Bab 29 – Camping
"#dasp98 #dasp.98 #GundikRahasiaTuanMuda #NovelIndo #Wattpad"
“Nyonya, saya
mau pulang hari ini. Saya mau nemenin anak saya yang bungsu daftar sekolah,”
ucap Susi meminta ijin pada Kartika.
Kartika
langsung melotot mendengar ucapan Susi, seketika nafasnya mulai memburu dan
cepat-cepat menggeleng. Kartika begitu panik ketika Susi meminta ijin pulang di
saat yang bersamaan dengan kepergian Wiliam dan Juwita dimana keduanya pergi
tanpa menggunakan supir pula.
“Tidak
boleh!” teriak Kartika. “Kamu mau kaburkan?! Kamu mau memanfaatkan Wiliam! Kamu
mau mencuri anakku kan?!” tuduh Kartika begitu histeris lalu menampar Susi
hingga tersungkur ke lantai.
Susi begitu
takut dan terkejut dengan perubahan drastis pada Kartika yang tiba-tiba marah
dan mengamuk padanya. Tapi belum ia bangun Kartika tiba-tiba menghantap
kepalanya dengan guci antik yang ada diatas meja. Beruntung tak berselang lama
Antonio datang dan langsung melerai perseteruan antara Kartika dan Susi yang
sudah tak berdaya.
“Kartika!
Sudah!” bentak Antonio sembari memeluk istrinya membawanya menjauh dari Susi.
Para
pelayan langsung berdatangan untuk membantu Susi yang sudah bersimbah darah.
Antonio juga sudah langsung membawa istrinya menjauh karena Kartika terus
menjerit histeris tak terkontrol dan terus berusaha menyerang Susi.
“Awh!”
pekik Antonio yang terluka karena pecahan guci yang masih ada di genggaman
Kartika mengenai keningnya.
Kartika
langsung melepaskan genggamannya dari pecahan guci tersebut. Tangannya gemetar,
ia tak bermaksud menyakiti Antonio, ia hanya mencoba untuk melindungi putranya.
Kartika mundur perlahan sebelum jatuh meluruh kelantai.
Antonio
memejamkan matanya lalu menghela nafas dan mengambil beberapa lembar tisu untuk
mengelap darah dari lukanya. “Ada apa lagi?” tanya Antonio dengan suara yang
terdengar begitu lelah dan bosan dengan tingkah menjengkelkan Kartika.
“A-aku…d-dia
ingin mencuri Wiliam! D-dia akan memperalat Wiliam dengan anaknya yang jalang
itu! Dia sudah berssekongkol dengan Tamara! Aku tau! Aku melihat Wiliam pergi
berdua dengan Juwita lalu dia juga ingin pergi! Mereka sudah merencanakan
semuanya!” ucap Kartika dengan begitu panik dengan pandangan mata yang tak bisa
tenang dan nafas yang menderu.
Antonio
geleng-geleng kepala mendengar ucapan Kartika yang begitu tidak masuk akal.
“Bisa-bisanya aku bertahan sama perempuan sepertimu,” gumam Antonio lalu
menunjukkan ponselnya memperlihatkan Wiliam yang berfoto bersama dengan
teman-temannya di acara camping bersama dengan Camila juga Juwita yang
terlihat membawakan dompet dan ponsel Wiliam.
“Lihat?
Pikiranmu itu tidak masuk akal! Berhentilah melebih-lebihkan sesuatu!” omel
Antonio lalu memanggil seorang pelayan untuk membantunya mengobati luka goresan
di keningnya.
“T-tapi aku
yakin! Pasti jika aku lengah Susi dan Tamara akan langsung mengambil Wiliam
dariku!” Kartika kekeh dengan apa yang ia yakini.
“Apa
dasarmu menuduh Susi dan Tamara seperti itu?” tanya Antonio yang sudah begitu
lelah deengan kesal sembari membiarkan seorang pelayan mengobati lukanya.
Kartika
terdiam ia tak bisa menjawab pertanyaan dari Antonio, bahkan pertanyaan
sesederhana itupun rasanya sudah sangat menyudutkannya hingga ia tak dapat
membantah atau mengeluarkan sedikit alasan yang masuk akal.
“Aku akan
memecat Susi, kamu tidak bisa semena-mena dan menuduh semua orang semaumu…”
“Aku
membayarnya!”
“Dia bukan
budak!”
Kartika
tersentak mendengar bentakan Antonio yang terdengar begitu marah padanya. Baru
kali ini Antonio begitu marah padanya hingga membentaknya seperti ini.
“K-kamu
membentakku di depan pelayan?” Kartika mencoba menyalahkan Antonio sembari
menunjuk pelayan yang baru selesai memasang plaster luka di kening Antonio.
Pelayan itu
menundukkan kepalanya merasa begitu takut terkena masalah setelah mendengar
ucapan Kartika yang mulai mencari sasaran untuk di salahkan.
“Pergilah,”
usir Antonio pada pelayan yang baru selesai mengobatinya. “Kapan kamu bisa
dewasa?” tanya Antonio jengah dengan cara Kartika mencari pembenaran.
Doni menatap Juwita yang hanya diam sedari tadi sembari mengawasi daging yang sedang di panggang dan menyajikannya untuk Wiliam juga beberapa teman lain yang ia undang. Doni melihat Juwita yang begitu telaten dan keibuan ketika melayani orang-orang disana meskipun ia datang bukan untuk bekerja. Doni melihat ke arah orang tuanya yang begitu sibuk dengan para koleganya, lalu melihat Camila dan gengnya yang tak jauh beda.
“Tidak
suka?” tanya Juwita yang akhirnya duduk di samping Wiliam karena melihat Doni
tak kunjung melahap dagingnya.
Doni
memalingkan wajahnya yang rasanya tiba-tiba seperti terbakar melihat Juwita
yang masih memakai apron membawa beberapa makanan dan menanyainya dengan begitu
lembut.
“Ini apa?”
tanya Wiliam sembari membuka mulutnya meminta disuapi oleh Juwita.
“Salmon,”
jawab Juwita lalu menyuapi Wiliam dengan hati-hati. “Enak?” tanya Juwita
setelah Wiliam mengunyah salmonnya.
Wiliam
mengangguk lalu mengacungkan jempolnya. Doni melihat interaksi Wiliam dengan
Juwita dengan perasaan begitu iri. Perlahan Doni melihat Putri yang duduk di
sampingnya. Putri begitu cuek dan terus mengkritik juga mengeluh soal acara
kali ini.
“Wah ada ice
cream, aku kesana sebentar ya,” ucap Juwita lalu melepas apronnya dan
berjalan menuju both ice cream yang datang terlambat itu dengan ceria.
“Arghh…acara
ini jadi mirip seperti pesta rakyat, aku tidak bisa berlama-lama melihat
pelayan itu heboh sendiri,” keluh Putri yang tak suka melihat keceriaan Juwita.
“Acara ini sudah tidak berkelas lagi.”
Wiliam dan
Doni sama-sama tak menanggapi ucapan Putri. Keduanya kompak memperhatikan
Juwita yang mengambil ice cream. Juwita yang semula hanya mengambil ice
cream kembali berbuat lebih dengan membantu anak-anak kecil yang tidak
sampai untuk memilih ice creamnya sendiri.
“Bagus
pelayan tambahan,” sindir Karin sembari meminum winenya melihat Juwita yang
menggendong salah satu anak dari tamu yang tak di temani pengasuhnya.
Camila
hanya diam enggan berkomentar atau memberikan sindiran pedasnya seperti
biasanya. Wiliam sendiri terlihat begitu ceria dan senang memandang Juwita yang
tiba-tiba di kerumuni anak-anak kecil yang mengantri meminta di gendong untuk
melihat ice cream.
“Setelah
ini aku pergi, aku masih ada urusan,” ucap Wiliam yang sudah memiliki rencana
untuk mencari apartemen untuk ia tinggali bersama Juwita.
“Buru-buru
sekali, tidak menginap?” tanya Doni yang masih ingin memandangi Juwita.
Wiliam menggeleng
pelan. “Juwita bilang mau pulang kampung, jadi harus cepat pulang,” jawab
Wiliam yang makin membuat Doni merasa kehilangan kesempatan untuk menikung
Juwita.
“Pulang
kampung? Dipecat?” tanya Doni kaget.
Wiliam
menggeleng. “Tidak, tidak di pecat. Hanya liburan saja,” jawab Wiliam lalu
membenarkan kursi milik Juwita begitu melihat gadis pujaan hatinya datang
membawa ice cream. “Lama sekali,” protes Wiliam.
“Tadi
antri,” jawab Juwita beralasan sambil meringis. “Ini,” ucap Juwita yang
mengambilkan untuk Doni juga.
Doni
mengangguk lalu menghela nafas. Juwita bukan pelayannya, bukan juga teman satu
geng apa lagi pacarnya. Tapi Juwita mau memperhatikannya juga sama seperti saat
memperlakukan Wiliam.
“Juwita,
kalau Wiliam memecatmu kamu bisa bekerja di rumahku,” ucap Doni tiba-tiba
karena tak mau semakin banyak kehilangan kesempatan bersama Juwita.
Putri yang
mendengar ucapan Doni langsung tersedak. Sementara Wiliam langsung merangkul
Juwita seolah menegaskan jika Juwita akan selalu menjadi miliknya.
“M-maksudku
aku hanya memberikan tawaran saja,’ ucap Doni meralat ucapannya sebelum Putri
mengomel dan Wiliam marah padanya.
Juwita
hanya meringis mendengarnya. “Aku mungkin tidak ingin menjadi pelayan lagi jika
di pecat nanti, Ibuku bilang mau membuka toko di kampung,” jawab Juwita sebelum
ia kena masalah dengan Putri.
Wiliam
langsung menatap Juwita dengan penuh rasa keterkejutan Juwita tak pernah
membahas itu sebelumya. Mereka hanya fokus membahas soal calon buah hatinya dan
mengabaikan segalanya. Putri yang semula merasa dirinya dalam posisi aman dan
hanya perlu menunggu Camila sengsara karena Juwita yang sukses besar merebut
Wiliam kini menatap Juwita dengan penuh kecurigaan dan kebencian.
Putri paham
betul Doni tak pernah sebaik itu pada orang-orang yang tidak selevel dengannya.
Baru kali ini pula Doni menaruh ketertarikan pada seorang pelayan seperti
Juwita. Setidaknya begitu yang Putri tau dari Doni selama ini.