat lagi…” lirih Dina sambil memeluk ibunya dengan penuh rasa suka
cita.
***
Tak
berselang lama Antonio dan Tamara ikut meresmikan hubungan mereka sebelum
Wiliam pindah ke Swis bersama Juwita untuk kembali melanjutkan pendidikan
disana. Antonio dan Tamara terlihat begitu bahagia setelah hampir 20 tahun
menyembunyikan hubungannya akhirnya sekarang mereka bisa bersama. Mimpi Antonio
untuk melihat nama Philips di belakang nama Tamara akhirnya terwujud juga
setelah penantian lama.
“Yakin
tidak menunggu beberapa bulan lagi saja?” tanya Tamara yang melihat Juwita dan
Wiliam sedang sibuk berkemas.
Wiliam
menatap Juwita meminta pertimbangan darinya. “Ini anak pertama, aku tidak
memaksamu jika ingin disini terlebih dahulu,” ucap Wiliam sembari duduk di
samping Juwita.
Juwita
menggeleng. “Tidak apa-apa, aku bisa mengurus anakku. Aku ingin suasana baru
juga,” jawab Juwita yang masih trauma dengan suasana yang ada saat ini. Setelah
semua masalah yang silih berganti dan terasa seolah tiada akhir, Juwita ingin
sedikit menjauh dan bernafas lega. Memeluk Wiliam dengan tenang dan memastikan
semua sudah benar-benar damai saat ini.
Wiliam
mengangguk paham dengan apa yang di rasakan Juwita sembari mengelus punggungnya
dengan lembut. “Ibu juga perlu berduaan dengan Ayah. Aku akan pulang saat
liburan, atau ibu bisa berlibur ketempatku bersama Ayah.”
“Jadi
berangkat?” tanya Antonio yang menyusul Tamara ke kamar Wiliam.
“Katanya
kita di suruh berduaan,” saut Tamara sembari memeluk Antonio yang kini sudah
sah menjadi suaminya.
Antonio
tersenyum lalu mengangguk sembari mengecup kening Tamara. Tak ada lagi
ketakutan akan di permalukan atau di aniaya dan di tuntut. Tak ada lagi
hubungan yang di sembunyikan. Tak ada lagi gundik yang di rahasiakan. Semua
sudah jelas sekarang seiring dengan lembaran baru kehidupan yang dijalani semua
orang. Tamat.