Bab 33 – Kabur
“Wiliam
persis denganmu,” ucap Tamara yang mendengar pembicaraan Antonio dan Wiliam
barusan.
Antonio
mengangkat alisnya lalu menghela nafas. “Apa yang harus ku lakukan sekarang?”
tanya Antonio pada Tamara.
“Menurutmu
apa yang kamu harapkan orang lain lakukan jika kamu di posisi Wiliam?” Tamara
membalikkan pertanyaan pada Antonio sambil tersenyum dan memakai kimononya.
“Akan ku buatkan bubur seperti biasanya, badanmu sedikit hangat. Aku khawatir
kamu kena flu,” ucap Tamara mengalihkan pembicaraan.
Antonio
kembali merebahkan tubuhnya sembari memijit pelipisnya. Sekarang ia tau kenapa
Tamara bisa bertemu Wiliam di apartemennya. Antonio dibuat benar-benar pusing
karena tingkah Wiliam. Namun tak berselang lama ia tertawa sendiri mengingat
masa mudanya yang sama nekatnya dengan Wiliam. Wiliam benar-benar 11:12
dengannya tak hanya untuk selera perempuan namun juga pada pemilihan tempat
tinggalpun juga sama.
“Sayang,
apa kita perlu bertetangga dengan Wiliam?” tanya Antonio yang memutuskan untuk
menerima pilihan Wiliam.
Tamara
terdiam begitu kaget mendengar ucapan Antonio. Ia langsung mengangguk dan
mendekat ke arah Antonio dengan haru. Sudah lama ia ingin dekat dengan putranya
dan baru sekarang selangkah demi selangkah ia bisa mendekatinya.
“T-tunggu
bagaimana dengan tunangan Wiliam?” tanya Tamara sembari mendekat pada Antonio.
“Akan ku
bicarakan nanti. Kita tau hubungan ini berat, setidaknya Wiliam jangan
merasakan hal yang sama,” jawab Antonio lalu memeluk Tamara.
Tamara langsung
menangis haru, penantiannya selama ini mulai membuahkan hasil secara perlahan.
“A-aku akan membeli apartemen yang kemarin Wiliam datangi,” ucap Tamara begitu
bahagia lalu mengambil ponselnya untuk menghubungi Seles yang kemarin membawa
Wiliam melihat-lihat unit apartemen di sebelahnya.
***
Wiliam
sudah bertanya beberapa kali pada penduduk sekitar untuk mencari tempat Juwita.
Sampai ia terhenti di sebuah rumah di pinggir jalan yang masih belum selesai di
bangun. Bukan di bangun lebih tepatnya di renovasi bagian depannya karena akan
membuat warung.
“Tuan
Wiliam!” teriak Juwita sembari melambaikan kedua tangannya menyambut Wiliam
yang ragu untuk turun dari mobilnya.
“Juwita!!!”
Wiliam langsung berlari ke arah Juwita begitu memarkirkan mobilnya asal-asalan
di depan rumah Juwita.
Wiliam
memeluk erat Juwita dan langsung menangis tanpa rasa malu dan gensi karena di
lihat orang. “Kamu jangan pergi!” rengek Wiliam manja.
Susi keluar
rumah dan langsung melihat Wiliam yang sedang berpelukan dengan Juwita.
Beberapa tetangganya keluar hanya geleng-geleng kepala melihat Juwita yang
ternyata sudah punya pacar dan berani berpelukan seperti itu.
“Ayo kita
nikah aja, aku gak mau pisah sama kamu!” ucap Wiliam sambil mengelap
airmatanya.
Juwita
tersenyum mendengarnya lalu mengusap airmata Wiliam. “Iya, tapi minta ijin dulu
pada ibuku,” ucap Juwita sambil melirik Susi.
“Bibi Susi,
aku akan menikahi Juwita hari ini!” putus Wiliam yang malah memberitau bukan
meminta ijin.
Susi
tertawa mendengarnya. “Itu mobilnya di parkir dulu yang bener, yuk masuk…” ajak
Susi dengan hangat.
Wiliam
langsung mengangguk patuh dan memarkirkan mobilnya di halaman samping rumah
Susi. Lalu menurunkan kopernya dan masuk kerumah Susi dengan senang.
“Loh bawa
koper, mau menginap?” tanya Susi.
Wiliam
mengangguk. “Aku mau sama Juwita terus!” ucap Wiliam yang langsung berkeras
untuk tinggal bersama Juwita.
Susi hanya
menghela nafas lalu mengangguk dan membiarkan Wiliam yang sudah begitu nyaman
dengan putrinya. Toh Wiliam juga ayah dari bayi yang di kandung Juwita, juga
terlihat begitu bersungguh-sungguh untuk menikah dengannya.
“Bibi masak
lele goreng, Tuan mau makan tidak?” tawar Susi yang langsung di gelengi Wiliam.
“Aku maunya
sama Juwita aja,” jawab Wiliam yang super manja pada Juwita.
Juwita
tersipu malu mendengar ucapan Wiliam. Susi juga geleng-geleng kepala mendengar
Wiliam yang benar-benar manja dan bergantung pada Juwita. Pikirannya untuk
balas dendam memang sudah hilang, namun bukan tidak mungkin jika Susi tetap
menginginkan Juwita bisa menikah dengan Wiliam.
“Nanti
makan bareng ya,” ucap Juwita lalu menarik koper milik Wiliam kedalam kamarnya.
Wiliam
mengangguk lalu mengintili Juwita masuk kedalam kamarnya. “Suapin tapi,” pinta
Wiliam manja.
Juwita
langsung cemberut hendak protes tapi Wiliam tampak memelas dan begitu sedih di
saat bersamaan yang membuatnya iba. “Nanti di liatin Dina, malu,” ucap Juwita
lalu memeluk Wiliam yang duduk di tempat tidurnya.
“Kenapa
malu? Kamu gak sayang aku ya?” tanya Wiliam sambil mengecup perut Juwita lalu
mendongakkan kepalanya untuk menatap wajah pujaan hatinya itu.
“Bukan
begitu Sayangku, tapi kan di rumah ada adekku juga. Masak kamu gak malu,” ucap
Juwita lembut sambil mengelus rambut Wiliam yang membuat Wiliam makin cemberut
dan manja padanya.
“Biarin aja
liat, adekmu kan punya mata juga. Gapapa mau liat,” ucap Wiliam keras kepala.
“Tadi susah
gak cari rumahku?” tanya Juwita lalu duduk di samping Wiliam.
Wiliam
mengangguk. “Aku mau nyasar terus, tanya-tanya orang terus,” jawab Wiliam lalu
menatap sekeliling kamar Juwita.
“Jelek ya
rumahku?” tanya Juwita lambut.
Wiliam
menggeleng. “Bagus, tapi sempit. Gapapa aku tetep suka. Selama sama kamu aku
suka,” ucap Wiliam lalu mengecup kening Juwita.
“Nanti Tuan
bobo disini, aku bobo sama Dina sama Ibu,” ucap Juwita lembut sambil
menggenggam tangan Wiliam.
“Aku ikut
juga, bobo berempat gapapa,” ucap Wiliam yang benar-benar tak mau jauh-jauh
dari Juwita.
Juwita
tertawa mendengarnya. Juwita memang sudah terbiasa menangani Wiliam yang manja.
Tapi kali ini adalah kemanjaan Wiliam yang sangat luar biasa.
“Hus! Masak
mau dempet-dempetan!” tegur Juwita.
“Ya gapapa,
biar kamu ga pergi lagi!” jawab Wiliam tegas.
“Eh! Itu
siapa?!” pekik Dina kaget begitu pulang sekolah dan mendapati ada seorang pria
yang duduk di kamar kakaknya. “Ibu!!!!” Dina langsung berlari mencari Susi
dengan panik.